Ex-girl

12 2 0
                                    




Betapa gugupnya aku hari ini.

Seluruh persiapan telah dilakukan. Para tamu sudah berdatangan. Aku sesekali menyambut mereka di tengah-tengah keramaian.

"Hoi, Baek!"

"Ah! Jonghyun-hyung!" Bergegas ku berjabat tangan dan berpelukkan dengannya.

"Akhirnya yang kau dambakan tercapai, hahaha!" Ia memukul bahuku perlahan.

"Kau tidak tahu berapa lama dan betapa susah mendapatkan hatinya." Aku tersenyum menatap altar yang akan menjadi saksi bisu ikrar suci kita, tersipu sekaligus senang dengan apa yang telah ku capai.

"Iya, iya, haha aku mengerti. Hmm ngomong-ngomong.." Jonghyun nampak menatap sekitar. "Dimana Jungha?"

Aku mengangkat kedua alis bersamaan, "hm? Ia berangkat langsung dari rumahnya."

Jonghyun nampak mengernyit, "bukankah seharusnya ia sudah sampai 30 menit yang lalu?"

Aku menatapnya kaget. Benar juga, bukankah perjalanan menuju kemari tidak memakan waktu lama? Tempat pernikahan kita adalah sebuah tempat wisata yang tak jauh dari rumahnya. Kira-kira 500 m. Apa itu memakan waktu yang lama?

Aku terlalu asyik menyapa orang-orang sampai aku tak menyadari waktu sudah berjalan lebih cepat dari yang kubayangkan.

Aku mencari keberadaan ibu dan ayah. Ah, dimana pula mereka berdua? Telepon genggamku ada padanya. Mengapa semua orang menghilang hari ini?

Langkah yang tergesa-gesa menuntunku pada sebuah lahan luas di daerah sekitar tempat wisata. Tema yang digunakan hari spesial ini adalah garden party. Jungha yang memilihnya. Ia suka berbaur dengan alam. Sejuk dan alami.



Disitu mereka berdua.

"Ibu, dimana telepon-ku?"

Mereka yang duduk disebuah kursi kayu panjang membalikkan badan sehingga bisa melihatku. Nampak wajah ibu yang berkerut.

"Bukankah itu ada diatas meja?"

Bingung. Apa aku yang tak ingat? Tapi sungguh aku mengingat ibu yang mengambil dan menyimpannya.

Beringsut kesal. Aku meninggalkan mereka yang masih memasang tatapan bingung dan hendak bertanya sesuatu. Kuyakin mereka akan menanyakan Jungha.

Aku berlari menuju tempat wajahku dirias. Menanyakan setiap orang yang berdiri disana mengenai telepon genggamku.

"Baek, bagaimana jika kau langsung menjemputnya? Ini sudah lebih dari 45 menit, kasihan tamu-tamu menunggu." Tak hanya aku yang khawatir, namun Jonghyun-hyung pun begitu.

Memang. Dimana akal sehatku disaat-saat begini? Tak bisakah aku bergerak sedari tadi? Hei tubuh! Apa yang kau lakukan?

Tak perduli dengan tamu-tamu lain yang sudah menunggu di dalam. Langkah yang membawaku pergi semakin cepat, bersamaan dengan peluh yang mulai membasahi lekuk wajahku. Setiap inchi di daerah ini sudah kuhafalkan sejak tiga tahun lalu ku menyatakan perasaan padanya. Toko roti Pak Jaehwan terlihat begitu menggoda dengan harum yang ia ciptakan. Ia selalu melewati jalan ini saat pulang. Hanya untuk sekedar menyapa dan membeli beberapa roti yang tersedia. Dan berakhir dengan ia yang bekerja disana.

Di belokkan selanjutnya ada sebuah halte bis tempat ia menunggu aku menjemputnya dengan sepeda untuk berangkat sekolah dahulu. Ia bercerita, bahwa disitulah ia mendengar aku mengatakan 'putus' padanya.

Sesungguhnya itu benar-benar perbuatan Jonghyun-hyung. Ia mabuk siang hari. Entah apa yang ia pikirkan. Dan saat itu ia melihat kabel earphone yang kupakai sebagai mi instan. Lapar katanya. Ia melihat bahwa kepalaku seperti bakso raksasa yang siap untuk disantap. Untung saat itu gelas berisi air bening yang segar tepat berada di sampingku. Ku siram wajahnya dengan itu lalu lari untuk menghindarinya. Dan karena itu, sempat ada kesalahpahaman diantara aku dan Jungha.

Beberapa blok lagi, tubuhku akan sampai di rumahnya. Pagar hitam, dinding berwarna oranye, di halamannya terdapat beberapa tanaman hias dan buah-buahan. Segera ku buka pagarnya dan bergegas mengetuk pintu rumah.

'Tok tok tok!"

"Jungha! Kau-" ucapanku terpotong lantaran pintu rumah yang terbuka.

Segera kumasukki rumah itu. Terdengar kericuhan dari dalam.

"Ibu! Bisakah kau percepat melihat dirimu di cermin?! Kita sudah terlambat hampir satu jam!"

Orang yang dipanggil Ibu nampak tak menjawab suara yang kukenal sebagai suara Jungha.

"Ayah! Bantu aku! Tolong keluarkan kecoak menggelikan ini dari sepatu!"

"Ayah masih membetulkan dasi, Nak! Usirlah sendiri!"


Yang benar saja?





•••






Kini tamu-tamu menatapku. Mereka tersenyum, seperti ikut merasakan bahagia yang kurasakan. Kotak kecil berwarna merah yang kugenggam telah kupastikan aman dalam saku jas. Karena jika itu hilang, bisa berisiko sangat besar dalam momen ini.

Altar yang dipakai Jungha dan aku berikrar, dihiasi banyak bunga. Membuatnya indah meski sederhana. Matahari mulai meninggi, namun tak panas. Udaranya nampak sejuk bersamaan dengan munculnya seorang gadis bergaun putih semburat merah muda di sisi gaunnya. Ia cantik sekali.

Perlahan namun pasti, ia berjalan anggun menuju altar. Aku menunggunya dengan perasaan amat tegang. Entah apa yang membuatku seperti ini.

Kini rona merah muda tampak lebih terlihat dari wajahnya. Ia tersenyum menatapku lalu berhenti tepat di hadapanku. Tangan yang awalnya tersimpan di samping tubuh, kini meminta lengan Jungha agar bisa bertautan bersama mengikuti prosesi ikrar suci yang akan membuatnya menjadi bukan lagi pacarku.

Melainkan sebagai istri yang akan mendampingi sampai kapanpun. Begitupun aku yang akan dengan sepenuh hati mencinta dan menjaganya sampai kapanpun.

Prosesi suci ini berakhir dengan sorak-sorai tamu yang menanti ciuman kedua yang akan ia dapatkan dariku. Cincin sudah melingkar indah di jari kirinya. Ia menunduk. Apa cincin itu yang ia lihat? Ia menunduk sekali. Nampak sesekali menoleh tertawa kecil pada teman-temannya yang menyaksikan. Manis sekali.

Kuangkat dagunya perlahan dengan ujung jari telunjuk dan tengah. Kegerakkan telapak tanganku pada rahangnya. Nampak wajahnya semakin memperlihatkan semburat merah. Gemas sekali ku ingin mempercepat prosesi ini.

Perlahan ku dekatkan wajahku padanya, sorak-sorai semakin keras tatkala hidungnya menempel di hidungku. Sebentar ku berhenti dan menatap matanya. Mungkin ia merasakan pergerakanku, ia membuka matanya.

"Bolehkah?" Aku bertanya dengan lembut. Selama ini kita tak pernah lagi melakukan hal seperti ini semenjak terakhir kita terjebak dalam hujan sesudah ia menerimaku menjdi pacarnya.

Ia tersenyum, dengan reaksi yang sama seperti waktu itu, ia mengangguk menandakan 'boleh' diiringi sedikit tawa darinya.

Tawa bahagia.














Mau ditamatin aja ga nih??? Wkwkwk lelah Ra menunggu inspirasi selanjutnya wkwkwk.








To be contiuned



Jangan deng ;(

Biarkan pada saatnya cerita ini akan tamat wkwk

Geje




See you in the next chapterr 👋👋
🍫

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 09, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

'DongBO' (Dongho paBO)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang