My I?

10 3 0
                                    




Pagi ini aku terbangun oleh cahaya matahari yang memasukki kamar tidurku dengannya. Ku lihat ia di samping. Masih tertidur lelap. Ia hanya terbalut oleh selimut yang menghangatkannya. Ku tatap wajah itu lamat. Wajahnya masih cantik seperti dulu aku melamarnya. Hanya menambah sedikit kerutan halus di sekitar garis senyumnya.

Dengkuran halus menyadarkanku dari euphoria ini. Segera ku memakai celana pendek yang sempat jatuh saat kegiatan malam tadi.

Aku bangun dan meninggalkan ia yang masih terlelap dengan mimpi indahnya.

Aku masih teringat kejadian dimana aku melamarnya untuk menjadi ibu dari anak-anak kita. Sangat menegangkan. Dan itu sudah berlalu lima tahun yang lalu.




•••

Lima tahun yang lalu


"Saat kau lulus nanti, kau mau apa?"

Sepasang kekasih itu kini sedang bercengkrama santai di sebuah kafe bertemakan kebun. Terlihat bunga-bunga bermekaran segar di sekelilingnya. Kupu-kupu terbang kegirangan dengan indah di taman ini. Bunga itu ada banyak macamnya. Seperti sebuah lagu anak sekolah dasar yang sering dinyanyikan bila melihat kebun.

"Aku akan bekerja selama dua tahun, lalu aku akan menjalankan sebuah bisnis untuk orang-orang yang membutuhkan."

"Lalu?" Baekho bertanya dengan antusias. Terlihat dari ia yang sungguh memperhatikan gadisnya dengan mengukir senyum di wajah.

"Lalu, aku akan menikah dan melanjutkan kuliahku di pascasarjana." Ia menatap menerawang menembus dedaunan.

"Mengapa kau mau kuliah pascasarjana? Bukankah sudah cukup dengan gelar kita yang sekarang?"

Jungha tersenyum dan berkata, "bukankah kau ingin anak-anak kita tumbuh menjadi anak yang cerdas? Sekolah pertama bagi anak-anak adalah ibunya."

Baekho menanggapinya dengan mengusap puncak kepala Jungha, "entah apa yang membuatku tak pernah merasa bosan denganmu."

Jungha hanya tersenyum menerima perlakuan Baekho.

"Kalau begitu bolehkah aku bertanya sesuatu?"
Baekho menurunkan tangannya dari puncak kepala Jungha.

"Bertanya apa?"




"Bagaimana jika aku yang membiayai kau sekolah pascasarjana?"

Jungha menanggapi dengan memiringkan kepala, tak mengerti, "Bagaimana bila kedua orangtua-mu marah? Kau akan menggunakan uangnya kan?"

Baekho tertawa, "hahaha. Sepertinya kau tak mengerti dengan pertanyaanku."

Jungha hanya menatap Baekho menanti penjelasannya.

"Apa kau bersedia bila aku meminta kau- ah bukan. Apa kau bersedia bila aku menjadi pendamping hidupmu?"

Jungha membulatkan mata. Ia tak bisa berkata-kata. Ia kaget dengan pertanyaannya. Kaget karena mereka masih menginjak semester tujuh di bangku kuliah. Dan rencana hidupnya bisa saja buyar. Karena ia berencana kerja setelah ini. Untuk mengumpulkan biaya bisnis dan masa depannya. Dengan Baekho yang bertanya seperti itu, ia menimang-nimang. Darimana mereka akan mendapatkan uang untuk pernikahan?

"Yang sederhana saja. Kita gelar pernikahan yang sederhana." Baekho seakan menimpali apa yang di pikirkan Jungha.

Jungha tampak berpikir. "Mungkin kau bisa membicarakan ini dengan orangtuaku."

"Tentunya. aku akan bicara pada mereka. Tapi sebelum itu, apa kau bersedia menjadi pendamping hidupku?" Baekho bertanya dengan tatapan penuh harap, "akan terasa percuma bila aku berbicara pada orangtuamu tapi kau tidak bersedia." Ia tersenyum lemah. Menunduk ke bawah.

Jungha tertawa lalu memegang kedua tangan Baekho,

"Sebelum aku menjawab pertanyaanmu, maukah kau menjawab pertanyaanku?"

Baekho mengangkat kepala dan menatap penuh penasaran. "Aku mau."

"Apa kau yakin dengan pilihanmu? Apa tak ada keraguan dalam dirimu?"

Baekho tersenyum menanggapinya, "sesungguhnya, keraguanku hanya satu."

Jungha mengangkat kedua alisnya, "apa itu?"

"Yang aku ragukan selama ini adalah apa kau akan menerimaku sebagai pendamping hidupmu? Hanya itu."

Jungha kembali tertawa kecil, "Baek, bukan itu..

apa kau yakin dengan dirimu?"
Jungha bertanya dengan nada penuh harap.

"Aku yakin."

Jungha mengembangkan senyumnya, "kalau begitu, aku bahagia."

Baekho menatap gadisnya tak mengerti.

"Tadinya, jika kau masih meragukan dirimu. Aku tidak akan bersedia."

Baekho membulatkan mata. Ia hampir mengambil langkah yang salah. Tadinya ia akan menjawab 'aku belum yakin dengan ini, karena aku takut kau masih menyukai lelaki lain.' Namun ternyata kejadian itu tak terjadi.

"Mengapa kau tidak akan bersedia?"

Jungha memperbaiki duduknya, lebih rileks. "Karena, siapa yang akan percaya padamu jika empunya saja meragukannya."

Jungha menatap lengan Baekho dengan netranya. Lalu, ia menggenggam kedua tangan itu. Baekho melihat pergerakannya, berbalik menatap Jungha.

"Aku bersedia bila kau menjadi pendamping hidupku."

Dengan kalimat singkat itu, Baekho meloncat kegirangan hampir menyenggol sebuah gelas di pinggir meja.






To be contiuned

'DongBO' (Dongho paBO)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang