12. Saya diteror oleh si dewi

260 51 19
                                    

Malam ini saya mendapat pesan dari Aska (dia ini ketua di kelas saya) di grup kelas kalau Pak Martono akan mengadakan ulangan matematika besok. Semua teman-teman saya langsung gaduh di grup kelas. Karena mereka pikir Pak Martono terlalu mendadak memberi pengumuman.

Ah, begitu saja gaduh. Mereka ini seperti tidak kenal Pak Martono saja. Tapi, bukan berarti saya kenal Pak Martono juga, sih. Saya cuma cukup hafal dengan kebiasaan beliau. Ulangan mendadak adalah hobi Pak Martono.

Kalau dipikir-pikir saya ini memang cocok jadi anak kesayangan Pak Martono.

Saya sedang berbaring di kasur sambil membaca pesan grup dari kelas saya. Kalau kalian bertanya seperti ini, kok nggak belajar? Maka dengan senang hati saya akan menjawab, saya ini sudah pasrah. Paling-paling saya remedial lagi.

Kalau saya pikir-pikir lagi, kayaknya saya nggak cocok, deh, jadi anak kesayangan Pak Martono.

Saya kembali membaca pesan grup yang sedang ramai. Tiba-tiba satu notifikasi pesan masuk dari nomor tak dikenal. Rupanya sudah ada banyak pesan masuk dari nomor itu.

Belajar.
Persiapkan dikau untuk ujian esok.
Engkau harus belajar.
Jangan lagi dikau mendapat nilai buruk, nanti kerabatku sesama dewa-dewi olympia menertawakanku.

Saya mengernyit mendapati pesan itu. Dari segi bahasa yang pengirim itu pakai, saya yakin yang mengirin pesan ini pasti si dewi itu. Padahal sudah seminggu dia hilang kabar, kenapa sekarang tiba-tiba muncul?

Saya melempar ponsel saya sembarang arah. Apakah saya akan belajar? Kalau kalian menjawab iya, maka saya ucapkan selamat. Selamat kalian salah. Tebak kenapa? Karena rasa pasrah saya sudah mengakar kuat.

Ponsel saya kemudian berdering dengan suara keras. Padahal seingat saya, saya sudah mengaktifkan mode diam. Telepon dari nomor tak dikenal muncul di layar ponsel saya. Saya memutuskan untuk mengangkat telepon itu.

"Halo," sapa saya.

Sudahkah dikau melaksanakan perintahku?

"Ha?" (Saya ini memang hobi ha-he-ha-he).

Mengikuti pertempuran tanpa persiapan dan rencana hanya akan membuat dikau kalah sia-sia.

"Saya nggak mau perang. Ini abad 21, perang sudah selesai."

Sungguh bebal nian dikau. Engkau memang lebih pandir dari keledai.

"Terimakasih!" seru saya meskipun saya sendiri tidak tahu apa itu pandir.

Ujian itu, dikau harus belajar!

Mendengar kata ujian dan belajar membuat saya segera menutup panggilan itu. Hadeh, saya pusing jadinya.

Saya hendak menutup mata ketika ponsel saya kembali menyala. Suara dering telepon menggema dengan suara keras. Saya menutup kedua telinga saya. Saya meraih ponsel untuk mematikan telepon. Coba tebak apa yang terjadi?

Ponsel saya tiba-tiba tidak dapat dioperasikan. Saya berusaha mengutak-atik tapi tetap tidak bisa. Suara dering terus menerus menggema. Saya jadi kalang kabut sendiri.

Kalau kalian menganggap dering ponsel saya sama seperti dering ponsel biasanya, kalian salah. Bunyinya benar-benar memekakkan telinga secara harfiah. Saya berlari kesana kemari di dalam kamar sambil menutup telinga. Saya memutuskan untuk mengambil bantal untuk meredam dering ponsel.

Tapi, hasilnya nihil.

Dan saya makin kalut.

Saya membuang bantal ke lantai. Layar ponsel saya kemudian menampilkan sebuah tulisan.

Engkau harus belajar!

Oke. Saya diam. Itu pasti si dewi Athena.

Saya nggak bisa meminta bantuan orangtua saya. Jangan sampai mereka tahu soal dewi ini. Minta bantuan Helios pun nggak mungkin. Helios kere. Dia pasti nggak punya pulsa atau paket data sekarang. Saya memutuskan untuk menyelesaikan masalah ini sendiri.

Saya akan belajar!

---Athena---

Ada yang tahu arti pandir? :P

ATHENATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang