5

423 55 11
                                        

Aku kembali tenggelam dalam rutinitas panitia festival yang semakin padat. Semalam aku begadang hampir semalaman demi menuntaskan esai yang harus dikumpulkan hari ini, plus laporan progres acara yang harus kupresentasikan dalam rapat besar siang ini. Tubuhku rasanya seperti benang kusut—lelah, berat, dan nyaris tak ada sisa energi tersisa.

Sepanjang kelas pagi tadi, kelopak mataku terasa seperti beban yang tak bisa kutahan lagi. Aku nyaris terlelap, meski suara dosen mengisi ruang kelas dengan tempo yang konstan. Satu-satunya yang membuatku tetap membuka mata adalah tegukan terakhir dari secangkir kopi dingin, yang bahkan rasanya sudah kehilangan keajaibannya.

Begitu kelas selesai, aku berjalan bersama teman-teman dari Departemen Seni dan Sastra menuju ruang rapat. Letaknya memang tidak jauh dari gedung fakultas, tapi setiap langkah terasa seperti mendaki bukit. Tubuhku menjerit minta istirahat, tapi pikiranku justru dipenuhi tumpukan tugas yang belum selesai.

Saat kami hampir sampai, suara familiar menyelip di antara hiruk-pikuk.

“Oh, Yebin! Kau sudah siap untuk rapatnya?”

Aku berhenti, sedikit terkejut. Suara itu—nada ceria dengan ujung yang sedikit jahil—tidak salah lagi.

Park Jimin.

Dia berdiri tak jauh dari pintu ruang rapat, melambaikan tangan ke arahku seolah kami sudah sering bertukar sapa. Senyum ramahnya mengembang, dan sorot matanya menyiratkan keisengan kecil yang nyaris menyenangkan… kalau saja kami benar-benar akrab.

Aku membalas lambaiannya dengan anggukan kecil. “Iya,” jawabku, suaraku terdengar lebih kaku dari yang kuinginkan. Aku berusaha tersenyum, meski lebih mirip meringis sopan.

Dan seperti yang kuduga, teman-temanku langsung ribut.

“HAH?! Sejak kapan kau dekat dengan Park Jimin?” bisik salah satu dari mereka, matanya membulat seperti hendak jatuh.

Aku hanya mendesah pelan, menahan rasa lelah dan geli bersamaan. “Nggak dekat. Aku cuma pernah ngobrol soal anggaran, itu pun cuma sekali,” jawabku pendek. Tapi reaksi mereka tak berhenti di situ—bisik-bisik penuh rasa ingin tahu langsung menyeruak di antara langkah kami menuju pintu.

Rapat dimulai begitu kami duduk. Topiknya teknis—timeline, program kerja, koordinasi antar-departemen. Aku mencatat sebisaku, berusaha menangkap poin-poin penting. Tapi jujur saja, otakku seperti tertinggal di lantai kamar semalam.

Kepalaku terasa berat, dan fokusku mengambang entah ke mana. Suara-suara di sekeliling terdengar seperti gema, kadang dekat, kadang jauh. Aku mencoba duduk tegak, menajamkan telinga, tapi pandanganku terus kabur.

Akhirnya, setelah lebih dari satu jam, rapat ditutup. Aku menghela napas panjang, merapikan catatan seadanya dan bangkit dengan enggan. Baru melangkah beberapa meter dari pintu, aku kembali bertemu dengan... ya, siapa lagi kalau bukan dia.

Park Jimin berdiri menunggu di lorong, kali ini dengan ekspresi lebih jenaka. Matanya menyipit, bibirnya menyungging senyum nakal seperti baru menangkap basah sesuatu.

“Yebin,” sapaannya ringan. “Tadi kau tidur ya pas rapat? Koordinator masa tidur sih…”

Aku menatapnya dengan wajah datar. Lelah membuatku malas menggubris. “Aku nggak tidur. Cuma… istirahatin mata sebentar,” jawabku seadanya.

Jimin mengangkat alis, pura-pura tidak percaya. “Oh, gitu ya? Kalau aku rekam tadi, kira-kira kelihatan istirahat atau tidur, hmm?”

Aku menarik napas, mencoba tetap tenang. “Aku begadang semalam, jadi wajar kalau agak ngantuk. Tapi aku dengar semua poin penting, kok.”

Tatapan Jimin tak bergeser, seolah sedang mengamati reaksiku. Tapi kemudian dia tertawa pelan—nada tawanya ringan, namun cukup untuk membuat beberapa mahasiswa di sekitar kami mulai memperhatikan.

“Yasudah deh. Lain kali jangan begadang terus, ya,” katanya santai. Lalu, dengan nada menggoda, ia menambahkan, “Tapi kalau memang butuh tempat tidur darurat, aku bisa pinjamkan bantal… atau bahuku.”

Sebelum aku bisa menjawab, dia sudah melangkah pergi, meninggalkan aku dan teman-temanku yang membeku di tempat.

“...Apa barusan dia—?” bisik salah satu temanku, setengah terpana.

“Iya, kan?! Itu tadi... flirting?” suara lainnya terdengar bingung sekaligus heboh.

Aku bisa merasakan tatapan bertubi-tubi mengarah padaku. Tidak hanya dari teman-teman departemenku, tapi juga mahasiswa lain yang baru keluar dari ruang rapat. Beberapa dari mereka berbisik, menatapku seolah baru saja melihat sesuatu yang tak seharusnya terjadi.

“Sejak kapan Park Jimin deket sama anak Seni dan Sastra?” tanya salah satu mahasiswi dari jurusan lain, bisiknya jelas tertangkap telingaku.

“Dia biasanya cuma akrab sama temen-temen deketnya. Gimana bisa—”

Aku menghela napas dalam-dalam. Jimin memang ramah, tapi gaya interaksinya yang terlalu santai bisa memberi kesan yang salah. Aku tidak tahu apa yang dipikirkannya, dan sejujurnya, aku tidak punya energi untuk menganalisisnya sekarang.

Dengan langkah cepat, aku meninggalkan lorong itu, membiarkan suara-suara penasaran meredup di belakangku. Hari ini sudah cukup melelahkan. Aku tak butuh satu lagi teka-teki yang belum tentu punya jawaban.

Filter • pjmTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang