Berbagi

100 2 0
                                    

  

Wanita paruh baya yang duduk di kursi roda itu tersenyum mengenang semua kejadian di masa lalunya itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Wanita paruh baya yang duduk di kursi roda itu tersenyum mengenang semua kejadian di masa lalunya itu. Semua seperti baru saja kemarin terjadi. Matanya masih melihat ke atas langit dengan menghela nafas panjang.

   Malam semakin larut. Bintang semakin meninggi di kejahuan sana.  Tapi matanya masih enggan untuk terpejam.

   Wanita yang tadi disuruh pergi pun sudah datang lagi untuk memastikan pasien-nya. Saat masuk ke kamar ruangan rawat itu, dia tersenyum menatap punggung wanita paruh baya yang masih sedang asyik sendiri menatap ke atas langit.

   "Ini sudah terlalu larut malam bu. Ibu harus tidur. Harus istirahat. Besok kan ibu harus kemoterapi." ucapnya dengan sangat lembut.

  Wanita paruh baya itu tidak menoleh, tidak menjawab dan tidak bergeming. Tetap diam ditempatnya. Tetap menatap langit yang dihiasi bulan dan hamparan bintang gemintang itu. Dia seakan tak mempeduliakan kata-kata wanita yang merawatnya itu.

   Wanita itu mendekat. Selalu seperti itu. Hanya dia yang paling lama menemani wanita paruh baya itu. Dia bekerja dengan setulus hati. Tidak pernah meminta di bayar. Entah apa alasannya berbuat seperti itu. Di antara banyaknya perawat dan dokter yang merawat dan mengurusi wanita paruh baya itu, hanya dia yang selalu ingin setiap saat merawat dan mengurusi wanita paruh baya itu. Meski wanita paruh baya itu selalu bersikap dingin padanya.

  Wanita yang tanpa pamrih itu masih muda. Masih gadis. Dia bernama Amey. Tapi selalu bilang, panggil saja Mey.  Gadis itu bukan staf perawat rumah sakit, dia hanyalah seorang gadis muda yang berbaik hati ingin mengurus dan merawat wanita paruh baya itu. Mey tersenyum hangat dan menyentuh pundak wanita paruh baya itu.

  "Ibu zahwa ternyata benar ya. Malam hari selalu terlihat sangat indah. Bulan dan bintang-bintang itu sangat indah ya bu." Mey ikut menatap indahnya langit malam itu.

  Tapi tak lama Mey membawa kursi roda itu menuju ranjang. Wanita paruh baya itu tak bicara apapun. Mey menyimpan buku yang ada di pangkuan wanita paruh baya itu, kemudian memapahnya untuk berbaring di atas ranjang.

  Setelah selesai, setelah mata wanita paruh baya itu terlihat terpejam, Mey pergi dari kamar itu dengan senyuman tulusnya.

  Wanita paruh baya itu belum benar-benar tidur. Dia mendengar suara pintu sudah tertutup kembali. Dan matanya langsung terbuka lagi. Kali ini dia tak menatap langit yang penuh dengan bintang gemintang dan bulan separuh. Tapi kali ini matanya menatap langit-langit ruangan kamar ruangan rawatnya. Dia menatapnya hampa, kosong. Dia menegakkan tubuhnya dan duduk di atas ranjang tidurnya. Kemudian dia melihat buku hariannya lagi, matanya kembali ke langit-langit ruangan dan membayangkan kenangan masa lalunya lagi.

***

   Za pulang sekolah, dia berdiri menunggu mobil jemputannya di halaman sekolah. Setelah mobil datang, Za langsung masuk ke dalam mobilnya. Dia masih memakai seragam SMP dan usianya sudah duabelas tahun. Sudah kelas dua SMP.

  "Non Za mau langsung pulang? Atau mau pergi kemana dulu?" tanya sopir yang setiap hari mengantar dan menjemput Za dari sekolah.

  "Seperti biasa saja." hanya itu jawaban yang keluar dari mulut seorang Za.
 
  Za setiap pulang sekolah, selalu pergi ke sebuah tempat. Tempat itu penuh dengan anak-anak. Anak jalanan.

   Setelah sampai ditempat tujuan. Seperti biasa, Za hanya bisa menatapnya dari balik kaca mobil. Rutinitas seperti itu sudah hampir tiga tahun dilakukannya.  Hanya bisa menatap mereka semua dari dalam mobilnya. Mobil selalu berhenti selama limabelas menit dan kemudian pulang.

  Mereka semua yang ada di luaran sana sama sepertinya. Anak yatim piatu, bedanya, Za masih beruntung ada sang kakek yang mengurusnya. Meski kakek-nya jarang ada di rumah, tapi dia lebih beruntung dibandingkan anak-anak jalanan itu.

  Setiap hari rutinitasnya selalu sama. Pagi-pagi bersiap pergi ke sekolah di antar sopir. Belajar di sekolah sampai waktunya pulang sekolah. Sepulang sekolah selalu menyempatkan datang ke jalan dekat pasar dan terminal untuk melihat anak-anak jalanan yang berlarian kesana kemari dengan riang.

  "Mereka sama sepertiku. Tapi aku berbeda dengan mereka. Mereka lebih bahagia meski hidup di jalanan." selalu kata-kata itu yang di ucapkan oleh hati Za saat melihat pemandangan itu.

***

   Hari minggu adalah hari paling sibuk untuk seorang Za, dia pergi pagi dari rumah dengan penuh senyuman. Membawa sekantong plastik besar makanan, minuman dan mainan dari rumahnya. Mainan yang selalu dibawa kakek-nya jika pulang dari bisnisnya di luar kota maupun dari luar negeri.
 
    Za tak pernah meminta dibelikan mainan, tapi kakek-nya selalu membelikannya banyak. Sampai penuh sesak kamarnya dengan mainan. Jadi daripada tidak dipakai sama sekali. Lebih baik Za berikan pada anak yang lebih pantas untuk menerima semua mainan itu.

   Dan di setiap hari minggu, rutinitas pagi Za adalah membagi-bagikan makanan, minuman dan mainan pada anak-anak jalanan. Tapi tentu bukan Za sendiri yang turun ke jalan, melainkan pak sopir dan beberapa orang suruhannya. Za hanya bisa menatap dan menunggu di dalam mobil. Hanya bisa memperhatikan dari balik kaca mobilnya saja.

   "Kenapa non Za tidak mencoba untuk turun saja? Mereka pasti akan sangat senang kalau non Za mau bertemu mereka. Mereka pasti akan sangat senang kalau tahu bahwa non Za lah yang setiap hari minggu memberi bantuan untuk mereka." ucap sang sopir setelah membagikan beberapa makanan, minuman dan mainan itu.

   Kepala Za hanya menggeleng tanpa satu kata pun yang keluar dari mulutnya. Dari jalanan mereka pergi ke salah satu panti asuhan. Panti asuhan yang biasa dikunjungi oleh Za setiap hari minggu.

  Pak sopir turun dan membawa sekantong plastik yang memang sengaja di pisahkan khusus untuk panti asuhan itu. Panti asuhan Kasih Ibu. Za menatap semu pada tiang papan nama panti asuhan. Menatap kosong. Berfikir dan berkata dalam hati, jika tak ada kakek, mungkin aku juga akan menjadi  salah satu penghuni jalanan. Salah satu penghuni panti asuhan. Mungkin akan lebih bahagia ya. Bisa punya banyak teman bermain. Itulah yang selalu dipikirkan Za. Meski Za tahu, bahwa dia lebih beruntung daripada mereka. Za punya rumah, punya kakek yang sangat menyayanginya meski selalu sibuk. Dan Za punya kakek yang selalu meng-iyakan semua permintaan Za.

   Bukan permintaan bermain dengan kakek seperti saat Za kecil. Tapi permintaan untuk berbagi pada mereka yang jauh tak beruntung dibandingkan dirinya. Dan kakek-nya pun selalu mengangguk mengiyakan, selalu memperbolehkan apapun yang ingin dilakukan oleh cucu kesayangannya itu, selama itu semua bisa membuat Za bahagia, kakeknya takkan mempermasalahkannya.

***********

Buku Harian ZahwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang