33. I Love My Sister

2.1K 228 33
                                    

Hari ini, Adiva demam lagi. Senyum ceria kian memudar di wajah pucatnya. Jelas itu membuat Kenzie cemas. Ini terjadi karena semalam Adiva pergi ke pasar malam tanpa jaket.

Untung saja hari ini sekolah diliburkan karena ada renovasi besar-besaran, Kenzie bisa merawat Adiva secara penuh. Dengan begitu, ia menjadi lebih tenang karena tak terlalu mengkhawatirkan keadaan gadis itu jika tanpa dirinya.

Secara, Adiva itu mudah rewel saat ia sakit. Tak pernah berubah, sejak kecil Adiva memang seperti itu. Kenzie terkadang merasa jika Adiva menyayanginya sebagai seorang ibu.

Untuk menghibur gadis itu, Kenzie memanggil teman-temannya untuk datang ke rumah. Evan dan Hera ikut Kenzie datangkan untuk menemani Adiva agar tak terlalu merasa kesepian. Mereka bermain ular tangga di ruang tamu. Kenzie menjelaskan, jika Adiva memang menginap di sini saat ia sakit. Katanya untuk menjaga gadis itu.

Adiva masih merasa pusing dan terkadang mual. Ia yang kini tidur di sofa dan bersandar di dada Kenzie itu hanya bisa memperhatikan teman-temannya bermain di bawah sambil duduk bersila dia atas karpet berbulu mengelilingi meja.

Ia cemberut, Kenzie tak membiarkannya ikut bermain. Kenzie hanya takut jika Adiva kelelahan. Itulah yang membuat bibir Adiva mendengkus. Ini hanya ular tangga, bukan dikejar kawanan ular piton. Kenapa Kenzie harus sekhawatir itu?

"Zie," panggil Adiva mendongakkan kepalanya, menatap Kenzie dari bawah. Gadis dengan kompres babyfifer di dahinya itu menampilkan tatapan berharap. "Gue boleh ikutan main, ya?"

"Dibilangin gak boleh, kamu lagi sakit, nanti kamu kecapekan. Bentar lagi mau ujian, kamu mau nanti sakit kamu tambah parah terus ikut ujian susulan?"

Adiva menggeleng dengan polosnya.

"Kamu nonton aja. Lagian nonton doang juga seru, kok."

'Seru apaan?! Liat muka cemong Kak Andre, mah, iya!' rutuk Adiva dalam hati.

Ia kesal. Menaikan selimut yang membungkus tubuhnya lebih ke atas untuk menutupi setengah wajahnya yang tertekuk masam. Satu-satunya penghibur dirinya kini adalah wajah Andre. Kelopak matanya hitam dan pipinya putih ditambah goresan eyeshadow berwarna merah yang melapisi bibirnya. Ini karena tugu pemainnya selalu mengenai kepala ular dan mengharuskannya turun nomor.

"Ah, gue berhenti aja!" Evan melempar dadunya ke sembarangan arah. Kesal Andre selalu curang dengan melebihkan kotak nomor yang ia langkahkan.

"Lo, mah, gak sportif! Baru juga kecoret sekali udah mundur. Nih, gue yang udah kayak hantu China gini masih standby!" timpal Andre.

"Ya, lo curang mulu mainnya. Harusnya lo jalan lima malah ngambil enam! Dahlah, males gue."

"Namanya juga permainan, Pan. Wajar kalau ada yang kalah-curang, mah. Toh, meskipun Andre curang juga dia yang kalah. Tuh, liat, mukanya udah kek bocah baru mandi sore," timbrung Pandu tergelak.

"Ini aja, yuk! Lumayan bisa ngerasain jadi orang kaya."

Andre membalik karton ular tangga tadi, menemukan permainan monopoli. Semuanya ikut menimbrung, Hera yang semula hanya menonton kini ikut bermain. Bedanya ia hanya menjadi penjaga bank. Kenzie juga ikut, ia mengambil tugu berwarna biru. Sementara Pandu mengambil berwarna kuning, Evan mengambil warna hijau dan Andre ungu. Sesuai sama seleranya. Janda.

"Mau ikutan, Div?" ajak Hera.

Adiva tersenyum sumringah. Ia menyibak selimut tebal yang menutupi setengah tubuhnya untuk ikut menimbrung bersama yang lain.

"Gak boleh!" Perkataan Kenzie seakan menginstruksinya untuk berhenti.

"Tapi—"

"Aku bilang gak boleh, ya, gak boleh!"

TE AMO, KENZIE ✓ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang