Kamu Dimana Ray?

21 3 0
                                    

  Hari minggu yang ditunggu akhirnya datang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

  Hari minggu yang ditunggu akhirnya datang. Sejak pagi Za sudah sibuk mempersiapkan segala sesuatunya. Menyiapkan buku-buku pelajaran. Buku tulis. Pensil. Penghapus. Penggaris. Semuanya.

  Selain itu, Za juga masih dengan rutinitas biasanya, berbagi di hari minggu. Makanan, minuman, mainan juga sudah disiapkan. Dan seperti biasa juga, pak amir lah yang akan membagikan semua yang sudah disiapkannya itu.

  Za juga menyiapkan makanan, minuman, dan beberapa makanan ringan lainnya khusus untuk dirinya dan untuk Ray saat nanti belajar bersama. Saat membereskan buku-buku didalam mobil, Za tersenyum saat melihat buku hariannya, buku harian yang selalu dia bawa, buku harian yang kini di beberapa lembarnya menuliskan tentang Ray. Entah mengapa, tapi Za selalu senang menuliskan tentang pertemanannya dengan Ray di buku harian itu.

  "Ayo cepat." perintah Za pada sopirnya.

  Mobil pun melaju menjauh dari komplek rumahnya dan pergi ke tempat-tempat biasa Za berbagi. Dan seperti biasa juga, Za hanya bisa menatap dari balik kaca mobil. Menatap sambil menunggu sang sopir kembali masuk ke mobil.

  Setelah selesai berbagi dan menyambangi panti asuhan. Za langsung menuju tempat yang akan dijadikan tempat belajarnya dengan Ray. Tempat yang dipilih mereka itu berada di salah satu taman yang ada di ibukota. Tamannya cukup asri dan bersih. Di taman itu ada bangku untuk duduk yang terbuat dari tembok, juga ada mejanya yang sama terbuat dari tembok, dan beratapkan  payung besar. Akan terasa nyaman untuk dijadikan tempat belajar bersama.

  Za tiba lima menit lebih awal dari jam perjanjian. Za duduk menunggu. Sepuluh menit berlalu, Ray belum juga muncul. Limbelas menit berlalu.. Setengah jam berlalu.. Dua jam berlalu.. Tapi Ray tak juga menampakkan batang hidungnya..

  Hati Za resah, Za mulai kesal, mengkal. Kecewa. Sedih karena Ray tak menepati janjinya.

  "Kamu kemana ray?.. Kamu dimana ray?.. Kenapa kamu tak menepati janjimu?.. Kemarin kamu dengan penuh semangat bilang mau belajar denganku. Kenapa sekarang tidak datang?.. Kamu lupa??.."

  Za menunduk sebal.

  "Kau tahu ray? Aku bisa seratus kali lebih baik padamu. Aku juga bisa seratus kali lebih peduli padamu. Aku bisa menerimamu jadi temanku. Satu-satunya temanku bahkan. Tapi kau harus tahu juga ray.. Aku bisa seribu kali lebih tak peduli lagi padamu. Seribu kali takkan mau berteman lagi denganmu. Salahkah aku menerimamu jadi temanku? Aku hanya punya satu teman. Dan itu adalah kamu. Hanya kamu ray. Tapi kenapa sekarang kamu malah mengecewakanku setelah aku sedikit bisa merubah diriku.. Kenapa ray? Kamu dimana? Kamu kemana saat aku kini duduk sendirian seperti orang gila. Menunggumu yang tak juga kunjung datang. Menunggu hal yang tak pasti. Apa seharusnya kita tak usah berteman? Apa seharusnya kita tak usah bertemu hari itu?.."

  Za kini menangis. Menangis sendirian di taman. Dengan ditemani buku-buku, makanan dan minuman.

  Empat jam berlalu. Za sudah lelah menunggu. Za berdiri, dan kemudian melangkah pergi menuju mobilnya. "Kita ke terminal saja pak amir." perintah Za dengan lemas.

  Pak sopirnya mengangguk tanpa bertanya.

  "Tolong bagikan juga makanan ini." Za menunjuk makanan yang disiapkannya khusus untuk dirinya dengan Ray.

  "Lho, kenapa yang ini dibagikan juga non Za?"

  "Bagikan saja. Jangan bertanya." ketusnya.

  Sopir pun mengangguk.

  Za tiba di terminal. Dia turun dan pergi mencari Ray. Dia ingin tahu kenapa Ray tidak menepati janjinya.

  "Hey tunggu.." Za menghentikan tiga orang anak jalanan.

  "Kau memanggil kami nona?" tanya salah satunya.

  "Iya. Kalian lihat ray?" tanya Za tanpa basa basi.

  "Ray? Kami tak kenal Ray nona.." jawab mereka dan langsung berlalu pergi.

  Za menghela nafas dan pergi kedalam terminal. Baru kali ini Za berani memasuki wilayah dalam terminal. Terminal sangat terlihat menyeramkan dimata Za. Za terus menyusuri terminal itu. Tapi nihil. Ray tak ada dimanapun.

  Za kembali ke mobil. "Kita ke halte bus sekarang."

  "Baik non Za."

Sampai di halte. Za turun dan melihat-lihat ke sekeliling. Tapi nihil juga. Ray tak juga terlihat batang hidungnya.

  "Kamu sebenarnya dimana ray? Kamu kemana ray? Kenapa kamu tak menepati janjimu? Kenapa?.." pertanyaan itu memenuhi kepala Za.

  "Kita ke taman kota sekarang." ucap Za setelah memasuki mobil.

  "Baik non Za."

  Sampai di taman kota, Za melihat dua orang pengamen. "Aku sedang mencari seseorang. Namanya ray. Dia juga seorang pengamen. Apa kalian lihat dia?" tanya Za tanpa basa-basi lagi.

   Dua pengamen itu nampak kebingungan dengan pertanyaan dari Za, mereka saling menatap sambil seperti sedang berfikir.  "Kami tak kenal yang namanya ray nona." jawab mereka kompak.

   Za berfikir sebentar.. "Tunggu.. Ah.. Ya.. Ge. Kalian lihat Ge?" Za teringat dengan nama panggilan Ray di jalanan.

  "Ooh si Ge?. Kalau Ge kami kenal. Siapa pula yang tak kenal anak itu nona. Dia sangat terkenal di jalanan."

  "Kalian lihat dia? Tahu tidak dia dimana?"

  "Tadi pagi kami masih sama-sama. Mengamen di bus. Tapi sekarang tidak lihat lagi. Kenapa memangnya? Kau mengenal Ge nona? Bagaimana bisa?"

   "Sama sekali tak lihat dia?" Za tak menghiraukan pertanyaan lain dari mereka.

  "Tidak nona.."

  Tanpa babibu dan tanpa mengucapkan terima kasih, Za pergi meninggalkan taman. Dan kemudian pulang ke rumah dengan membawa hati yang amat sangat kecewa.

  "Baiklah Ray. Jika begitu caramu. Akan kubiarkan kamu dengan caramu itu. Dan biarkan aku dengan caraku juga. Tapi maaf ray, jika nanti kita bertemu lagi. Maaf jika sikapku akan sangat jauh berbeda. Kamu takkan bisa mengembalikan sikap baikku lagi. Cukup sampai disini. Aku tak butuh teman. Aku tak perlu teman. Tak perlu. Benar.. Aku tak butuh teman.. Aku bisa sendirian. Aku bisa sendirian tanpa kamu Ray. Pergi saja yang jauh sanah. Aku tak peduli. Aku takkan pernah mau peduli lagi padamu." bisik Za dalam hati. Dan kemudian hanya air mata yang bicara.

***

  "Ibu zahwa kenapa menangis?" tanya mey hawatir.

  "Ketika hati sudah terlanjur terluka. Ketika hati sudah terlanjur kecewa. Kata-kata sudah takkan bisa menampung bebannya dan tak mampu untuk menjelaskannya lagi. Dan hanya air mata yang kemudian bisa menjelaskannya.."

  "Ibu zahwa.." mey merangkul dan memeluk wanita paruh baya itu. Mendekapnya bagaikan mendekap ibunya sendiri.

  "Semua hanyalah sementara. Tak ada yang abadi, pertemanan yang di anggap teman sejati sekalipun bisa hancur dalam sesaat hanya karena sebuah kekecewaan. Dan saat hati sudah kecewa dan terluka. Maka semua takkan lagi sama seperti sedia kala. Semuanya takkan sama lagi.." air mata wanita paruh baya itu terus mengalir. Menyiratkan hatinya yang sedang terluka dalam.

**********

Buku Harian ZahwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang