Zwei Dvacet

17.7K 2.7K 171
                                    

Taeyong tidak berhenti berjalan mondar mandir dengan gusar. Tangan nya sedari tadi terus meremat handphone. Beberapa kali matanya melirik pada jam dinding di sudut ruangan atau membuka layar kunci handphone nya dengan mendesah kecil ketika notifikasi yang ia harapkan disana tak kunjung muncul.

Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam dan Jaehyun belum kembali semenjak tadi siang!

"Aish! Kemana lelaki itu?!" Taeyong berteriak risau.

Ia menyesal, sungguh menyesal.

Harusnya tadi Taeyong tidak menyuruh Jaehyun untuk mendatangi Mina jika ia tau keadaan nya akan begini.

Apakah Jaehyun kembali pada Mina? Pikirnya.

Lagipula, Taeyong tidak memiliki hak apapun untuk melarang jika mereka memang ingin kembali bersama. Memang nya ia siapa?

Deringan telepon terdengar menggema di dalam kamar yang sunyi. Taeyong cepat-cepat menekan tombol hijau disana tanpa melihat nama sang pemanggil.

"Saja—"

"Hyung," suara berat tersebut menyapa gendang telinga Taeyong.

Bukan. Suara itu bukan suara Jaehyun, melainkan suara adiknya, Jeno.

"Jeno?" Tanya Taeyong memastikan.

"Hyung—" Jeno kembali memanggil, kali ini dengan suara yang terdengar tercekat dan nafasnya yang tidak beraturan.

"Ada apa? There's something happen?"

Disebrang sana, Taeyong dapat mendengar Jeno yang terisak sebelum menjawab perkataan nya. "Sorry, hyung." Suara adiknya bergetar.

"Untuk?" Balas Taeyong.

Jeno menetralkan nafasnya sebentar. Mencoba mengendalikan emosi nya dan mengakui perbuatan yang tidak seharusnya ia lakukan, pada kakaknya. "Aku tidak sadar. Aku kelepasan. Semuanya diluar kendali, dan itu terjadi begitu saja. Ayah marah dan bilang, hyung yang akan menerima akibatnya."

"Apa yang membuatmu marah?" Taeyong merasa keadaan rumah nya sedang kacau.

Jeno yang lepas kendali bukanlah suatu pertanda baik. Justru itu adalah pertanda buruk; sangat buruk.

"Aku mendengar percakapan si tua itu di telepon. Katanya, hyung akan dijual kepada rekan kerja orang tua itu." Sebuah nada kepiluan tersirat di sana. Sang adik bungsu sedang mencoba menguatkan diri sendiri.

"Hyung tidak akan dijual, Jen," Taeyong berujar halus, mencoba meyakinkan stigma Jeno.

"Kau bohong. Perjodohan, sebenarnya itu hanya sebagai judul kan? Hyung berkorban lagi kan?"

Taeyong terdiam. Besar dalam lingkup keluarga yang membuat mereka dewasa lebih dulu dibandingkan orang lain, membuat adik-adiknya menjadi sosok yang pintar. Mereka bukan anak kecil yang tidak tau apa-apa. Mereka adalah anak yang seharusnya tidak tau tentang semua ini sedari kecil.

"Tidak, hyung menerima nya dengan senang hati," Taeyong berujar meyakinkan, "Ah! Memikirkan nya rasanya hyung akan bebas jika sudah menikah nanti. Hyung sangat menantikan perjodohan ini, Jen," Taeyong berujar riang.

"Hyung bukan pembohong, dan aku tau itu."

Pip.

Sambungan tersebut terputus secara sepihak. Meninggalkan Taeyong dengan derai air mata yang sudah memaksa untuk membuncah sedari tadi. Di otak nya selalu terputar satu pertanyaan,

Bolehkah ia berhenti?

Taeyong lelah terus berlari tanpa henti. Ia tidak tau kaki nya akan kuat untuk berlari berapa lama lagi. Taeyong telah kehilangan seluruh pijakan nya. Bahkan sebelum Taeyong berhasil berpijak, tempat tersebut telah dihancurkan oleh Ayahnya.

Graduation Sweet | Jaeyong ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang