M8

1.3K 81 7
                                    

Dalam balutan kaos olahraga anak perempuan berusia dua belas tahun itu nampak mengedar pandangan kesekeliling. Gelisah. Shella mengepalkan tangan, saat matanya bertuburkan dengan Shea--yang tersenyum menyemangati, perasaan Shella menghangat, dan tanpa sadar senyum Shea menular padanya. Memang sedari dulu dan sekarang Senyum Shea adalah obat penenang buatnya.

"Shella! Anak mama semangat!" Shella tersenyum, mengangguk lalu intruksi dari seorang laki laki dewasa yang menempelkan periwit dibibirnya mengalihkan perhatian Shella hingga kemudian priwit itu ditiup keras membuat teman temannya yang berjajar disamping kiri kanan berlarian penuh semangat kecuali dirinya. Jantung Shella berdetak kencang, diluar batas normal, kakinya lemas tanpa alasan. Dengan susah payah Shella menegok kearah penonton. Shea, mengeryit heran, wajahnya tidak seceria tadi. Melihat itu membuat Shella dirundung bingung. Dia tidak mau mengecewakan mamanya, dia tidak suka mamanya tanpa senyum, dia.... Shella megeraskan hatinya, dia tidak boleh lemah, kelemahan yang tidak pernah Shea ketahui sebelumnya.

Dengan penuh tekad Shella berlari kencang, mengejar teman temannya. Saat sudah berhasil mendahului anak laki laki yang lebih tinggi darinya Shella bersorak dalam hati meskipun wajahnya sudah pucat pasi hingga kepalanya yang teramat pusing serta lutut yang kram tetapi, Shella tidak memperdulikan itu apalagi Shea kembali tersenyum, bersemangat memanggil manggil namanya.

Namun, kebahagiaannya melihat Shea bahagia tidak selamanya berlangsung ketika tiba tiba pandangannya gelap dan Shella ambruk ditanah, dipertengahan lapangan yang luas itu.

Sebelum matanya benar benar tertutup rapat Shella sempat melihat raut terkejut, sedih diwajah Shea dan senyumnya pun luntur. Shella tidak mau membuat Shea sedih, karena dirinya, karena cukup Rian saja, papanya.

Kemudian samar samar Shella mendengar mamanya berteriak histeris setelah itu hanya ada keheningan.

"Mama maafin Shella!" Shella membuka matanya, napasnya terengah, keringat dingin membasahi kening hingga kepelipis.

"Shell?! Kenapa?! lo baik baik aja kan?" Bersamaan suara Raja itu Shella bangkit, duduk dibantu oleh Raja.

Raja mengeryit alis, wajah Shella sangat pucat dan teriakan cewek itu tadi membuatnya heran "Shell?!" Panggil Raja lagi dan akhirnya lantas Shella menoleh. Cewek itu tersenyum, mengelengkan kepala.

"G...gue nggak papa ka, sans aja" jawab Shella membuat kerenyitan Raja hilang meski raut khawatir masih tidak mau beranjak dari matanya.

Raja mengusap puncak kepala Shella lembut "lain kali jangan buat gue khawatir" Shella mengangguk, mengalihkan pandangan kejendela. Merasa tidak nyaman diperlakukan seperti ini. Sejak awal Shella tau Raja memiliki perasaan lebih padanya, namun Shella tidak menganggap Raja lebih dari teman, kakak kelas, ketua OSIS dan panutannya.

"Lo masih pucet, kening lo juga pasti masih sakit. Tiduran aja disini sampe bel pulang bunyi Shell" Shella diam. Berfikir. Lalu menoleh lagi pada Raja yang tersenyum teduh.

Shella baru ingat. Sebelum dia berada diUKS ini, Shella berlari keliling lapangan karena tantangan dari Marvel dan yang lainya lalu berujung dengan Shella yang pingsan. Saat itu juga Shella mencengkram spresi kasur, mendadak ingin menangis. Apa kata semua orang terlebih Marvel dan Chika dia begitu lemah seperti ini?, mereka semua sudah pasti mencemoohnya. Rasanya Shella ingin lenyap saja, dibanding harus melihat betapa mereka menatapnya dengan berbagai pandangan nanti.

"Shell?" Raja mengoncagkan kedua bahu Shella hingga Shella tersentak dari lamunannya.

"Gue udah mendingan, lo balik aja kekelas ka" titah Shella seraya memberikan fake smile.

"Tapi lo...."

"Gapapa, jangan khawatirin gue" lalu Shella melihat jam dipergelangan tangannya "tuh udah masuk pelajaran ketiga" lanjutnya sembari meyakinkan Raja.

POSSESIVE MARVELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang