Istri Kedua Ayahku

3.9K 158 5
                                    

Aku langsung memotong percakapan mama yang terus saja mencoba menutupi semuanya.

"Sabrina!"

Plak ...

"Miranda!"

"Mba!"

Aku tertegun melihat mama sampai hati menampar pipiku. Padahal aku hanya tak ingin ada perempuan lain di kehidupan kami. Tapi ... tapi mama dengan teganya menampar pipiku.

"Miranda! Lancang kau menampar Sabrina. Dia tidak salah apa pun."

"Sayang maafkan Mama, yah. Mama nggak sengaja."

Mama memelukku erat. Sakit memang tapi dia ibuku. Aku paham emosi mama pasti tidak stabil. Aku hanya memegang pipiku. Rasanya panas sekali.

"Sebetulnya apa yang terjadi, Miranda?"

Opa yang sedari tadi hanya diam mulai berbicara. Namun mama masih diam seribu bahasa. Seakan menyembunyikan sesuatu dari kami.

"Ma ... Mama harus bilang kalau Mama enggak ikhlas menerima wanita itu."

Aku merayu mama sebisaku. Agar mama mengerti kalau dia tidak sendiri. Ada oma, opa, tante Widya dan kami anak-anaknya.
Seketika itu mama meringkuk menutupi wajahnya dengan kedua tangan.

"Mba. Sudah dong jangan takut kami ada."

Tante Widya mengelus punggung belakang mama lalu memeluknya.

Tapi tiba-tiba pintu didobrak dengan sangat kuat. Itu menimbulkan bunyi yang membuat jantung bergetar. Ternyata papa. Wajah papa terlihat sangat merah menahan amarah. Dan tentunya Ajeng ada di sana. Entah apa yang sudah dikatakan pada papa sehingga air muka papa sampai seperti itu.

"Siapa yang berani mengusir istriku dari sini?! Ini rumahku!!! Aku yang berhak menentukan siapa yang boleh tinggal dan keluar dari sini!"

Aneh semua orang terdiam mendengar itu semua. Lebih-lebih aku. Lututku sampai bergetar saking takutnya.
Papa mendekat diantara kami.

"Siapa? Siapa!"

"Akbar tenangkan dirimu."

Opa mencoba meredam emosi papa. Lalu  aku memberanikan diri mendekat dan menggenggam tangan papa. Tanganku yang dingin terasa hangat karena emosi papa mungkin sudah sangat meledak.

"Pa ..."

Aku mendongak menatap papa. Mataku berkaca-kaca. Rona wajahku sangat sayu. Papa menatapku dan mata papa yang tadinya merah berubah sedikit demi sedikit. Papa mengelus kepalaku. Aku langsung memeluk tubuh papa yang kekar. Dan papa membalas pelukanku dengan hangat.

Aku sangat menyayangi keluargaku. Jika aku melakukan hal ini, itu semua karena aku tidak terima ada perempuan lain yang masuk ke dalam hati papa.

"Sabrina kamu cerita apa ke oma, Nak?"

Aku terdiam tak berani menjawab. Bibirku rasanya kelu. Aku takut papa akan marah padaku.

"Sabrina ..."

Belum sempat aku menjawab mama maju beberapa langkah.

"Mas. Ini bukan salah Sabrina. Ini salahku. Maafkan aku, Mas."

"Akbar apa yang membuat kamu melakukan poligami ini?"

"Ma. Akbar nggak bisa cerita. Yang jelas Ajeng adalah istri Akbar dan dia akan tinggal di sini."

"Akbar ..."

"Ma, tolong! Akbar tidak ingin mempersulit semua ini. Biarkan Akbar mengurus keluarga Akbar sendiri."

"Ma sudah enggak apa, Ma. Miranda ikhlas."

Lagi-lagi mama mengatakan ikhlas walau aku tahu mama sangat terluka. Tapi aku bisa apa? Aku hanya anak kecil yang tak tahu apa-apa dan tak memiliki kekuatan untuk mencegah semua ini.

"Sudah, Ma. Biarkan Akbar menjalani hidupnya. Dia sudah besar. Dia tahu apa yang dia lakukan."

Sesak sekali rasanya hatiku melihat sikap opa. Tapi papa memang sangat keras.

"Ajeng. Saya minta maaf. Ayo masuk."

Aku menggeleng melihat sikap mama. Pasti ada sesuatu yang tersembunyi sampai mama berlaku seperti itu. Aku sangat kesal melihat tindakan mama. Aku marah melihat mama begitu. Mama dan Ajeng masuk ke dalam kamar. Entah apa yang mereka bicarakan mama baru keluar sepuluh menit kemudian.

Oma dan lainnya pun pulang. Mereka tak ingin menjadi bulan-bulanan papa. Apalagi tante Widya terlihat sangat ketakutan ketika mencium tangan papa.

"Sabrina pergi masuk ke kamarmu."

"Papa ..."

"Sayang masuk. Papa capek."

Papa merenggangkan dasinya. Lalu membuka jas dan memilih duduk di sofa dengan tangan yang menopang kepalanya. Aku melihat dengan jelas bahwa papa sangat stres. Aku akan menemukan penyebab semua ini.

***

Aku masuk ke kamarku. Hatiku masih perih dengan semua ini. Aku tidak bisa menerima seperti yang mama lakukan. Aku menggigit ujung bantal dan meremasnya. Kesal. Aku sangat kesal. Emosi dalam hatiku sangat bergejolak. Aku akan membuat Ajeng yang meminta cerai atau keluar dari rumah ini.

"Aku akan melakukan itu. Lihat saja Ajeng. Aku tidak akan menganggapmu di sini."

"Sabrina ..."

Tiba-tiba saja papa membuka pintu kamarku. Untungnya aku hanya berbicara dengan suara yang pelan. Aku yakin papa tidak mendengarnya.

"Iya, Pa."

Papa mengambil kursi kecil yang ada di depan meja riasku. Aku merubah posisi dudukku menghadap papa. Papa memegang tanganku. Kutundukkan kepala karena tak ingin menangis di depan papa.

"Sayang. Lihat Papa sini."

Aku mengangkat kepalaku perlahan.

"Sabrina. Papa tahu semua ini berat untukmu, Nak. Papa tahu Sabrina nggak sekolah tadi kan."

Mataku melotot. Tertegun mendengar perkataan papa. Dari mana papa tahu aku tidak sekolah?

"Hmm ... Sab-"

"Papa tahu kamu nggak suka sama bunda Ajeng. Tapi nggak begini caranya, Nak."

"Papa nggak sayang lagi sama  Sabrina?"

"Siapa bilang? Papa sangat sayang sama anak-anak Papa. Terutama Sabrina."

"Lalu kenapa Papa menikah lagi. Kenapa, Pa?"

Emosiku tak dapat terbendung. Aku menangis setiap mengeluarkan satu persatu kata. Sesak di dada ini membuatku sangat tersiksa.

"Ada hal di dunia ini yang tidak bisa kita cegah, Sabrina. Pertama kematian, kedua takdir."

"Ini bukan takdir. Papa memang sudah nggak sayang sama kami."

Aku menarik tanganku dari genggaman papa.

"Sayang. Kamu tidak akan mengerti kenapa Papa begini. Saat kamu dewasa nanti, kamu akan mengerti alasan Papa."

"Rina sudah dewasa, Pa. Jelaskan sama Rina. Rina akan mengeti."

Papa menggeleng dan berpindah duduk di sampingku. Papa memelukku. Pelukan ini terasa sangat beda. Ada kesedihan yang mendalam yang dapat kurasa dari dekapan papa. Tapi apa? Papa tak menjelaskan kenapa dia menikah lagi. Papa hanya memintaku menerima semua keadaan ini.

Papa mencium keningku. "Beristirahatlah, Sayang. Papa mencintaimu."

Papa bangkit. Aku menggenggam tangan papa dengan kuat. Kutatap papa yang wajahnya terlihat sangat stres. Air mataku tak dapat kutahan. Kugigit bibir bawahku. Dan bangkit. Aku memeluk papa dengan hangat.

"Sabrina sayang Papa."

Istri Kedua AyahkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang