Bagian - 5

576 32 6
                                    

Anne sedang mengantarkan tugas teman-teman sekelasnya menuju ruang guru ketika tanpa sengaja ia menubruk tubuh seseorang. Seketika tumpukan tugas yang dibawanya jatuh tercecer ke lantai. Anne membungkuk mengumpulkan kembali kertas-kertas itu.

"Maaf, aku nggak sengaja," ujar gadis itu tanpa mendongak untuk melihat siapa lawan bicaranya.

"Nggak juga. Sepertinya aku yang jalan sambil melamun. Maaf, jadi bikin kamu kesusahan."

Suara laki-laki. Halus dan hangat. Anne mengangkat kepala. Dia mendapati sesosok laki-laki yang mengenakan seragam sama sepertinya, berhidung mancung—meskipun sedikit lebih mancung hidung Devan_yang paling menarik perhatian Anne adalah laki-laki itu memiliki mata berwarna hitam pekat yang sangat ... cantik?

"Ini."

Dia ikut berjongkok di depan Anne sembari menyodorkan beberapa lembar kertas yang berserakan kepada gadis itu. Dari jarak sedekat ini Anne bisa melihat jelas mata bening itu tampak berkilau.

"Terima kasih."

"No biggie. Aku juga ikut salah karena enggak memperhatikan depan." Laki-laki itu menarik sudut bibirnya ke atas menciptakan segurat senyum menawan.

Astaga. Anne tidak sanggup menyaksikan keindahan yang tampak di depan matanya ini.

Anne terpaku beberapa detik dalam rangka memperhatikan paras elok milik sosok yang berjarak tidak sampai satu meter di hadapannya ini.

Anne tahu, tidak sopan memandangi orang lain, apalagi yang belum dikenalnya. Tapi Anne tak ingin menampik fakta bahwa dia telah terpukau sesaat oleh laki-laki itu.

"An, kamu ngapain?"

Devan menghampiri dari kejauhan. Anne secara spontan berdiri dan memperbaiki posisinya.

"Eh? Enggak. Ini tadi aku nggak lihat jalan jadi nabrak orang gitu."

"Ya ampun, kamu tuh begonya bisa dikurangi dikit nggak sih?"

"Idih, galak bener! Orang yang aku tabrak aja nggak ada ngatain kasar kaya gitu, malah kamu yang nyolot."

"Jangan ceroboh makanya. Gimana kalo—"

"Mungkin terdengar kurang sopan jika aku mengatakannya, tapi apa tidak ada pilihan kosakata lain yang lebih enak didengar perempuan, Devan?"

"Hah?"

Devan menoleh kepada laki-laki itu. Dia kenal. Leon. Kakak kelas dua belas yang juga mantan wakil ketua OSIS sekaligus mantan ketua klub literasi yang diikutinya. Kini Leon telah demisioner, tapi tetap saja sosoknya terkenal seantero sekolah.

"Aku tidak tahu seberapa dekat hubungan kalian, tapi alangkah lebih baik jika kamu berbicara secara lembut, apalagi lawan bicaramu adalah perempuan, Dev."

Devan diam. Salah satu kemampuan tak tertaklukkan seorang Leon adalah satu kata yang terucap dari mulutnya akan bisa membungkam seribu kata lawan bicaranya.

"Ah-ah, nggak papa kok. Aku udah terbiasa sama sikapnya yang kaya itu. Tapi sebenarnya Devan sangat baik kok. Hehe." Anne tertawa hambar mencoba mencairkan kebekuan suasana di sekitarnya.

"Devan, kamu tunggu di kelas dulu, ya. Aku harus antar tugas ini ke Pak Anton. Setelahnya kita makan."

"Sepertinya tugas yang kamu bawa terlalu banyak. Biar aku bantu bawain." Leon mengambil separuh tumpukan kertas yang dibawa Anne sebelum gadis itu bisa merespon apapun.

"Ah, iya. Terima kasih banyak."

Anne mengedikkan bahu memberi kode pada Devan agar menunggunya di kelas, sementara dia berjalan menelusuri lorong menuju ruang guru—diikuti Leon yang berjalan beberapa langkah di belakangnya.

Elegi Sebuah Pagi (On-Revision)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang