Namanya hidup, masalah itu seperti teman. Mau tak mau, siap tak siap, dia pasti akan datang. Entah akan tinggal lama atau hanya singgah sementara.
Pelajaran hari ini adalah,
Jangan nilai buku dari sampulnya, jangan pernah menganggap seseorang yang kuat di luar itu bebas dari masalah.Ini seperti lelucon yang konyol bahkan tidak pernah terbayang dan tidak akan tertebak.
"Terserah kamu mau jadi apa. Papa udah gak peduli. Ibu sama anak sama aja. Makin didiamkan, makin ngelunjak."
Terngiang seperti melodi lagu. Kata-kata yang penuh dengan masa bodo itu mengambil alih otak Ivan untuk terus dia ingat.
Pernah merasa tertusuk jarum? Ah tidak. Rasanya terlalu ringan.
Bagaimana dengan tersayat pisau hingga berdarah dan nyeri hingga tulang?
Itu cukup mewakilkan perasaan yang Ivan rasakan sekarang.Seperti anak terbuang, tersisihkan, tak diinginkan.
Dia sempat bertanya pada Tuhan.
Apa guna dia dilahirkan ?Frustrasi. Pasti. Tapi, satu yang menguatkannya. Nadia.
Perempuan yang sudah dua bulan jadi kekasihnya. Hanya itulah yang tersisa.Papa mamanya mungkin punya urusan yang lebih penting di luar sana dari pada mencurahkan kewajibannya sebagai orangtua. Terserah. Ivan sudah tidak peduli. Toh selama ini, dirinya bisa hidup tanpa keduanya.
Lahir sebagai putera tunggal dari keluarga Gunawan, Ivan sendiri berhasil tumbuh mengandalkan seorang ibu yang berprofesi sebagai pengasuhnya sejak usia tiga tahun.
Kedua orangtuanya sibuk dengan pekerjaan. Belum lagi sang papa hanya pulang dalam waktu yang bisa dihitung.
Seorang anak yang tumbuh tanpa kasih sayang orangtua sedikit banyak bisa membentuk pola pikir dan tingkah laku. Mungkin itu yang terjadi pada Ivan. Terlebih, sikap yang dia tunjukkan di sekolah sering mendapat komplainan dari guru dan teman-temannya.
***
Entah sudah berapa lama ninja itu menyusuri aspal jalanan. Belok ke kanan, ke kiri, tidak jelas ke mana karena belum juga menemukan titik tujuan. Si pengendara hanya sibuk menarik gas dan mengoper gigi. Tidak ada niatnya untuk pulang meski waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam.
Ponsel dalam sakunya bergetar. Berulang hingga akhirnya Ivan berhenti terpaksa.
"Kenapa, Bi? " sapanya setelah tau nomor yang memanggil.
"....."
"Bilangin aja Ivan gak pulang malam ini. Males, paling juga dapet ceramah dari Papa, "
"...."
"Iya, Bi. Udah ya. "
Tut,, sambungan terputus.
Ivan menghela napas berat. Pulang ke mana pikirnya. Rumah itu bahkan bukan seperti rumah sesungguhnya.
"Tolong,,, tolong,,, "
Ivan mendengar seseorang meminta tolong. Dia menoleh ke belakang mendapati seorang pria paruh baya berlari memegang sebuah tas dalam pelukan di susul dua pria di belakangnya.
Ivan lantas turun dari motor mencoba menolong pria itu dari kejaran dua pria lainnya.
"Pak, ada apa ini ? " tanya Ivan dengan suara lantang. Tubuhnya refleks melindungi pria yang memegang tas itu karena dengan kebetulan si pria berlari ke belakang tubuhnya.
"Gak usah ikut campur atau lo dapet masalah. "
"Nak, tolongin Bapak. Mereka rampok. Motor Bapak dibegal di sana. " adu si pria ketakutan.
Entah keberanian dari mana , rasa geram karena membayangkan kejadian yang menimpa pria yang menjadi korban ini membuat Ivan bersiap memasang kuda-kuda. Menantang dua penjahat jalanan itu untuk berkelahi.
"Lo nantangin? " kata si pria berjaket hitam.
"Gue gak bisa biarin kalian berbuat jahat. Kalo gak dihentikan sekarang, pasti akan ada korban selanjutnya. " ucap Ivan dingin.
Si pria tersenyum miring, mengejek aksi sok jagoan laki-laki gendut berseragam SMA itu. Pikirnya, anak SMA bisa apa selain minta uang pada orangtuanya?
"Lo pikir gue takut. Dasar anak tengik. Gue tendang juga roboh, lo. " dengan sombongnya si pria berjaket hitam memulai aksinya untuk menyerang.
Refleks yang bagus ketika Ivan berhasil menghindari serangan pertama dan justru memukul lawannya cukup keras. Teman si pria yang terpukul mencoba curang dengan menyerang Ivan saat lengah.
Bug,,,Punggung Ivan terkena tendangan tiba-tiba. Tubuh besarnya sedikit oleng, lalu kembali tegak dan membalas serangan si pelaku. Adu fisik yang berlangsung beberapa saat itu membuat tempat yang semula sepi menjadi gaduh dan mengundang beberapa orang yang kendaraannya melintasi jalanan. Mereka berhenti saat si korban kembali teriak meminta tolong.
Perkelahian tak seimbang itu masih berlangsung, saling berbalas dan pada akhirnya kedua pelaku merasa tersudut karena beberapa orang mendekati mereka dari berbagai arah. Dengan kekesalan yang mengumpul dalam hati, salah satu pelaku mengeluarkan pisau kecil dari pinggangnya. Secepat kilat, benda kecil nan tajam itu mendarat di perut Ivan tanpa ampun. Setelah itu mereka berdua pergi menghindari amukan massa seperti pengecut.
Tubuh lelah setelah berjuang melawan penjahat itu harus rela tersungkur tak berdaya. Dengan sisa tenaga, Ivan mencoba meraba dengan tangannya, dia merasa ada cairan kental yang keluar dari sana. Baunya sedikit amis, dan warnanya merah.
Jelas, itu darah. Terakhir, semua gelap gulita. Tubuhnya lemas dan Ivan pingsan.*****
"Ayah kenapa bisa ada di rumah sakit sih? Itu baju ayah ada darahnya. Aya kenapa? Baik-baik aja kan? " sudah seperti wartawan, Ayu bertanya pada ayahnya yang beberapa jam lalu mengabarkan bahwa dirinya sedang berada di sebuah rumah sakit . Ada insiden besar, katanya.
Ayu dengan secepat yang dia bisa, membawa serta ibunya yang panik untuk ikut. Di tengah malam, mendapat kabar buruk. Bagaimana bisa tenang?
"Ayah gak papa. Orang yang nolongin Ayah yang ada apa-apa. Kasian, Nak. Dia tertusuk. Ini darah dia yang nempel di baju Ayah. !" ceritanya.
"Ya Allah, Yah. Terus keadaannya gimana sekarang? "
"Lagi ditanganin sama Dokter. Doain dia gak papa ya, Nak. Ayah salah sudah melibatkan dia. " sesalnya.
"Ya udah, Ayah duduk dulu. Ibu ambilin minum buat Ayah. " ucap Ibu yang juga mendengar cerita suaminya itu.
Ayu membawa tubuh Ayahnya di sebuah bangku panjang yang terdapat di sekitar mereka.
"Kasian, Nak. Dia masih SMA kayak kamu. " ucap Ayah dengan tatapan menerawang.
Ayu menggenggam tangan yang masih bergetar karena syok atas kejadian menakutkan yang baru saja dialami oleh ayahnya itu. Ayu mengerti bagaimana rasanya ada di situasi seperti cerita sang ayah . Pasti mengerikan.
"Dia kayak pahlawan. Gak ada takut-takutnya ngadepin dua penjahat itu, Nak. Ayah takut dia kenapa-napa. Ayah yang bertanggung jawab atas ini semua. "
"Ayu ngerti, Yah. Tapi, Ayah gak boleh salahin diri Ayah sendiri. Ini semua udah takdir. Ayah dipertemukan sama orang itu karena Allah tau Ayah butuh pertolongan. Lagian kita juga udah usaha bawa dia ke rumah sakit ini. Yang perlu Ayah lakukan itu doain dia biar selamat supaya kita bisa bales kebaikan dia. Ayu akan bantuin ayah bales kebaikan dia. Ayu janji. " ucap Ayu panjang lebar.
Ayah mengangguk setuju. "Makasih ya, Nak. Ayah harap kamu bisa berteman baik sama pahlawan Ayah itu. "
Ayu tersenyum, "Iya, Yah. Pasti. "
Terdengar seperti janji. Tapi, bagaimana jika Ayu tau siapa yang sudah menolong ayahnya? Apakah akan tetap pada janjinya saat ini, atau Ayu akan berubah pikiran?
*****
Dut Dut Lovers mana suaranya??? 😆😆😆
Vote dan komen jangan lupa. Heheh

KAMU SEDANG MEMBACA
Dut Dut
ФанфикIvan si Gendut Dan Ayu si Biduan Dangdut Mereka mirip Tom and Jerry. Ribut tak berkesudahan. jangan lupa tinggalkan jejak. salam, Fans_ayyblink