Prolog

420 26 3
                                    

Aroma khas petrikor* menyeruak mengiringi suara percikan air yang bertemu dataran hari itu. Gemuruh petir dan angin kencang membuat orang berlarian mencari tempat berteduh. Derasnya hujan tidak membuat gadis terusik dan bangkit dari tempatnya berdiam di tengah taman.

Bagi kebanyakan orang, hujan adalah anugerah dengan segala kenangannya. Begitu pula dengan gadis berambut ikal dengan panjang sedikit melebihi bahu, Naura. Masih menggunakan seragam sekolah yang tertutupi jaket jeans berkupluk, ia sedikit membungkuk dengan siku yang bertumpu pada area lutut dengan kedua tangan yang bertautan seakan saling menguatkan. Matanya yang merupakan jendela diri memancarkan kosongan saat menatap dunia. Tanpa suara, tanpa emosi namun seperti mengamati.

"Semua ini karena kamu!"

"Apa-apaan sih cewek ini, hobinya membuat onar seperti berandal. Kasihan sekali orang tuanya."

"Naura, masa begini saja kamu tidak bisa, sih?"

"Kamu bohong kan, Ra?!"

"Eh bocah, kalau kamu mati pun. Tidak ada yang menangisimu, bahkan keluarga kamu sendiri."

Tautan tangan Naura terbuka, berubah terkepal dan beralih menutupi telinganya. Keningnya berkerut dengan rahang yang mengeras, matanya memerah seakan menahan ledakan di dalam tubuhnya. Airmatanya yang meleleh tertutupi oleh derasnya hujan, satu-satunya alasan Naura menyukai hujan.

Suara tawa mengejek memenuhi pikirannya,

Haha, dasar tidak pernah melakukan sesuatu yang berguna, selalu lari dari kesalahan, selalu---

Naura memejamkan matanya dengan keras, "Cukup."

***

*Petrikor: aroma alami yang dihasilkan saat hujan jatuh di tanah kering.

Dalam Mercusuar [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang