Prologue

119 36 12
                                    

"Yang lo bawa itu sepeda gua!"

❄❄❄


Aku tersenyum menikmati udara segar pagi hari ini yang menerpa wajahku lembut. Duhai angin, mengapa kau selalu membuatku terbuai? Pori kulitku yang kau terpa, tapi hati ini yang bahagia. Sungguh nikmat Tuhan yang tak bisa aku dustakan.

Tak terasa kakiku mengayuh, sebentar lagi sampai pada tujuanku. Aku percepat laju sepedaku, tidak sabar mendengar tawa ringan tak berbeban itu.

Tiba-tiba saja ada sebuah sepeda yang menabrakku dari arah belakang. Sepedaku tidak terkendali, dan akhirnya ...

Bruk!

Aku meringis. Sungguh, ini perih sekali. Sepertinya sikuku tergores aspal jalanan. Kulihat dan ternyata benar, darah segar mengalir disana.

Sebuah tangan terulur padaku. Aku langsung menerima uluran tangan itu dan berusaha untuk berdiri, tanpa melihat wajah si pemilik tangan.

Suara deheman mengalihkan fokusku, aku mendongak dan langsung menatap wajahnya. Tak mengalihkan tatapan ke arah lain, aku terkunci pada netra coklat tua itu. Indah sekali matanya, netra coklat tua, bulu mata yang lentik dan tebal, dan sepasang alis tebal menghias disana. Aku tersadar kala dia melambaikan tangan didepan mukaku, menunduk malu bagai maling yang tertangkap basah.

"Em ... maaf, tadi gua enggak sengaja. Lo enggak apa-apa, kan?" tanyanya padaku. Aku menggeleng pelan kemudian mendongak.

"Enggak apa-apa, kok," jawabku berbohong sambil tersenyum, berharap dia percaya. Aku melihat dia menatapku selidik. Tunggu, kenapa saat dia menatapku, debaran ini sungguh terasa? Batinku bertanya-tanya.

"Lo bohong, gua tau siku lo luka. Ayo sini, gua obatin," ucapnya kemudian tanpa permisi menarik tanganku. Ini orang tanpa permisi main tarik-tarik aja, enggak tau apa jantungku kayak habis maraton! Batinku terus saja bertanya-tanya, kenapa dengan detak jantung ini?

Dia membawaku duduk di trotoar jalan menuju taman. Aku lihat dia mengeluarkan plaster, kapas, dan obat merah dari tas punggung yang dibawanya.

"Gua obatin dulu, ya. Maaf kalo perih dikit," izinnya padaku dan hanya di balas anggukan olehku.

Kapas itu menyentuh lembut permukaan lukaku. Aku menggigit bibir bawahku, menahan ringisan. Tapi, sekuat apapun aku menahannya, ringisan itu tetap keluar.

"Sakit, ya? Tahan bentar, tinggal di plaster," pintanya dan mulai membuka kertas yang membungkus plaster tadi. Kulitku tersentuh kala dia menempelkan plaster itu dan lagi, jantungku semakin berdetak kencang. Ada apa ini?!

"Udah selesai! Maaf ya gua tabrak lo, tadi itu rem sepedanya tiba-tiba blong," jelasnya padaku.

"Iya enggak apa-apa, tenang aja," jawabku padanya sambil kembali menunjukan senyuman. "Emh ... aku balik duluan yah, makasih sudah mau ngobatin," lanjutku. Sambil berjalan, aku letakan tanganku didada, tetap terasa sangat debarannya. Kunaiki sepeda yang ada didepanku, tanpa melihat ini benar sepedaku atau bukan. Saatku gayuh terasa begitu berbeda dari biasanya. Aku mendengar si penabarak tadi berteriak padaku, aku pun berhenti mengayuh dan menengok ke arahnya.

"Yang lo bawa itu sepeda gua!" Dia teriak sambil berusaha menahan tawa. Aku lihat sepeda ini dan ternyata benar, aku salah naik sepeda. Aduh malu sangat, kenapa bisa salah sih. Pipiku terasa panas, malu karna salah. Aku putar balik dan kembali mendekatinya. Setelah sampai didepannya, aku pun turun. Melihatnya menahan tawa, aku hanya bisa menunjukan senyum pasta gigi ini. Haaa ... aku malu!

"Hehehe ... maaf ya," ucapku pelan padanya. Aku tak mau mendengar jawabannya, langsung saja aku pergi menuju sepedaku dan menaikinya. Saat aku akan mengayuh, tawanya terdengar begitu keras. Aku malu! Langsung saja aku gayuh sepeda ini dengan kecepatan super.

Hari yang memalukan, tapi aku suka. Biarlah kejadian hari ini menambah kenanganku di taman, biarlah tawa itu menjadi lagu yang akan selalu kukenang, dan biarlah tatapan itu menjadi khayalanku disaat malam.

Tak terasa aku telah sampai di depan rumah. Langsung saja masuk dan menuju kamarku di lantai 2. Kubuka pintu kamar yang bernuansa alam ini.

Buku catatan harian yang menjadi incaranku. Kubuka buku ini, sudah begitu banyak kata yang tertulis di dalamnya. Semua itu berisi ucapan yang tak bisa aku ungkapkan. Kubuka tutup balpoin dan mulai menggoreskannya pada buku polos ini. Kata demi kata sudah aku abadikan di sana. Ya, si penabrak tadi yang menjadi objekku kali ini.

"Duhai, Tuan ...
Aku jatuh dalam tatapan
Mata elang namun menenangkan
Apa ini yang di sebut cinta awal pandangan?"

Jakarta, 13 Juli 2019
Gr_

👑👑👑

Bintang memang memancarkan sinarnya ke seluruh penjuru bumi. Tapi, ia hanya berkedip pada satu mahluk yang menatapnya dan ... belum tentu itu kamu!

Semesta bilang, "Jangan terlalu berharap. Karena, bisa jadi ia hanya menatap, bukan menetap." :')

RetisalyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang