Kita selalu menyalahkan jarak,
Mencari dalih demi prasangka sendiri,
Sedangkan percaya tak pernah terlirik.
Bukankah memang dalam jalinan kasih selalu ada jarak yang tercipta. Kita sadari bahkan tanpa kita sadari. kita membencinya sekaligus membutuhkannya; memisahkan tatap mata yang saling menggenggam dan mencipta rindu untuk kita mengerti seberapa besar kita mampu memperjuangkan dia yang jauh meninggalkan.
Lama; sudah sekian lama kita berada dalam rentang jarak yang semakin betah menempatkan rasa pada getirnya pertemuan. Sedangkan aku bingung pada diriku sendiri, kau masihkah ada sebagai wujud dalam harapan dan doa atau telah memilih memakamkan namaku dalam dada seseorang yang kau anggap lebih baik dariku? Pelik ku mengerti, pesan-pesanmu mulai membisu; aku kehilangan kabarmu, sapamu pun dalam kolong pesan itu lama tak mencumbui bibirku. Lalu kemana kau harus kucari? Aku benar-benar kehilangan arah menujumu.
Tetapi anehnya dalam hubungan yang sudah tak seerat dulu, bukannya memilih pergi aku malah bertahan pada hubungan yang semakin lama semakin membuatku tak mengerti bahwa apa yang sedang kuperjuangkan; hubungan yang ku tahu pernah begitu riuh gelak tawa, pernah begitu yakin atas setiap ragu dan hanya ada sepasang lengan yang memilih menetap untuk waktu yang lama. Tidak lagi. barangkali dalam derap langkahmu yang tiada aku ada seseorang yang mulai perlahan mengisi kekosongan itu; bermodalkan kata-kata yang membuatmu tertawa hingga membuatmu lupa ada seseorang yang rela menunggu tanpa ingin memilih pergi.
Tapi, jika itu memang benar-benar terjadi pada kita yang telah terpisahkan jauh oleh jarak, apalah dayaku yang hanya mampu mencintaimu; serupa rumah yang teduh tempatmu mengistirahatkan segala lelah, amarah dan rindu untuk kemudian pergi meninggalkan cerita dan penantian yang kau bebankan pada pintu tempat kau terakhir berpijak. Menyedihkan. Inilah kenyataan yang kau sebagai pemilik tak pernah benar-benar memikirkan apa yang sebenarnya kuinginkan, apa yang sebenarnya kurasakan, apa yang sebenarnya kuimpikan sebagai rumah yang jatuh cinta dan bertahan melindungi pemiliknya dari dingin deru angin kehidupan yang tak selalu tak semenyegarkan yang kita harap-harapkan.
Lalu tanya-tanya akhirnya lahir dalam riuh sepi yang semakin pekat melukis wajahmu pada bentang cakrawala yang kehilangan bintang pun juga mewakili perasaan bahwa tak ada benar-benar cahaya yang memilih tinggal sejak kepergian kekasihnya dan kini aku adalah rumah yang kumuh dengan atap asa yang mulai bocor, dinding-dinding ruang rindu yang mulai berlumut oleh kelamnya kenyataan dan lantai yang mulai hilang oleh debu-debu kewarasan; masihkah ada yang waras dari fragmen tubuh malang ini? Sudah, aku bahkan lupa kapan terakhir menjadi diriku sendiri bahkan hingga waktu nanti yang entah kapan akan berakhir.
Menjadi tabah adalah jalan satu-satunya, sedangkan harapan masih juga menyimpan kepulanganm. Namun, jika nyatanya seseorang hadir mencipta degup yang meriuhkan pilu, melalui doa izinkan aku mencintai kepergianmu dengan mencintai dirinya.
"Namun, jika nyatanya seseorang hadir mencipta degup yang meriuhkan pilu,
melalui doa izinkan aku mencintai kepergianmu dengan mencintai dirinya."