Lonceng yang berada di sudut pintu kaca berdenting ketika seorang gadis muda melangkah masuk. Sepasang netranya menjelajah sepintas, sembari telapak tangannya mengibas-ibaskan jaket parka yang sedikit basah karena gerimis di luar.
Ia menghampiriku dengan langkahnya yang terkesan ragu-ragu tak lama setelah tatapan kami bertabrakan. Berbataskan meja kasir, ia mulai membaca sederet menu yang terpampang pada papan di belakangku, lantas menyuarakan pilihannya.
"Caramel Macchiato. Tolong dibungkus." Nada suaranya nyaris sedingin hujan di luar café.
Kutanggapi kalimatnya dengan anggukan singkat sebagai isyarat. Sementara aku mulai bekerja, ia masih geming di tempatnya berdiri. Menatapku dengan sepasang mata yang sorotnya nyaris kosong, dengan pikiran entah apa yang ada di dalam benaknya.
"Ada yang bisa kubantu, Nona?"
Aku tahu tidak sopan mengabaikan pelanggan meski sesibuk apa pun hal yang sedang kukerjakan, jadi seringkali aku mengajak bicara orang yang berdiri di hadapan mejaku. Selalu menarik mendengarkan cerita mereka, sebab café ini tidak selalunya menerima pelanggan. Terkadang aku pun merasa sedikit kesepian sebagai satu-satunya makhluk yang mengurus, sekaligus yang memiliki tempat ini.
"Aku tahu ini aneh, tapi ...," ia menjeda kalimatnya sejenak, "maukah kau mendengarkan ceritaku?"
Kembali, kami bersitatap beberapa saat. Ia tersenyum sendu ketika kuangguki pertanyaannya sebagai isyarat bahwa ia boleh menceritakan apa pun padaku. Sepasang lengannya bertumpu di meja, menyamankan posisinya sembari bersandar. Nada suaranya masih terdengar dingin dan lemah, bahkan ketika ia mulai bercerita.
"Aku benar-benar tidak tahan lagi. Tatapan mengejek semua orang membuaku semakin tertekan dari hari ke hari. Kekasihku yang tidak ingin terlibat sekarang melarikan diri entah ke mana, sementara sanak familiku yang tersisa seperti berusaha menghindariku.
"Jika tahu akhirnya akan seperti ini, harusnya sejak awal kubunuh saja ...," lirihnya sembari telapak tangan mencengkram erat pakaiannya di bagian perut. "Aku sudah bodoh berpikir bisa melewati semuanya dengan tetap merawat anak ini."
Gadis muda itu tersenyum getir. Rasa sesal yang begitu besar terpantul dari sepasang iris matanya yang berkaca-kaca, entah untuk apa pun itu yang tengah ia ratapi. Gemetar kecil kudapati samar dari sepasang telapak tangannnya yang digenggaman erat.
Wajah tertunduknya kembali menatapku ketika kusodorkan pesanannya. Lengan gadis itu terangkat, menyeka sudut mata meski tak sempat ada air yang menganak sungai di sana. Ia tampaknya berusaha menahan sekuat tenaga untuk tidak menangis, terlihat begitu tegar.
"Terima kasih sudah mendengarkan ceritaku," lirihnya sembari menyodorkan sejumlah uang. Senyum tipis tergaris di bibirnya, berikut ekspresinya yang sedikit banyak terlihat melunak.
Langkah lunglainya satu per satu membawa tubuh yang terlihat ringkih itu menjauh menuju pintu. Sejenak sebelum keluar, ia kembali menoleh ketika aku berbicara padanya.
"Nona, apa pun yang Anda pikirkan ..., saya pikir bunuh diri bukanlah solusi yang bisa menyelesaikan masalah Anda."
Tertegun sesaat, garis senyumnya lantas kembali merekah. Dingin, tidak mencapai mata.
"Aku tahu," jawabnya lirih.
Ia mengangguk sekilas sebelum siluetnya menghilang di balik pintu.
Desah napasku terlepas tanpa sadar. Tak peduli berapa kali pun aku berusaha memberi tanggapan untuk para pelangganku, masa depan tidak akan berubah. Sebagai eksistensi yang telah menunggu tempat ini selama ratusan tahun, tentu saja aku lebih dari sekadar tahu.
Tempat yang sesungguhnya berdiri di tengah kota ini, hanya persinggahan sesaat untuk mereka yang akan segera mati.
Hanya bisa dilihat oleh mereka ... yang dekat dengan kematian.
Aku hanya berharap dengan mendengarkan cerita mereka, sedikit banyak bisa mengurangi beban apa pun itu yang tidak sanggup mereka pikul seorang diri. Tak banyak yang bisa kulakukan.
Lonceng di pintu kembali berdenting. Bocah kecil yang kuyup di sekujur tubuh berlari kecil menuju mejaku, mengabaikan tetes air dari pakaian lusuhnya yang mengotori lantai setiap kali ia melangkah.
"Kakak, bisakah aku mendapatkan sepotong kue itu dengan semua uang ini?" katanya sembari menebarkan uang receh di atas meja kasir. Telunjuknya mengarah pada sepotong cheese cake di balik etalase.
Kutatap sepasang netranya selama beberapa saat. Anak manis yang begitu polos. Entah apa yang membuatnya bisa menemukan tempat ini.
Sekali lagi, kali ini pun aku tidak sabar untuk mendengarkan kisah dari pelangganku ini.
END
KAMU SEDANG MEMBACA
GenreFest 2019: Urban Fantasy
FantasyPerhatikan sekitarmu, siapa tau hal ajaib akan terjadi. Ditantang menulis Urban Fantasy, mampukah para peserta Genrefest 2019 ini menghadirkan keajaiban di dunia nyata? Cover by alizarinlake