All Well and Good

598 68 10
                                    

"...Kondisi lalu lintas di sini padat banget, Mas. Dari tadi jalan cuma timik-timik 15 kilometer perjam ... Itu kalau jalan. Banyak berhentinya sedari tadi, untung mobil saya matic."

"Wah ... Kalau sampai begitu sudah bukan padat merayap lagi, ya, Bu? Tapi ini sudah di lampu merah ujung jalan, kan? Seharusnya setelah ini lebih lancar."

"Iya, Mas. Moga-moga aja gitu. Bisa telat saya kalau di depan sana ada macet lagi."

Ocehan narasumber dan penyiar dari loud speaker radio mobil seperti mendeskripsikan apa yang terlihat di luar jendela taksi online padahal jalan yang sedang mereka lalui masih beberapa kilometer lagi dari tempat yang dimaksud oleh narasumber. Untungnya dia tidak sedang terburu-buru.

"Waduh, Neng ... Ke depan sana bakal sama macetnya, kayanya kita harus muter balik terus lanjut ke jalan kecil di sebelah sana ... Gapapa?"

Dia baru akan menjawab pertanyaan bapak pengemudi itu ketika sudut matanya melihat sekelebatan sesuatu berwarna hitam-putih melintas cepat di atas deretan mobil-mobil yang terjebak macet dari arah lajur yang berlawanan. Dia memutar kepala untuk memastikan apa yang baru saja melintas ketika atap mobil yang dia tumpangi terguncang dengan suara hantaman keras. Bapak pengemudi sampai terlonjak sembari nyerocos latah bercampur umpatan.

Bagian dalam atap mobil sedikit dekok. Sesuatu yang lebih besar dan lebih berat dari kucing—bahkan mungkin juga lebih berat dari anjing ukuran sedang, pastilah mendarat di sana.

Bapak pengemudi masih terus mengumpat sembari membuka kaca jendela sisi supir. Lelaki yang sepertinya seumuran dengan ayahnya itu baru akan mencondongkan badan keluar jendela untuk melihat makhluk kurang ajar mana yang sudah membuat mobilnya penyok ketika sebuah telapak tangan lebar berbalut sarung tangan hitam menahan kepalanya.

"...Masuk!" perintah pemilik telapak tangan lebar itu dengan suara dalam. Tenang tetapi mengancam.

Dengan patuh bapak pengemudi itu kembali ke posisi semula. Mungkin karena sosok yang terlihat di luar jendela ukurannya di luar postur manusia rata-rata. Mungkin juga karena mereka mendengar suara seperti erangan kesakitan hewan buas dari atap mobil. Kaca jendela mobil buru-buru ditutup. Suara-suara dari luar pun teredam.

Ada apa di atas sana?

Kemana perginya orang besar tadi?

Takut-takut dia mencoba melirik ke arah pengendara lain, mencoba membaca reaksi mereka. Sesama pengemudi mobil mungkin tidak akan terlalu memperhatikan tetapi kalau pengemudi sepeda motor seharusnya bisa lebih leluasa diperhatikan ekspresinya.

Satu-dua pengendara melintas perlahan. Dia berharap mereka segera bereaksi. Pengendara ketiga berlalu, masih juga tidak ada reaksi. Keningnya mulai berkerut. Apakah semua orang bersikap pura-pura tidak melihat saking anehnya?

"...Pak," dia mulai membuka percakapan. "Boleh aku buka jendelanya?" tanyanya penuh harap. Rasa penasarannya melebihi rasa takut pada sosok tinggi besar tadi.

"Boleh-boleh aja, sih, Neng ... Tapi mobilnya ga akan jalan lebih cepet juga. Sepertinya macetnya sampe ke ujung jalan sana."

"Bukan gitu, Pak. Soal yang di atap mobil tadi..."

"Kita puter balik di depan sana aja, ya, Neng ... Terus masuk nelusuri jalan kecil, gitu gapapa?"

Dia mengernyit heran. Dari cermin spion tengah, ekspresi bapak pengemudi dapat dia lihat dengan jelas. Tidak tersisa berbagai emosi yang sampai beberapa saat sebelumnya memenuhi wajah pengemudi itu. Ketika tombol power window menggeser turun kaca jendela secara otomatis, telinganya hanya bisa mendengar suara keramaian lalu lintas biasa.

GenreFest 2019: Urban FantasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang