1. Pertemuan Pertama

6.4K 444 46
                                    


"Mbak Ais, dipanggil ibu nyai sepuh," tiba-tiba adik satu kamarnya, Maisaroh, menepuk pundaknya, saat ia melipat baju yang akan ia setrika besok.

Ada apaaa, pikir Aisyah, jika sampai ibu Nyai sepuh yang manggilnya berarti ada hal penting.

"Iya dik, mbak akan segera menemui beliau,"

****

Aisyah membuka sandal jepitnya, lalu mengetuk pintu kamar ibu nyai sepuh.

"Masuh nduk, ibu ada perlu,"

Aisyah membuka pintu dan melihat salah satu orang yang sangat dihormati di pondok pesantren itu tersenyum lembut padanya, masih menggunakan mukena meski hari sudah mulai larut dan terlihat masih betah dengan tasbih ditangannya.

"Sini, dekat ibu,"

Aisyah duduk dan menunduk.

"Tadi bapak ibu angkatmu ke sini, minta ijin besok kamu akan dibawa pulang, dan lusa atau kapan ya, kamu akab dinikahkan dengan pilihan orang tuamu,"

Aisyah menatap wajah ibu nyai sepuh dengan tatapan kaget, ia sudah lama diberi tahu oleh ibu bapak angkatnya, tapi ia tidak menyangka akan secepat ini prosesnya.

"Manut, patuhlah pada pilihan orang tuamu, in shaa Allah akan lancar dan dimudahkan jalan ke depannya oleh Allah,"

Aisyah diam saja.

"Sebenarnya ibu ingin kau menikah dengan Munif, cucu ibu, namun orang tuamu jauh-jauh hari sudah mengatakan bahwa kau sudah mempunyai calon, besok siapkan semuanya ya nduk, orang tuamu akan menjemput,"

Aisyah hanya menunduk dan mengangguk lalu menjawab pelan.

"Inggih ibu,"

"Baik kembalilah ke kamarmu, ingat nak, kau harus kembali untuk mengajar di madrasah aliyah, di sini, meski kau sudah diwisuda"

"Inggih ibu,"

Dan Aisyah berjalan mundur lalu berbalik memakai sandal jepitnya lagi, saat akan ke luar ia berpapasan dengan Munif, cucu ibu nyai sepuh.

Aisyah tetap menunduk namun lirih ia mendengar suara Munif, yang juga menunduk tak menatap Aisyah.

"Kau akan menikah, benarkah, aku sudah berjanji padamu jika aku bekerja kau akan aku nikahi, aku tidak mengikatmu karena tidak ada aturan itu dalam agama kita, setelah ta aruf, cocok, maka menikah, aku menyesal tidak langsung menikahimu setelah aku wisuda,"

"Maafkan saya, ini pilihan orang tua saya mas, permisi," suara Aisyah yang menahan tangis membuat hati Munif semakin sakit.

"Masuklah nak, jangan terlalu lama di luar, Munifkan, ada perlu apa sama si mbah?" suara lembut ibu nyai sepuh menyadarkan Munif, ia membuka sandalnya dan masuk ke kamar neneknya dan berjongkok di depan neneknya yang masih beristighfar berulang sambil memejamkan mata.

"Mbah, benar Aisyah akan menikah?"

"Ya, lalu apa hubungannya denganmu?"

"Kami tidak ada hubungan apa-apa mbah, hanya saat saya melihatnya pertama kali, saya hanya mengatakan tunggu aku, aku akan menikahimu setelah aku bekerja, ternyata diaa, diaaa akan menikah,"

"Berarti dia bukan jodohmu,"

"Ah si mbah, semudah itu mengatakan bukan jodoh,"

"Jika ia jodohmu, akan ada jalan mudah mempertemukan kalian, nyatanya, kau meski sudah mengajar tidak ada keberanian untuk melamarnya, artinya kalian bukan jodoh, sudahlah, tidurlah, nanti tahajut, tenangkan hatimu,"

You are My Destiny (SudahTerbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang