Sewu Dino : lanjutan 2

6.3K 113 3
                                    

Mbah Tamin duduk di sebuah kursi panjang. Matanya menerawang jauh di teras rumah gubuk. Sementara Sri dan yang lain berdiri, siap dengan penjelasan tentang semua ini.

Suasana hutan kian mencekam. Setiap sudut pohon seakan hidup dan mengamati mereka, Sri merasa kecil di tempat ini.

"aku isih iling. Cah cilik ayu, ceria, ra nduwe duso"
(aku masih ingat, anak kecil, cantik, ceria, belum punya dosa)

"koyok jek wingi yo, tapi, cah cilik iku, sak iki, nang ambang nyowo, perkoro Santet menungso laknat!" (seperti baru kemarin rasanya. Tapi sekarang, anak kecil itu terbaring sakit, melawan kodrat nyawanya, hanya karena santet dari manusia biadab!!)

Wajah mbah Tamin menegang. Kosakata kalimatnya seperti penuh amarah, membuat Sri dan yang lain begidik ngeri.

"cah cilik iku, Dela, yo iku, sing nang kamar"
(anak kecil itu Dela, dia yang di kamar)

"SANTET?" ucap Sri dan yang lain bersamaan.

Wajah Sri dan yang lain semakin menegang.

"iyo, mangkane, cah iku, di gowo nang kene, disingitno, ben isok tahan, sampe ketemu Awulurane" (iya, karena itu dia di sembunyikan disini. Biar bisa bertahan, sampai ketemu cara memasang santetnya)

"disingitno tekan sinten mbah"
(di sembunyikan dari siapa mbah?) Tanya Sri yang semakin tertarik, seakan semua yg ada disini membuatnya penasaran.

Mbah Tamin menatap Sri, matanya seakan tidak nyaman dengan pertanyaan itu.

"akeh sing rung mok erohi, luweh apik gak roh ae"
(banyak yang tidak kamu ketahui, lebih baik tidak tahu saja)

Suasana menjadi hening sesaat. Mbah Tamin mengambil sebuah kotak. Mengambil sejumput daun kering dari dalam kotak itu, memelintirnya dengan kertas, sebelum menyesapnya kuat-kuat. Asap mengepul dari mulutnya.

"sak iki, tak uruki tugas'e njenengan kabeh yo" (sekarang waktunya saya memberitahu tugas kalian disini)

Mbah Tamin berdiri, ia seakan memberi tanda agar Sri dan yang lain mengikutinya.

Ia berjalan disamping sisi rumah. Banyak sekali potongan kayu yang di susun. Memang, rumah ini terlihat mengerikan, dengan pencahayaan yang hanya dari lampu petromax. Selain itu, kegelapan ada dimana-mana.

Ia berhenti tepat di belakang rumah.
Ada sebuah pagar bambu, dimana di dalamnya, ada sebuah sumur. Disana, tempat untuk mandi dan tempat untuk mengambil air untuk kebutuhan hidup selama tinggal disini. Termasuk, untuk basuh sudo (tubuh mati) Dela yang terbaring tak bergerak.

Hanya Sri yang berinisiatif bertanya, terutama ketika soal memandikan itu. entah apa dan kenapa, Sri seakan tahu cara memandikanya pasti tidak sama seperti cara memandikan orang biasa. Hal itu membuat mbah Tamin tersenyum, seakan mempersingkat penjelasan beliau tentang ini semua.

"iyo, cara ngedusine, pancen onok tata carane, salah sijine, kembang pitung rupo" (iya, cara memandikanya memang berbeda, ada tata caranya salah satunya, bunga 7 rupa)

Mbah Tamin menunjuk sebuah tempat khusus, dimana ada bunga dengan rupa berbeda, di letakkan di atas tempeh.

Dengan cekatan mbah Tamin mengisi baskom dengan air, mencampurinya dengan bebungaan itu, membawanya ke kamar tempat Dela tertidur.

Lalu, ia melihat Sri memanggilnya. Dini dan Erna hanya mengamati saja.

Ia diminta mengikat tangan dan kaki Dela, Sri menuruti apa kata mbah Tamin.

SEWU DINO [1000 HARI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang