Bab 9

6.1K 219 1
                                    


Mustafa senang sekali ketika berjabat tangan dan berkenalan dengan Sahyina, cinta pertamanya. Ia segera membuka kaos adidas berlengan panjang itu dan menceburkan diri membiarkan badannya yang putih mulus bersih dihantam oleh ombak laut.

Sunset telah tiba, Mustafa baru keluar dari air, wajah tampan khas arab itu tampak berseri-seri serasa hatinya damai sekali.

Di teras rumah, seperti biasa Jali dan Kinar duduk santai sambil menikmati secangkir teh hangat dan gorengan. Mereka berdua merasakan sesuatu yang berbeda ketika putra semata sayangnya itu pulang sehabis berenang dari pantai.

"Assalamualaikum," Mus mencium tangan kedua orang tuanya itu.

"Waalaikumsalam, Mus ada apa ini?" tanya Kinar sambil memerhatikan wajah anaknya.

"Ada apa bagaimana?" tanya Mus kebingungan.

"Lagi senang ya? Biasanya wajah tampan kamu itu jutek, tadi Ibu lihat dari kejauhan raut wajah kamu berbeda dari biasanya," colek Kinar di lengan Mus.

"Biasa aja, sama seperti kemarin," Mus pura-pura menyembunyikan kegembiraanya lalu segera masuk ke dalam untuk mandi.

"Kamu itu kepo sekali ya," celetuk Jali lalu menyeruput teh hangatnya.

"Aduh Akang, kita sebagai orang tua yang baik itu harus bisa tahu bahwa anak kita itu sedih atau bahagia," Kinar menjelaskan dengan gerakan tangan, Jali hanya geleng-geleng kepala diceramahi oleh Istrinya itu.

Beberapa hari kemudian...

Malam tergantikan oleh pagi, matahari terbit dengan sinar yang menghangatkan. Kicauan burung menambah kedamaian suasana di desa Suka Asih yang berdekatan dengan pantai. Namun berbeda dengan daerah perkotaan yang sudah berisik walau waktu baru menunjukan pukul enam pagi.

Di kota Bandung, Komplek perumahan Greenville yang didominasi oleh orang-orang kaya memang tidak terlalu ramai, tapi itu semua tidak mempengaruhi suasana hati seorang pria yang sudah memakai jas dan sedang bercermin itu. Perasaannya campur aduk, kebingungan, kesedihan dan kekhawatiran terus memenuhi isi hati Raymond Giovano.

Tepat hari ini adalah hari dimana anaknya meninggal, hari senin. Ia sangat membenci hari senin bukan karena pekerjaan kantor dan segala urusan lainnya, namun karena ia telah kehilangan cahaya di hidupnya.

Crang!!!

Cermin yang menyatu di meja rias itu pecah berkeping-keping ketika Raymond memukul benda itu dengan sangat keras. Mencoba melampiaskan rasa kekesalannya yang selama ini ia pendam. Tidak ada yang peduli dengan dirinya saat ini, setelah kepergian Sahyina. Sosok Diandra Calista bahkan tidak bisa menandingi kehadiran Sahyina yang hanya wanita sederhana asli desa.

Diandra yang baru saja terbangun dari tidur lelapnya terkejut dengan asal suara itu.

"Ada apa Mas?" tanya Diandra heran.

"Tidak apa-apa," sahut Raymond singkat lalu keluar dari kamarnya. Semenjak ia pisah dengan Sahyina, Raymond tidak diperhatikan, bahkan menyiapkan keperluan kerjanya dan sarapannya tidak disiapkan oleh Istri barunya itu.

Bukan hanya Raymond yang mengingat hari ini adalah hari meninggalnya Vigo, Sahyina pun menitikkan air matanya di awal hari yang cukup cerah ini. Ia memandang sedih foto anak kecil berusia 7 tahun itu yang tersenyum dengan ceria sekali.

Semuanya telah terjadi, Sahyina yang kini sudah dekat dan berteman dengan Mustafa sedikit terobati rasa kesedihan serta kehilangannya karena kepergian anak dan Suaminya itu.

"Ina, jujur aku tidak pandai dalam menghibur seseorang, tapi yang aku tahu dan itu adalah fakta. Bahwa kita hidup di dalam skenario Tuhan, layaknya sebuah film,"

"Terkadang peran kita menjadi orang yang tersakiti, penuh rasa sedih, namun juga kita akan mendapatkan peran yang menjadi orang yang bahagia dan penuh nikmat," lanjutnya.

"Kamu tidak bisa menghibur seseorang, tapi kamu bisa menyembuhkan luka di hati aku," seru Ina membuat Mus tersipu dan ge-er.

"Syukurlah jika kamu merasa lebih baik setelah kehadiran aku," respon nya mengalihkan pandangan ke lautan yang luas dimana dari kejauhan ada beberapa kapal nelayan yang sedang berlayar.

"Mus, terimakasih ya karena telah membantu aku yang lemah ini dari masalah yang berat," Ina dan Mus saling tatap.

"I-iya, santai saja, aku membantumu tidak seberapa lagipula," jawab Mus gugup. Di dalam hatinya, ia ingin sekali menyatakan bahwa dirinya menyukai Ina, namun rasa takut melebihi rasa jujur itu.

"Mus?" lambaian tangan Ina tepat di wajah Mus. Mus yang melamun sambil memandang wanita dihadapannya itu dibuat malu karena melamun.

"I-iya ada apa?"

"Kita lomba yuk, siapa cepat yang sampai di permukaan air maka dia yang menang dan mendapat traktiran makan." jelasnya lalu diangguki mantap oleh Mustafa.

"Siapa takut," jawab Mus langsung berlari tanpa diberi aba-aba.

"Curang," teriak Sahyina menyusul Mustafa yang sudah hampir sampai di air.

Kemesraan mereka berdua dilihat dengan jelas oleh Sari yang mengintip dari kejauhan. Sosok wanita berambut pendek sebahu itu berbalik dengan perasaan yang kecewa dan sedih karena sosok yang dicintainya bermesraan dengan sahabatnya sendiri.

Sari pulang ke rumah lalu masuk ke dalam kamar dengan membanting pintu, membuat Ibunya kaget.

"Nak, kenapa nak?" ketuk berkali-kali Tya yang tidak disahuti oleh putrinya itu.

Ia sangat heran karena Sari adalah wanita yang ceria selama ini.

Ada apa dengan Sari? Akankah dia mengikhlaskan hubungan Mustafa dengan Sahyina atau justru berubah menjadi wanita perusak hubungan sahabatnya sendiri?

Bersambung...

Seorang Wanita yang Dicemooh(Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang