Istri Kedua Ayahku

4.6K 137 29
                                    

Setelah telepon terputus aku mandi dan keluar mencari makanan. Perutku rasanya sudah keroncongan.

***

"Toloong ... tolooong!!"

Sayup-sayup aku mendengar suara jeritan minta tolong. Langsung aku bergegas mencari sumber suara tersebut.

Dan betapa kagetnya aku melihat sosok wanita paruh baya sedang menangisi tubuh anak remaja itu.

"Toloong!!"

"I-ini kenapa Buk?"

"Dia ditabrak lari oleh mobil.Tolong saya, Pak!"

Wanita paruh baya itu menghiba dan tak berhenti menangis. Darah ada dimana-dimana. Aku langsung berlari ke Vila dan mengeluarkan mobilku. Membawa mereka ke rumah sakit terdekat.

***

"Suster toloong!"

Aku memekik agar segera mendapat pertolongan. Dokter langsung memeriksa pasien. Wanita tua itu terduduk lemas dengan tangannya yang masih terus gemetar.

Aku keluar mencari mini market untuk membeli minuman.

"Ini Buk."

"Te-terima kasih, Nak."

"Sama-sama Buk. Itu anaknya?"

"B-bukan."

"Lalu itu anak siapa?"

"Itu anak majikan saya."

"Majikan? Ada nomor teleponmya biar saya hubungi?"

"A-ada."

Dengan gemetar wanita itu memberikan semua telepon genggam kepadaku.

"Ibuk. Namanya Ibuk," sambungnya.

Dengan izinnya aku menelepon nomor tersebut. Dan mengabarkan anaknya kecelakaan.

***

"Biikk!!"

Suara jeritan dari sosok wanita yang nampak sangat sosialita itu segera berlari menghampiri kami.

Plaak ...

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi wanita yang bersamaku.
Mataku membulat melihat betapa kejamnya wanita ini.
Bukan hanya tamparan tapi sumpah serapah pun dia keluarkan dengan sangat lancar.

"Sudah kubilang jangan kasih anak ini keluar!"

Aku tak tega tapi tak bisa ikut campur. Tak lama sosok lelaki bertubuh tegap bergabung. Memarahi wanita sosialita itu. Saling adu mulut pun terjadi.

"Kau memang tidak becus menjaga anak."

"Kurang ajar kau berani menyalahkan aku."

Aku sangat malu melihat mereka. Dan kasihan melihat anak yang mungkin seusia Sabrina putriku harus mengalami kesulitan hidupnya.

Aku berlalu tanoa sepatah kata pun. Teriris hati ini jika sampai Sabrinaku mengalami hal demikian. Apalagi jikalau tahu perbuatan ibunya. Bagaimana aku harus menjelaskan kepada Sabrina jika orang tuanya sudah bercerai.

"Ya Allah apa yang harus aku lakukan."

Sepanjang jalan hanya itu yang kukatakan. Aku tak sanggup melukai anak-anakku dengan memberitahukan kebenarannya.

"Apakah aku harus memberikan kesempatan kedua untuk Miranda? Oowh hati ini sungguh belum siap."

***

Dreet ... dreet.
Sebuah pesan Whatsapp dari Sabrina masuk.

"Pa. Dedek bayi demam."

Membaca itu rasanya hasrat ini ingin langsung pulang. Tapi apakah aku siap untuk melihat wajah mungil tak berdosa itu? Dia bukan anakku. Tapi kenapa hati inj sungguh sakit mengetahui dia sakit.

Akhirnya dengan pertimbangan yang kumayan menguras pikiran aku memilih pulang. Setelah mengalahkan ego dan amarahku.

***
"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikum salam."

Sabrina membukakan pintu untukku. "Ma. Papa pulang."

"Bagaimana keadaan adek, Nak?"

"Masih panas Pa. Adek rewel dari tadi malam."

Aku berjalan menuju kamar. Dan kulihat Baim sangat pucat.

"Kau beri dia makan apa?"

"E-enggak ada, Mas."

"Ayo gendong bawa ke rumah sakit."

***

Sesampainya di rumah sakit ternyata Baim mengalami dehidrasi. Rasanya emosiku kembali menggebu. Bagaimana mungkin Miranda bisa tidak memperhatikan anaknya.

Akhirnya Baim dirawat selama tiga hari lamanya. Hatiku yang sudah membatu harus mengalah demi anak-anakku. Akhirnya aku kembali rujuk dengan Miranda dengan alasan anak-anak. Walau sungguh hatiku sudah mati untuknya.

***

Selang dua bulan setelah kejadian itu Miranda nampak telah melupakan semuanya. Dia bersikap seperti biasa. Seakan bukan dialah yang melakukan kesalahan itu.
Ini semua hanya demi anak-anak. Aku tak ingin anakku mengalami hal yang sama dengan remaja tempo hari ynag kutolong.

***
Aku menjalani kehidupan yang sangat datar. Tanpa cinta untuk Miranda. Semuanya sudah lenyap. Tapi Miranda tak peduli semua itu. Dia tetap sibuk dengan sosialnya. Aku pun tak terlalu memikirkannya. Hanya saja jikalau aku tahu dia main gila lagi maka tak akan ada kesempatan lagi sampai mati.

"Mas aku pergi dulu, yah."

"Kau mau kemana?"

"Arisan di tempat Buk Erna."

"Ya sudah."

Miranda berlalu tanpa mencium tangan seperti dulu.
Aah rasanya ada penyesalan karena memberinya kesempatan kedua. Tapi balik lagi semua ini demi anak-anakku. Aku akan bertahan semampuku demi mereka.

Bukan karena cinta yang membuagku bertahan, tapi karena anak-anak yang masih membutuhkan kedua orang tuanya.

Istri Kedua AyahkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang