Sekali lagi, aku kembali mendatangi book cafe itu. Setelah memarkirkan mobilku di sisi jalan, aku langsung keluar dan melangkah masuk ke dalam salah satu gang terdekat. Jujur saja, aku lupa arah menuju tempat itu. Tapi yang pasti aku hanya perlu berjalan menyusuri jalan besar yang penuh dengan gambar di dinding-dindingnya dan aku akan menemukan book cafe dengan lampu menyala terang dari dalamnya.
Kedatanganku langsung disambut dengan kehadiran seorang pelayan di konter tempat memesan minuman. Dia pria manis yang kemarin. Posisinya membungkuk rendah dengan telapak tangan kiri menopang pipinya sembari matanya membaca satu buku di atas konter. Suara dentingan bel di pintu pun mengalihkan perhatian matanya ke arah sana. Dia langsung menegakkan badan begitu melihat presensiku yang muncul dari sana, sembari tersenyum dan membungkukkan badan.
"Anda datang lagi, Tuan?" sapanya ramah masih dengan senyum pipi bulatnya. Sumpah, dia lucu sekali!
Langkahku berjalan mendekati konter, dan kemudian membalas senyumannya. "Saya pikir tempatnya sudah tutup," ujarku tak kalah ramah.
Pria itu terkekeh kecil sambil menelengkan kepalanya ke kiri dengan gerakan kecil. "Toko saya buka 24 jam, Tuan. Jadi kecil kemungkinan akan tutup, kecuali saat saya ingin tidur."
"Omong-omong, soal tidur." Aku langsung meletakkan bokongku di atas stool bar terdekat kemudian mencondongkan badanku dengan kedua lengan di atas konter sebagai penumpu. "Apakah anda yang memindahkan saya ke mobil pagi kemarin?"
"Tidak," jawabnya cepat. "Anda pamit pulang setelah gelas teh yang ketiga, Tuan." Dia tidak pernah lupa untuk tersenyum meski sedang bicara sekalipun. Seperti berusaha meyakinkanku yang sebenarnya sudah percaya sejak kata 'Tidak'-nya.
Aku pun mengangguk percaya pada akhirnya. "Apa yang anda baca?" tanyaku saat mataku melihat buku yang terbuka di depan pelayan itu.
"Kim Seokjin, Tuan."
Aku mendongak. "Judulnya Kim Seokjin?" tanyaku kaget.
Dia malah tertawa. "Nama saya Kim Seokjin. Panggil saja saya dengan Seokjin, kalau-kalau anda lupa nama saya."
Semburat merah samar-samar muncul di kedua pipiku sembari tertawa rendah karena malu, ketahuan lupa nama pelayan yang selama satu hari ini berputar-putar di kepalaku. Padahal wajahnya selalu aku ingat tapi namanya malah lupa terus. Dan ajaibnya Seokjin bisa tahu kalau aku lupa namanya.
"Jadi, Seokjin, buku apa itu?" tanyaku mengulang pertanyaanku. Yang ditanya mengulum senyumnya, menahan untuk tidak mentertawakan tingkahku yang kaku sekali saat menyebut namanya.
"Keberanian di tengah-tengah krisis."
"Wah, saya tidak tahu Seokjin suka buku seperti itu."
Seokjin lagi-lagi tergelak. "Tolong santai saja padaku, Tuan. Anda pelanggan disini. Aneh rasanya mendengar nama saya disebut seperti itu."
Sekali lagi Seokjin membuatku salah tingkah. Dia benar-benar berani mengutarakan pikirannya dengan caranya yang sopan dan ramah itu. Bukannya merasa tidak suka, aku malah suka dia yang bicara sesantai ini padaku. Rasanya dia sedang mengajakku untuk saling percaya dan terbuka, tapi tidak memaksa.
"Ini buku sudah lama berada di dalam rak tapi saya baru bisa membacanya sekarang." Jemari Seokjin bergerak sambil menutup buku itu sembari menatap cover depan bukunya dengan tatapan teduh. "Dan saat saya membacanya, rasanya seperti saya bisa menyelesaikan masalah yang sedang saya hadapi sekarang juga. Tidak hanya menjelaskan perihal keberanian dengan rinci, tapi juga ada ilustrasi yang sangat berhubungan dengan masalah yang sering dihadapi masyarakat. Saya jadi bisa menghubungkan masalah saya dengan saran-saran dan ilustrasi yang diberikan si penulis."

KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Magic Shop | NamJin
Fanfiction"Selamat datang di Magic Shop. Tempat bersantai dengan segelas teh tanpa batas refill dan buku-buku dengan segala jenis bahasan. Lengkap. Atau mungkin ada sesuatu yang ingin didiskusikan bersama? Saya siap mendengarkan, Tuan. Semoga anda menyukainya...