1

1K 61 9
                                    

Musim semi kali ini datang sedikit terlambat, membuat awal semester ganjil terasa lebih dingin dari biasanya. Sisa-sisa musim dingin masih tertinggal di udara, namun warna-warni bunga yang bermekaran mulai menghiasi sudut-sudut kampus—tanda bahwa festival tahunan semakin dekat.

Festival musim semi adalah acara besar yang selalu dinantikan. Bukan sekadar perayaan biasa, tetapi ajang pertunjukan seni, bazar makanan, dan kadang dihadiri grup idol terkenal sebagai bintang tamu. Semua departemen turut serta, menyumbangkan peran mereka lewat pameran, stan kuliner, atau berbagai pertunjukan.

Sebagai mahasiswa Seni dan Sastra, departemen kami biasanya bertanggung jawab atas sisi kreatif: dekorasi panggung, pertunjukan teater, hingga pembacaan puisi. Tahun ini, aku ditunjuk sebagai juru bicara departemen. Tugas yang terdengar sederhana, tapi tetap saja membuatku merasa tegang. Ini kali pertama aku harus berdiri dan berbicara di depan banyak mahasiswa lintas jurusan.

Sebenarnya, aku bukan tipe mahasiswa yang aktif dalam organisasi atau kepanitiaan. Namun kupikir, sekali-kali keluar dari zona nyaman tak ada salahnya—dan ini bisa menjadi nilai tambah dalam CV. Lagipula, sudah semester lima. Mungkin memang sudah saatnya.

Ruangan tempat rapat berlangsung cukup luas, dengan meja panjang di tengah dan kursi-kursi mengelilinginya. Suara obrolan memenuhi udara. Beberapa mahasiswa terlihat sibuk bercengkerama dengan teman satu departemen, sementara yang lain tenggelam dalam lembaran agenda di tangan mereka.

Aku menggenggam pulpen, memutarnya di antara jari, lalu tanpa sadar mengetukkan ujungnya ke permukaan meja. Meski telah menyiapkan diri, ada bagian dari diriku yang belum benar-benar tenang.

Pintu rapat terbuka. Sekilas aku menoleh.

Seorang pria masuk, mengenakan kaus hitam sederhana dan jaket denim yang dibiarkan terbuka. Langkahnya santai, nyaris tak terdengar, tapi caranya membawa diri langsung menyita perhatian. Ada kesan percaya diri yang tidak dibuat-buat, seolah dunia di sekitarnya berjalan di luar ritmenya.

Rambutnya sedikit berantakan—tidak disengaja, namun justru menambah pesonanya. Ia terlihat seperti seseorang yang tidak perlu berusaha untuk menarik perhatian. Dan mungkin memang tidak pernah mencoba.

Tanpa sadar, mataku menatapnya sedikit lebih lama dari seharusnya—sampai seorang temanku menyenggol lenganku pelan.

"Yebin, itu Park Jimin," bisiknya, terdengar antusias.

Aku mengerutkan kening. "Siapa?"

Temanku memandangku dengan ekspresi tak percaya. "Serius? Kamu nggak tahu? Dia dari Departemen Bisnis. Ganteng, pintar, dan—kabarnya—keluarganya kaya raya."

Aku mengangkat bahu pelan. "Lalu kenapa?"

Ia mendesah, lalu menggeleng. "Lupakan. Kamu nggak bakal paham."

Aku tidak terlalu memikirkannya lagi sampai rapat benar-benar dimulai. Ketua panitia—mahasiswa dari Departemen Hubungan Internasional—mengetuk meja, memanggil perhatian semua orang. Suara obrolan mereda, digantikan suasana serius.

Satu per satu, juru bicara dari setiap departemen memperkenalkan diri dan memaparkan kontribusi mereka untuk festival. Aku menarik napas dalam, berusaha mengingat susunan kalimat yang sudah kususun dalam kepala.

"Selanjutnya, perwakilan dari Departemen Seni dan Sastra, Han Yebin," ucap ketua panitia.

Aku berdiri. Suara detak jantungku mendadak terdengar lebih jelas. Setelah membersihkan tenggorokan, aku mulai berbicara.

"Departemen kami berencana mengadakan pameran seni dan pertunjukan teater kecil di salah satu panggung utama. Kami juga akan berkolaborasi dengan departemen lain untuk penataan dekorasi acara. Selain itu, akan ada sesi pembacaan puisi yang melibatkan mahasiswa dari berbagai latar belakang budaya, sesuai tema inklusivitas festival tahun ini."

Saat duduk kembali, aku menghela napas lega. Setidaknya tidak ada kata yang salah keluar. Aku bersandar pada kursi, mencoba mengendurkan bahu yang tegang sejak tadi.

"Baik, berikutnya Park Jimin dari Departemen Bisnis."

Suara gesekan kursi terdengar. Lalu, suara itu muncul.

“Saya Park Jimin, dari Departemen Bisnis. Departemen kami akan menangani sponsorship dan pengelolaan dana acara, serta beberapa stan yang bekerja sama dengan mitra eksternal. Kami juga sedang menjalin kerja sama dengan sejumlah brand lokal untuk mendukung festival ini.”

Suaranya jernih, tenang. Ada ketegasan yang tidak memaksa, dan ritme bicaranya teratur, hampir seperti membaca dari dalam dirinya sendiri. Familiar—anehnya begitu.

Aku menoleh sedikit, memperhatikan sosok itu di seberang meja. Wajahnya tenang, penuh keyakinan, tapi matanya menyimpan sesuatu yang sulit diterjemahkan. Seperti jendela menuju sesuatu yang lebih rumit dari yang terlihat.

Jimin.

Baru kali ini aku melihatnya dengan jelas. Tapi… entah kenapa, rasanya bukan pertemuan pertama.

Aku menggigit bibir pelan, menunduk, dan kembali memainkan jemari di atas meja. Ada sesuatu pada suara itu—dan sorot matanya—yang terasa terlalu akrab. Seolah aku pernah mendengarnya di tempat lain, di waktu yang lain.

Semakin aku mencoba mengabaikannya, semakin kuat perasaan itu tumbuh. Lalu, saat pandangan kami tak sengaja bertemu, seberkas memori melintas dalam kepalaku.

Klik.

Sebuah ingatan lama, samar tapi tak asing, muncul ke permukaan.

Dan saat itu juga, aku tahu—aku mengenalnya.


filter • pjmTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang