Tetra Putih

196 46 1
                                    

Tetra putih kosong berada dihadapanku. Keduanya memandangku lurus, seolah menatapku. Dulu aku sangat tidak nyaman melihatnya, tapi sekarang, aku malah tidak tenang jika tidak melihatnya.

"Lo ngapain sih, Ren? Ngeliatin gue, ya?" Air muka pemilik tetra putih itu menunjukkan ketidaknyamanan.

Aku refleks membuang wajahku. "Kok tahu?" Rasa hangat menjalar dipipiku yang tidak mulus.

Senyuman tipisnya terbentuk. "Gue itu buta, bukannya gak peka," jawabnya yang membuat pipiku semakin memerah.

"Apaan sih," kilahku. "Keluar aja, yuk. Bukannya lo udah janji sama gue kita bakal keluar hari ini?"

Senyuman tipisnya menghilang. Air mukanya berubah takut. "Ditatap lo aja, gue gak nyaman. Gimana dilihatin orang lain kalau gue keluar?"

"Tapi, ini udah lewat tiga bulan, La." Aku menatap tetra putih itu sekali lagi. Tetra yang berubah putih sejak penyakitnya menyelimuti seluruh korneanya dengan sempurna tiga hari yang lalu.

Kedua matanya mengeluarkan sedikit air mata. Hatiku sakit. Tanganku segera bergerak menghapus air matanya. "Lo tetep cantik buat gue, kok. Jadi percaya diri, ya?"

Kali ini, wajahnya yang berubah merah dengan sempurna. "Uh. Ya udah."

Dia imut.

"Eh sebentar," ujarku agar dia menahan gerakannya untuk berdiri. "Gue pakein lo sepatu dulu."

Aku bergerak mengambil sepatu dari rak dan berjongkok dihadapannya. Aku memakaikannya sepatu lalu bergumam sangat kecil sebisa mungkin agar dia tidak menyadarinya. Cahaya biru berpendar keluar dari kedua tanganku yang perlahan menyentuh kakinya. Kedua garis biru tak kasat mata berpendar mengelilingi dua pergelangan kakinya.

Sihir kecil dariku untuk menjaganya agar berjalan dengan seimbang.

ooOoo

"Kita sudah sampai," kataku sambil menuntunnya untuk duduk di atas kursi di sudut terpencil taman Aksia.

Dia menghirup udara segar hasil dari pepohonan taman yang rimbun seraya mentutup kedua matanya, menikmatinya sekilas dan mengukir senyuman. Aku ikut tersenyum. Sepertinya keputusanku baik membawanya ke sini.

"Lo sebenernya bawa gue ke sudut pojok taman yang paling terpencil dan seram 'kan?" tuduhnya.

Aku menelan ludah. "Bukan kok."

Dia tersenyum miring. "Jangan bohong. Di sini tidak terdengar suara anak-anak yang umumnya bermain di taman. Malahan di sini terdengar gemerisik dedaunan banyak sekali. Pasti ini sudut terimbun taman Aksia yang tidak pernah mau aku datangi. 'kan?"

"Astaga menyebalkan. Memangnya dulu lo sepeka ini, ya? Rasanya tidak." Aku menggerutu. "Lagipula katanya lo gak mau ditatap banyak orang, jadi gue bawa lo ke sini."

Dia menarik tanganku dan menautkannya erat. "Benar. Makasih."

Aku tersenyum senang. "Sama-sama. Lo mau gue beliin apa nggak? Es krim? Kue? Minuman dingin? Udah lama 'kan lo nggak jajan keluar begini." Aku refleks berdiri dengan semangat.

"Mmm. Minuman cokelat dingin," katanya setelah berpikir sekilas.

"Oke. Gue beli dulu di sana." Aku beranjak menuju toko minuman di tengah taman. Setengah jalan kuberjalan suara dentuman terdengar keras. Aku melotot dan segera berbalik.

Kedua mataku menadapati sosok laki-laki yang berdiri di depannya. Laki-laki itu tidak ada di sana. Bagaimana bisa dia sudah ada di sana? Padahal tadi jelas tidak ada siapa-siapa. Baru saja aku bertanya-tanya cahaya hitam berpendar di kedua tangan laki-laki itu.

GenreFest 2019: Urban FantasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang