Istri Kedua Ayahku

4.6K 172 3
                                    

Dua kali aku melihat papa melayangkan tangannya ke pipi mama.

"Miranda Lestari! Aku cerai kau saat ini juga."

"Papaa ...!" teriakku.

Mama terkejut dan mundur beberapa langkah. Terdiam dan terpaku. Lalu terduduk dan memohon maaf kepada papa.

"Mas ... Masss! Aku mohon jangan lakukan ini kepadaku."

Papa bungkam seribu bahasa melihat mama. Aku mendekat dan memeluk mama.

"Maas ... aku mohon, demi anak-anak."

Mama terus mengucapkan hal yang sama.

"Mas," ujar wanita yang di sebelah papa.

"Papa! Apa papa udah enggak sayang sama kami?"

"Papa sayang pada kalian, Sabrina."

"Lalu kenapa meninggalkan mama? Apa wanita itu yang telah menghasut Papa?"

"Sabrina jaga ucapanmu. Dia juga mama kalian."

"Tidaak!!! Dia bukan mama Sabrina. Mama kami hanya satu. Papa jangan lakukan ini pada mama. Sabrina mohon."

Aku merayu papa sebisaku. Memohon agar papa tak meninggalkan mama.

"Mass ... aku mohon, demi anak-anak."

"Baiklah. Tapi dengan syarat."

"Baik, Mas syarat apa saja akan aku terima."

"Ajeng juga akan tinggal di sini bersama kita."

"Papa itu enggak mungkin. Jangan lakukan itu pada kami."

"Sabrina, tenang, Sayang."

Kini mama berusaha memujukku untuk menerima semuanya. Kenapa dengan mama? Kemapa mama berubah 360% sekarang. Ini tidak akan mungkin. Bagaimana mungkin bisa dalam satu rumah ada dua ibu.

"Papa jahat!"

Aku berlari ke lantai dua menuju kamarku dengan cepat, meninggalkan mereka semua. Hatiku sakit. Rasanya sesak sampai aku tak bisa bernafas. Bagaimana mungkin papa bisa sejahat itu membawa wanita lain masuk ke dalam istana kami.

"Sabrina benci papa ..."

Aku menangis sembari meremas bantal. Tak lama pintu kamarku dibuka. Kuusap air mata itu ketika melihat adik-adikku mendekat lalu duduk didekatku.

"Kak. Siapa wanita yang dibawa papa, Kak?"

"Dia wanita jahat. Dia jahat. Aku membencinya."

"Kenapa papa membawanya ke rumah kita?"

"Jangan tanya padaku! Aku tidak tahu."

"Kau kenapa marah pada kami, Kak?"

"Maafkan aku."

Aku menangis sembari memeluk kedua adikku.

***
"Sabrina, Sayang."

"Sabrina benci papa, Ma."

Aku memeluk erat tubuh mama, yang dibalas kuat dengan linangan air mata.
Sakit. Sakit sekali hati ini. Kenapa harus keluargaku? Kenapa tidak keluarga orang lain saja? Bagaimana kami bisa menjalani kehidupan yang bahagia seperti dulu? Rasanya istana ini sudah dihancurkan oleh papa kami sendiri.

"Ma. Mama harus lawan. Sabrina enggak ikhlas perempuan itu tinggal sama kita."

"Sudahlah, Rin. Mama akan belajar ikhlas. Yang penting papa enggak tinggalkan Mama."

"Mama, kenapa begitu? Sabrina nggak mau."

"Sudah, Sayang ..."

Mama memeluk kami erat sambil menangis. Aku melihat kehancuran yang sangat dahsyat yang mama pendam. Entah kenapa mama mau menerima semua ini. Aku tidak akan tinggal diam. Akan kubuat wanita itu berpisah dengan papa. Akan kubuat dia tidak tahan berada di rumah kami.

***
Mama dan kedua adikku kembali ke kamar masing-masing. Sekarang sudah pukul 01.20 WIB.
Aku menuruni anak tangga pelan-pelan. Aku tidak akan rela perempuan itu menguasai papa dan rumah ini.

Aku berjalan mengendap-endap sambil melihat kiri dan kanan.

Cklek ...

"Sabrina ..."

"Eeh Papa."

"Kamu ngapain, Nak?"

"Enggak. Sabrina hanya haus, pengen minum."

"Sayang. Kamu masih marah sama Papa?"

Mendengar itu aku hanya diam tak membalas. Kuambil botol yang ada di dalam kulkas. Lalu bergegas meninggalkan papa

"Sayaang ..."

"Sabrina benci Papa."

***

Daaar ...

Aku membanting pintu kamar. Dan bersandar di sana. Sakit sekali hatiku. Kenapa papa tega sekali. Aku masih tidak bisa berpikir dengan lancar. Emosiku membara seakan aku ingin membunuh wanita itu malam ini juga.

"Aku berjanji akan membuatmu menderita, Ajeng."

***
Took ... toook ... took ....

"Non ... Non Rina bangun."

Aku mendengar suara bibik mengetuk berulang kali. Kubuka mataku dan berharap ini semua mimpi.

"Aaaww ..."

Aku kesakitan setelah mencubit lenganku.

"Ini tidak mimpi, Rina ..."

"Non Rina ..."

"Iya, Bik. Rina sudah bangun."

Aku menarik napas panjang. Memikirkan rencana untuk mengusir Ajeng dari sini.

"Aku butuh racun. Hmm ... aku akan mendapatkannya sepulang sekolah. Kita lihat saja, Ajeng. Kau akan mati atau sekedar keracunan."

***

Selesai mandi dan berganti pakaian. Aku menuruni anak tangga perlahan. Kulihat di meja makan semua orang sudah ada di sana. Terutama wanita jahat itu. Dia duduk di samping papa. Tempat mama biasa duduk. Menjerit dan memberontak jiwaku melihat itu.

Dia seperti tak berdosa melayani papa. Sedangkan mama sibuk mengurus adik bayiku. Reno dan Rian memakan sarapan mereka tanpa perduli apa pun. Mereka tidak faham, tapi aku? Aku faham dan aku membenci semua ini.

"Sayaang duduk sini."

"Rina enggak mau, Pa."

Aku menolak duduk di tempatku biasa. Kubalik piringku dan mencoba mengambil sendok nasi, namun dengan sok baiknya Ajeng menawarkan diri untuk melayaniku.

"Sini, saya ambilkan."

"Enggak usah!!! Aku bisa sendiri."

"Sabrina ..."

"Apa, Ma? Sabrina bisa sendiri kan ..."

Papa diam sambil terus mengunyah makanannya.

"Mas, mau tambah?" ujar Ajeng. Merayu papaku.

"Dasar wanita murahan." gumamku.

Perlahan kukunyah makananku. "Hmm ... enak. Siapa yang masaknya, Ma?"

"Bunda Ajeng yang masak," potong papa.

"Uueeekk ..."

Aku berlari ke dapur memuntahkan makananku. Lalu kembali ke meja makan.

"Sabrina, dia ini mama kalian juga."

"Enggak sudi. Sampai kapanpun dia hanya wanita perusak hubungan Papa dan mama."

"Sabrina!!!"

"Mas ...." Ajeng menahan tangan papa.

"Waaw. Luar biasa sekali aktingmu, Ajeng!"

"Sabrina. Jangan begitu."

"Biarkan saja Ma, Rina enggak perduli."

Aku mundur sekuat tenaga sampai kursiku terjatuh. Aku berjalan ke luar dengan emosi membara. Kedua adikku mengejar dengan cepat.

"Kaak! Tunggu kami ..."

"Cepaat!!!"

Istri Kedua AyahkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang