Namaku Zahwa

300 11 0
                                    

"Tolong tinggalkan aku sendiri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Tolong tinggalkan aku sendiri.."

Tiga dari empat orang wanita di sebelahnya perlahan mundur dan pergi dari ruangan. Sementara wanita yang satunya masih diam berdiri di dekat pintu sambil menatap punggung wanita yang menyuruh mereka pergi.

"Tinggalkan aku sendiri. Biarkan aku sendiri disini. Pergilah." ucapnya lagi tanpa menoleh.

Wanita itu tak mendengarkan. Dia tetap diam di dekat pintu.

"Aku ingin sendiri. Kumohon pergilah. Aku akan baik-baik saja."  Suaranya terdengar parau kali ini.

Wanita itu hanya menatap tubuh belakang wanita paruh baya yang ada didepannya itu. Kemudian pergi setelah berkata "baik bu. Jika nanti ibu perlu sesuatu. Tinggal Panggil saya. Saya di depan."

Wanita paruh baya itu tak menjawab. Dia diam dan hanya menatap keluar kaca jendela yang sengaja di buka tirai gorden-nya.

Tak lama wanita itu pergi. Pergi meninggalkan wanita paruh baya itu dikamarnya sendirian. Ya, sendirian.

Disana dia duduk di sebuah kursi. Kursi roda tepatnya. Di tangan kirinya tertancap jarum suntik dan selang infus yang sudah dua minggu terakhir ini selalu terpasang di tangannya. Dia berada disebuah kamar. Kamar rumahnya? Bukan. Kamar hotel? Bukan. Kamar apartemen? Sayangnya bukan juga. Lalu dimana? Dia sedang berada kamar rumah sakit. Ya di bangsal rumah sakit ternama di ibukota, sudah dua minggu terakhir  ini dia menjadi salah satu penghuni kamar rumah sakit ternama itu. Bukan kamar biasa pastinya, tapi dia berada di kamar VVIP. Kamar rumah sakit yang cukup mewah, setara dengan sebuah kamar apartemen mewah.

Wanita paruh baya itu sedang menatap jauh keluar sana. Jendela kaca itu adalah tempat yang paling disukainya selama berada di ruangan rumah sakit itu. Disana dia bisa melihat matahari terbit dan tenggelam. Disana dia bisa melihat rembulan yang indah bersama dengan hamparan bintang gemintang yang selalu ramai menghiasi malam. Disana dia juga bisa melihat gerimis sampai hujan deras yang turun mengguyur kota, membungkus kota dengan air hujan yang lebat.

Wanita paruh baya itu duduk termenung dengan rambutnya yang sebahu. Rambut yang indah, tebal juga mengembang berwarna hitam legam, meski sudah ada beberapa helai rambutnya yang sudah memutih, ya dia sudah mulai beruban. Matanya sendu, sayu, raut wajahnya terlihat lelah, terlihat tak bersemangat.

Di meja kamarnya terdapat sebuah buku. Di sampul buku itu bertuliskan "Buku Harian Zahwa".  Buku itu menyimpan semua cerita kehidupan dari sang pemilik buku yang bernama lengkap Zahwa zahratussalamah. Tapi dia lebih suka jika semua orang hanya  memanggilnya dengan sebutan Za. Lebih singkat katanya. Tak sedikit juga yang memanggilnya Zahwa. Dia tak mempermasalahkan apapun panggilan untuknya itu, selama enak didengar.

Sejak kecil Za selalu bisa mendapatkan semua yang dia inginkan. Semuanya bisa dia dapatkan dengan mudah. Semudah membalikkan telapak tangan. Ya, semudah itu. Kenapa bisa begitu? Karena Za terlahir dari keluarga berada, keluarga yang bergelimangan harta. Keluarga yang kaya raya. Hartanya pun takkan bisa habis meski berpuluh-puluh turunan pun. Tapi sayang. Za adalah anak tunggal.

Sejak Za kecil dia hanya tinggal dengan seorang kakek. Ya, hanya tinggal dengan kakek-nya saja. Tanpa ayah tanpa ibu. Za adalah anak yatim piatu. Ibunya meninggal sesaat setelah melahirkan Za. Sedangkan ayahnya meninggal dibunuh orang tak dikenal saat usia Za masih lima tahun. Bukan tak dikenal, lebih tepatnya dibunuh oleh pembunuh bayaran dari pesaing bisnis kakek-nya Za.

Kakek-nya Za adalah konglomerat yang sudah terkenal akan kekayaannya yang amat banyak di se-antero jagat bumi ini. Bukan hanya di dalam negeri, tapi juga terkenal di luar negeri. Nenek-nya Za meninggal karena serangan jantung puluhan tahun lalu. Serangan jantung yang sangat mendadak karena mendapat kabar yang terlalu senang. Terlalu senang saat mendengar menantunya sedang mengandung. Ya menantunya akan memberi ia cucu yang sudah lama ia idam-idamkan.

Tapi sayang beribu sayang. Nenek-nya Za meninggal sebelum Za sempat lahir ke dunia ini. Ayahnya Za juga adalah anak tunggal. Tidak ada kakak maupun adik. Hanya sendiri seperti Za. Ibunya juga adalah anak semata wayang dari pasangan suami istri yang amat sangat sederhana. Tapi karena cinta itu tak pernah mengenal kasta, makanya takdir mempersatukan mereka dan menghadirkan seorang Zahwa ke bumi ini.

Za adalah pewaris tunggal dari seluruh kekayaan yang dimiliki sang kakek. Za bisa membeli semua yang ia inginkan dengan mudah. Bisa menggunakan uang itu sesuka hati tanpa takut akan kehabisan uang. Bukan hanya itu, kakek-nya pun selalu memanjakannya dengan gelimangan harta.

***

Malam itu di dekat jendela, wanita paruh baya itu menunduk, menatap buku harian itu. Tersenyum getir. Usianya kini limapuluh tujuh tahun. Bukan usia yang muda lagi. Wanita paruh baya itu menghabiskan beberapa tahun terakhir ini dengan keluar masuk rumah sakit. Tubuhnya sakit. Hatinya sakit. Batinnya juga sakit. Sakit yang hanya ia rasakan sendiri. Tak bisa dibagi dengan orang lain. Tak bisa ditukar dengan semua uang miliknya.

Uang yang dimilikinya tak bisa untuk menyembuhkan seluruh sakit ditubuhnya, di seluruh hati dan batinnya. Dia hanya bisa pasrah. Hanya bisa menghela nafas. Dia hanya bisa mengenang semua masa lalunya melalui buku harian itu. Sendirian. Sama seperti dulu yang selalu sendirian.

Ya, wanita paruh baya itu adalah Zahwa. Seorang wanita sang pemilik semua masalalu yang tertulis didalam buku hariannya.. 'Buku Harian Zahwa'

***********

Buku Harian ZahwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang