Ngomongin soal softlens, ini bukan pertama kalinya Tin make softlens. Hidup Tin dari dulu bergantung sama softlens, makasih banyak sama matanya yang rabun.
Karna pelupa akut, Tin susah mau pake kacamata, dia suka lupa naro kacamatanya dimana, udah gitu kacamatanya sering keduduk lah, keinjek lah. Untungnya di dunia ini diciptain softlens, jadi Tin nggak perlu beli kacamata tiap dua bulan sekali. Lagian Tin lebih cakep tanpa kacamata kok, ngapain dipake kalo kegantengannya berkurang.
Can, sahabat Tin, nggak setuju kalo Tin pake softlens sebenernya, 'nggak aman' itu alasannya. Tapi Tin bodo amat. Can itu emang hobinya bawel, semua mesti dicerewetin, jadinya Tin udah kebal.
"Lo tuh jangan lupa makan dong," ini Can juga lagi ngomelin Tin yang telat makan siang. Can menyambangi Tin ke kantornya dan Tin kedapatan belum makan siang, padahal udah jam 3 sore. "Udah, hari ini pulang cepet aja, kan tadi juga nggak ngambil jam istirahat siang. Kita makan abis itu pulang."
Tin garuk-garuk kepalanya, dia niat lembur padahal hari ini, soalnya lagi banyak kerjaan, tapi dia takut juga diomelin Can. Can kalo udah marah galaknya ngalah-ngalahin mama Tin. Can udah siap-siap mau berangkat, tapi Tin masih santai duduk di atas mejanya.
Tin lagi nyari cara supaya bisa ngebujuk Can untuk pulang sendiri aja, tapi isi kepalanya malah detail-detail nggak penting. Kaya badan Can itu kecil banget, bocil, Tin duduk diatas meja aja masih jauh tinggian Tin, padahal meja Tin nggak tinggi-tinggi amat. Can juga kulitnya halus kaya diamplas, mukanya juga selalu agak kemerahan, Tin nggak tau kenapa.
Lamunan Tin terbuyar ketika Can dengan sebal menegurnya. "Heh, ayo. Malah bengong. Makan nggak? Itu kenapa lagi mata lo kedip kedip gitu?"
"Gatel," balas Tin pendek.
"Jangan digaruk, pake softlens."
"Iyaaa, nggak digaruk."
"Sini gue liat." Can berjalan mendekat, dia mengernyit menatap mata Tin. "Ya ampun!" pekiknya kuat.
Tin kaget bukan main. "apaan?"
"Softlens lu Tin, geser. Sampe masuk kedalem gitu. Lu apain sih sampe geser gitu? Kan udah gue bilang, pake kacamata aja! Bandel sih lu. Jangan dipegang, nanti tambah geser malah masuk lagi ke mata lu," cegah Can cepat sambil menarik tangan Tin yang sudah bergerak untuk meraba matanya.
Can mengeluarkan ponselnya dan membuka aplikasi kamera, Tin ngaca dari sana. Softlens Tin emang udah pindah tempat, sebagian besar sudah masuk ke balik matanya, hanya sebagian kecil menyembul di sudut matanya. Tangan Tin bergerak untuk menarik soflens itu, tapi dicegah oleh Can. "Jangan, jari lu gede-gede, nanti nggak keambil lagi. Biar gue aja."
Can beringsut ke hadapan Tin, mempersempit jarak mereka yang memang sudah dekat. Can secara praktis berada diantara kaki Tin, memperhatikan dari dekat, mencari cara paling praktis untuk menarik softlens itu.
Can terlalu dekat, Tin bisa merasakan panas napasnya menyapu wajah Tin. Bau parfum Can juga tercium dari jarak sedekat ini. Tin sudah tau kalau parfum Can beraroma kopi, tapi ternyata setelah mencium dengan jarak begini, Tin baru sadar ada sedikit aroma vanila diantara bau kopi yang kuat. Aromanya manis, lembut, namun memabukkan.
Tin memperhatikan wajah sahabatnya itu, dari mata, hidung, bibir..
Sudah lama Tin tidak menatap sahabatnya sedekat ini. Can masih sama, masih terlalu sempurna untuk dibagi ke dunia. Harusnya wajahnya yang seperti di pahat langsung oleh Tuhan itu disimpan saja jauh dari dunia luar, biar Tin saja yang menikmati.
Tapi Tin juga sadar, pikiran macam begitu terdengar sinting!
"Lihat atas," Can menegur Tin yang fokus berlama-lama di bibir Can, softlens-nya masuk semakin dalam.
Dengan mata yang tidak lagi melihat Can, indra yang lain malah semakin sensitif. Tin bisa mendengar napas Can yang teratur, menyapu hangat wajahnya. Aroma vanilla itu semakin lama semakin tajam, menyatu dengan baik dengan aroma kopi. Tangan Can dipipi Tin terasa halus, tapi sentuhannya tegas, mencegah kepala Tin untuk bergerak.
Yang paling membuat Tin hilang akal, setiap senti bagian tubuh Can yang bersentuhan dengan dirinya terasa panas, membakar sampai ke jantung. Jantungnya sudah melompat-lompat protes karna kepanasan.
Sial.
"Oke, udah," bisik Can. Tapi terdengar seperti teriakan bagi Tin, dia hampir terlonjak kaget. "Gue buka yang satu lagi, ya?" masih berbisik.
Tin tidak sanggup menjawab, tenggorokannya mendadak kering. Dia hanya mengangguk seperti orang bodoh. Membuka softlens yang satunya terasa lebih cepat dibanding yang sebelumnya. Can membalut kedua softlens itu kedalam tissue lalu melemparkannya ke dalam tong sampah.
"Umm.. udah."
Can meletakkan kedua tangannya dibahu Tin, berniat ingin mendorong, melepaskan diri dari kungkungan Tin. Tapi Tin malah mengeratkan pegangannya, meletakkan tangan dipingang Can, melarang sahabatnya itu untuk menjauh.
"Can," bisiknya pelan. "Makasih."
Entah kemasukan iblis apa, Tin menunduk, mendekatkan wajah mereka dan mengecup bibir Can. Dia hanya merasakan sentuhan lembut dibibir mereka, napas Can yang tercekat, kemudian kembali menjauh.
"Gimana? Jadi makan?" tanya Tin santai, tersenyum simpul melihat wajah Can yang merah padam.
Can kelihatan bingung sebentar, tapi kemudian berpaling dari Tin dan berdeham pelan. "Ya udah ayo."
Tin tersenyum lebar. Dia mengambil tasnya kemudian menarik Can keluar, berjalan sambil bergandengan tangan.
Senyum Tin membuat matanya hanya tinggal segaris, walaupun dia merasa tambah rabun, tapi bahkan tidak terasa. Setidaknya hatinya hangat ketika Can mengeratkan gandengan mereka.
Mungkin ini saatnya dirinya dan Can saling mengakui perasaan masing-masing.
......
Plan yang asli: OMG OMG OMG OMG SOFTLENS GESER OMGGGGG!!!!
Plan hasil halu: OMG!
um, cium aku bang.