02. The Decision To Withhold Her

3.1K 294 9
                                    

Orang bilang ada masanya saat kita menjadi tamak dan buas. Ada waktunya pula bagi kita untuk mengabaikan sekeliling dan fokus pada apa yang ingin kita capai. Namun, semua itu tidaklah luput dari kendali diri akan perasaan yang tiba-tiba saja datang tanpa permisi. Seenaknya menghancurkan ranah hati untuk berpaling dari asal mula ia berpijak.

Beberapa sifat pun seperti kepedulian atau rasa kepercayaan dapat memudar karena sebuah keingkaran, penghianatan yang membekas terlalu dalam, memaksanya untuk terus ingat dan ingat.

Hari ini, semua berjalan diluar kendali. Tidak semestinya terjadi, namun Ve membuatnya semakin rumit. Mereka memutuskan langsung kembali ke Seoul, tidak peduli malam terlalu larut, Ve hanya tidak ingin mengambil resiko.

Pukul 02:00. Hawa dingin terasa sangat menyeruak, malam yang larut pun seolah tidak mengukuhkan presensi Ve untuk kembali ke kama. Beristirahat atau setidaknya membersihkan diri. Lelaki itu baru tiba di kediaman tiga jam lalu, bersama seorang gadis yang sudah ia selamatkan, dan mengapa ia merasa sok pahlawan sekali? Seharusnya ia tidak melakukan semua ini. Apalagi sekarang tepat dini hari, dan Ve masih terjaga dengan eloknya.

Bahkan lelaki tampan itu masih betah pula memandang tubuh lemah di depannya, tengah berbaring di atas ranjang, lengkap dengan selang infus serta oksigen di hidung nya. Satu jam lalu, pemeriksaan gadis itu dilakukan oleh dokter keluarga miliknya. Trauma sedang juga kondisi kesehatan tidak stabil, hal tersebutlah diagnosa rinci keadaan gadis tersebut.

Ve mendekat, beranjak dari duduknya di sofa (menghampiri presensi orang asing di rumahnya saat ini, lebih tepatnya, orang asing yang ia selamatkan). Ia bawa tanpa alasan signifikan. Terasa membingungkan menurut lelaki itu.

Ia mendaratkan tubuh di pinggir ranjang, menatap gadis tersebut yang tengah tidur tenang dengan nafas penuh keteraturan. Tidakkah ia ingin bangun? Sudah terlalu lama gadis ini tidak sadarkan diri. Bukannya Ve mengkhawatirkan, hanya saja, lelaki itu ingin melihat kembali manik mata tersebut. Yang tidak disangka sangat ia sukai, sendu dan menghangatkan.

Beberapa menit ia hanya terdiam, memandang tanpa alasan. Hanya suka, dan ia akan terus melakukannya jika saja dering telfon tidak menyadarkan lelaki itu. Lantas, ia bangkit, berdecak sebal sembari melangkahkan kakinya menuju pinggir sofa, dimana ponsel lelaki itu terletak di atas meja kecil.

"Menganggu saja." gerutunya namun tetap menggeser ikon hijau untuk mengangkat panggilan tersebut.

Pertama kali yang di dengar lelaki Kim itu adalah sebuah suara perintah lantang yang samar terucap, hingga beberapa detik kemudian, sautan dari sebrang membuat Ve melangkahkan kakinya keluar dari kamar tamu. Berniat mencari tempat yang pas untuk meladeni ocehan si penelpon yang pastinya membutuhkan waktu sangat lama.

"Apa?" jawabnya sedikit malas. Ayolah, ia benar-benar merasa terganggu sekarang. Ve Ingin melihat gadis itu.

" ... "

"Aku akan mengatur ulang rencananya, jangan meragukan ku jika selama ini aku lah yang sudah membunuh musuh-musuh mu." cerca lelaki Kim itu membuat seseorang di sebrang sana sedikit terkekeh. Menyebalkan, pikirnya.

" ... "

"Byun Baekhyun! Kau-sungguh menganggu ku, sialan! Tidak penting yang kau bahas saat ini. Brengsek memang."

Tanpa mempedulikan apapan yang dikatakan lelaki itu selanjutnya, Ve memutuskan panggilan. Berdecak sesaat sebelum memasukkan ponsel tersebut ke dalam saku celana, beserta kedua tangannya pun ia selipkan di saku tersebut. Memandang jauh sungai Han yang masih dapat ia lihat dari lantai tiga rumahnya, tepat di dalam ruang kerja miliknya, menampakkan pemandangan jendela dengan tirai yang ia singkap setengah.

HELLUVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang