9. Bang, pesannya pakai sayang-sayang

364 78 38
                                    

Hari ini saya sedang menuju taman kota bersama teman-teman. Sebenarnya, saya enggak mau repot-repot keluar rumah cuma untuk jalan-jalan. Itu sama saja menghabiskan energi, mending saya rebahan di kamar, iya, kan?

Tapi sayangnya hari ini adalah hari ulang tahun Ila, dan Ila kebetulan mau mentraktir saya, Isna, dan Ayu di warung pinggir jalan dekat taman kota. Saya, sih, terserah mau makan di mana saja, toh, saya dibayari, sekalipun saya diberi makanan expired gratis paling juga saya makan.

Saya berangkat dibonceng Isna menggunakan motor matic-nya. Kalau kalian bertanya mengapa saya enggak naik motor sendiri, jawabannya adalah saya payah kalau disuruh naik motor.

Awalnya, saya hendak berangkat bersama Ayu tapi saya menolak soalnya Ayu itu menakutkan kalau di jalan. Dia suka meliuk-liuk di antara keramaian jalan. Dan saya pernah jatuh dari motor saat dibonceng Ayu gara-gara Ayu kaget melihat ayam di tengah jalan.

Tapi, dibonceng Isna juga enggak lebih baik dari Ayu. Isna baru bisa mengendarai motor sekitar satu minggu yang lalu, jadi dia pemula yang nekat naik motor di jalanan yang ramai. Dia nggak bisa stabil mengendarai motor. Dia mengegas lalu mengerem kemudian mengegas dan mengerem lagi seperti itu sepanjang jalan. Dan hasilnya saya terantuk helm Isna berkali-kali.

Ketika kami berhenti di lampu merah, handphone saya bergetar. Saya memutuskan untuk mengeceknya sebelum Isna mengegas motornya.

Gero : kamu sudah makan apa belum sayang?

"Ya ampun," ucap saya kaget.

"Kenapa?" tanya Isna.

"Nggak kok."

"Ha?" tanya Isna sedikit menoleh ke belakang.

"Apa sih?" tanya saya, sumpah deh suara Isna gak jelas.

"Apa?"

"Apa?"

Saya memutuskan berhenti menanggapi Isna dan membalas pesan Gero. Saya merasa aneh, sih, soalnya Gero nggak pernah sama sekali mengirim pesan pada saya. Tapi, sudahlah, mungkin jodoh.

Athena : Sudah tadi pagi.

Setelah perjalanan panjang akhirnya kami berhenti di tempat parkiran taman kota. Saya turun dari motor dengan senyum merekah. Bahkan, Isna, Ila, dan Ayu menatap saya aneh.

"Ngapain senyum-senyum Ath?" tanya Ila.

"Masa gak boleh?" tanya saya aneh.

"Terserah, deh, yuk," ajak Isna.

"Kenapa kita harus parkir di taman kota? kan kita bisa naik motor terus langsung parkir di warung makannya," ucap Ayu.

"Iya, juga, ya. Ah, tapi udah terlanjur diparkir. Udah deh jalan juga nggak bikin mati kok," ujar Ila akhirnya.

Saya membiarkan mereka mengoceh sedangkan saya mengecek ponsel. Dan kebetulan ada pesan dari Gero.

Gero : Sorry, salah kirim.

Saya malu sampai ke ubun-ubun. Gero memang kurang ajar. Haduh, saya jadi kesal sama Gero. Saya berjalan sambil menghentakkan kaki hingga Ila menarik pundak saya.

"Kenapa, sih, Ath?" tanyanya.

"Kaki gue pegel."

"Apaan, lo baru jalan 5 meter masa udah pegel? Lemah banget sih."

"Biarin."

Akhirnya setelah berjalan cukup lama kami sampai di warung yang Ila maksud. Warung biasa tapi bersih, pelanggannya juga cukup ramai. Saya dan teman-teman memilih duduk di meja paling pojok. Kami bercengkrama lumayan lama sebelum pedagang itu menghampiri kami.

Dan saya shock, ketika melihatnya mendekat.

"Mau pesan apa?" ucap Dewi Athena dengan senyum cerah.

---Athena---

ATHENATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang