Eternal Happiness

224 46 14
                                    

Pintu lift kampus yang sejak tadi kutunggu akhirnya terbuka juga. Tak ada orang yang keluar artinya tak ada orang yang menaikinya sejak tadi. Arlojiku menunjukkan pukul 17:53. Hampir magrib. Aku melangkahkan kaki masuk ke dalam lift tak berpenghuni itu, lantas menekan tombol yang menuju lantai ke 10. Lantai paling atas.

Setelah memastikan tak ada orang lagi yang akan naik, aku menekan tombol penutup pintu. Siapa juga yang mau naik lift jam segini mengingat kelas terakhir biasanya berakhir sekitar 20 menit yang lalu. Ah, terkecuali aku, ya? Abaikan saja hal itu. Lagi pula, ini akan jadi pertama dan terakhir kalinya aku menaiki lift ini pada jam segini.

Perlahan, pintu lift mulai tertutup. Aku menatap layar ponselku yang sebelumnya sudah ada dalam genggamanku. Sinyal di pojok kanan atas mulai menghilang, diam-diam aku tersenyum.

Lagi pula, semua ini tak akan ada gunanya lagi.

Sementara itu, layar kecil di atas tombol-tombol berisikan nomor lift menunjukan lantai 6. Lantai yang menjadi tempat fakultasku mengadakan kegiatan perkuliahan. Lagi-lagi aku tersenyum--meski dalam sudut hatiku ada sesuatu yang terasa menyakitkan. Aku tak akan pernah lagi datang ke lantai itu. Tanpa sadar, aku hampir sampai pada lantai yang menjadi tujuanku.

Ting.

Bersamaan dengan bunyi itu, pintu lift terbuka. Suasana yang cukup mencekam menyapaku begitu aku melangkahkan kakiku keluar dari tempat ini. Well, tidak sedikit kabar mengatakan ada sesuatu di lantai ini mengingat jarang dipakai kecuali untuk acara-acara besar tertentu. Lantai ini tempat aula terbesar yang ada di universitasku.

Dan benar saja, semuanya sepi. Aku kembali melirik ponselku, mengetuk layarnya dua kali sebelum layarnya menyala. Sinyal yang tadi menghilang dalam lift kembali muncul meski sedikit.

Kuabaikan hal itu dan mencari sebuah foto yang telah kusimpan di galeri beberapa hari yang lalu. Tak butuh waktu lama, sebuah foto berisikan gambar kotak-kotak yang tersusun rapi berada di sana. Itu, adalah denah ruangan yang ada di lantai ini. Kugambar beberapa hari yang lalu mengingat ruang pada lantai ini berbeda dengan posisi di lantai lainnya.

Lagi pula yang sebenarnya kucari bukanlah sebuah ruangan. Melainkan sebuah tangga yang menuju ke rooftop. Ah, aku tidak pernah menyangkan akan benar-benar pergi ke tempat itu. Sudah lama sekali sejak terakhir kali aku bepikir mendatanginya.

Kini, aku mulai berjalan ke arah kiri dari tempat lift ini berada. Tak butuh waktu lama aku berada di sebuah persimpangan, kuambil lagi ke arah kiri dan ... menemukan sebuah tangga.

Tanpa sadar jantungku mulai bergemuruh. Kutarik napas panjang berusaha melupakan kekhawatiran yang mendadak menghampiriku. Juga, tolong enyahkan pikiran kalau aku takut dengan hantu dan semacamnya mengingat aku sudah menelusuri lantai ini dan tak menemukan apapun. Bahkan para penjaga sudah pulang. Tak ada siapapun dan aku sedang tidak khawatir pada siapapun.

Aku hanya ... khawatir kalau rencanaku tidak berjalan lancar.

***

Embus angin begitu kencang di atas sini. Begitu dingin pula. Betapa beruntungnya aku mengingat pintu menuju rooftop yang biasanya terkunci bisa kubuka menggunakan pisau kecil.

Kini, aku--Eterna Roselia--berhasil mencapai tempat yang sebelumnya tak pernah terbayangkan untuk kucapai. Juga, melakukan sesuatu yang sebelumnya tak mungkin kulakukan.

Mengakhiri hidupku di tempat tertinggi dan terindah yang ada di kotaku.

Aku tak akan mengelak lagi kalau aku akan melompat dari atas gedung ini. Tapi, tak hanya itu saja. Gedung ini berada tepat di sebelah kiri sebuah jalan tol. Jangan lupakan angin yang berembus begitu kencang ke sebelah kanan. Kalau aku melompat di tempat itu maka ... semuanya berakhir, bukan?

GenreFest 2019: Urban FantasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang