Shy Slytherin

183 33 30
                                    

Dentang jam di menara utama terdengar sayup mengiringi langkah kaki ragu Jisung menuju dungeon. Senja di akhir pekan tidak pernah sesenyap ini di koridor, ia menggaruk puncak kepala, kejadian Taehyun—saking mengagetkan dan lucunya, sampai-sampai—membuat Jisung melupakan sejenak penjelasan Amortentia yang Jaehwan tuliskan.

Sayangnya, jejeran kalimat di atas perkamen itu mulai kembali membanjiri pikiran Jisung. Hasrat terpendam? Duh. Gamang hendak bersikap bagaimana. Hal itu juga menimbulkan beban-beban tak kasat mata melingkari kaki Jisung. Nyaris menyeret, ia menjejak lantai.

Jisung menggigiti bagian dalam mulutnya menimang, apa sebaiknya bolos saja hari ini? Toh, sejauh ini Jisung tidak memiliki andil apapun dalam proyek ramuan itu. Kecuali, ‘ledakan besar’ termasuk dalam kategori ‘berkontribusi.’ Hell, yeah.

Ia meringis, lalu menggeleng berusaha melenyapkan niatan pengecut itu. “Aku prefek Gryffindor, kabur dari masalah bukan pilihan! Yup!” ditepuknya dada sekali. Jarinya singgah pada pin prefek yang melekat di jubah. “Yoon Jisung, jangan mundur. Hadapi saja Kim Jaehwan itu. Memangnya dia siapa? Cuma Slytherin yang—loh?”

Mata Jisung mengejap bingung. Di depan pintu ruang bawah tanah—tempat biasanya ia meramu dengan Jaehwan—berdiri si objek pikiran Jisung. Anehnya, si Slytherin itu tidak berada di dalam ruangan dengan buku di pangkuan, seperti biasanya; melainkan berdiri gelisah, menggigiti ujung kuku sambil berkomat-kamit.

Rasa penasaran membuat Jisung mengendap-endap perlahan. Berusaha agar sepatunya tidak menimbulkan bunyi di atas keramik mendekati murid Slytherin itu. Begitu berhati-hati hingga suara gumaman Jaehwan akhirnya bisa ditangkap oleh indra pendengar Jisung.

“Ugh, apa aku bolos saja? Mumpung dia belum datang, aku bisa beralasan kalau sudah menunggunya  terlalu lama. Benar. Aku kembali ke asrama sa—Holy shit! Jisung! Apa yang kamu lakukan!”

Jisung berjengit, kedua tangan singgah ke dada menahan jantungnya yang nyaris melompat kaget. Takut kalau tiba-tiba namanya terpajang di Daily Prophet dan berganti status dari prefek Gryffindor menjadi poltergeist yang berkeliaran di Hogwarts. Duh, tidak lucu.

Mata Jisung berkedip cepat, ia terlatih dan sudah nyaris kebal dipelototi dan mendengar desisan kesal Jaehwan, tapi tidak diteriaki seperti itu.

“Astaga,” ujar Jaehwan sebelum membuang muka.

Kejapan mata Jisung semakin menjadi. Reaksi itu ... bagai kembali ke masa awal dimana  sambutan Jaehwan seolah bertemu dengan hal paling menjijikkan sedunia sihir. Jisung menggaruk kening, bukankah beberapa waktu ini Jaehwan sudah lebih lunak padanya? Atau itu hanya perasaan Jisung semata?

Mata Jisung membola kaget, ditangkapnya lengan Jaehwan yang hampir melewatinya begitu saja. “Eits! Mau kemana?”

Meski lengannya tertahan. Namun, Jaehwan tidak berpaling saat menjawab. “Kembali ke kamar.”

Alis Jisung terjungkit, “lalu ramuannya?”

“Sudah sore.”

“Lah, ‘kan memang kau yang suruh datang sore.”

“Aku berubah pikiran.”

Sudut bibir Jisung terjungkit keki, “kenapa kau dari tadi bicara tanpa melihatku, sih?”

“Kenapa aku harus melihatmu?”

Kerutan kesal semakin bertumpuk di wajah Jisung, “sopan santunmu luar biasa sekali.” Ia berdecak gusar, “yeah, untuk ukuran orang yang membabi buta mencium orang, tentu saja kau tidak punya so—“

“Hentikan!” Jaehwan berbalik, mukanya merah padam. Entah karena malu atau dikuasai emosi, Jisung tidak sempat menerka karena Slytherin itu sudah kembali membuang muka. Menghindari kontak mata dengan Jisung.

Tidak ada yang terjadi setelah itu. Tangan Jisung masih berada di lengan Jaehwan, sedang si Slytherin masih teguh tak mau bertatap muka. Jisung menarik nafas dalam-dalam, dihembuskannya sambil memejamkan mata.

Ia membuka mata, menggigit bibir bawahnya sebelum berujar dengan suara sesopan mungkin. “Kau tau, liburan sebentar lagi. Paling tidak kita harus menyelesaikan sebagian tugas ramuannya, ‘kan?”

Tidak ada jawaban.

“Halo? Bisa bicara dengan Kim Jaehwan yang terhormat? Bisakah beri hamba kesempatan bercakap?”

Jaehwan berbalik sambil mendelik.

Jisung terdiam, alisnya naik turun sebagai ganti ucapan.

“Baiklah,” lirih Jaehwan.

.

.

Jisung bersila di depan kuali yang mendidih. Tangannya memainkan cufflink, menahan diri agar tidak menyentuh benda terkutuk pembawa petaka itu. Yeah, meski sebenarnya yang menurunkan benda laknat itu dari atas meja ke lantai adalah Jisung. Namun, saat itu kuali masih belum bersua dengan pijar api. Kalau sudah berjumpa, tingkat bahaya kuali tidak bisa lagi Jisung hadapi.

Sebisa mungkin Jisung menahan tawa saat menyaksikan Jaehwan berkerut jijik memasukkan lendir flobberworm ke dalam kuali. Kerutan di bibir murid Slytherin itu benar-benar pemandangan langka.

Dengan telaten Jaehwan mengaduk campuran delapan gelas air dan satu ons lendir flobberworm di dalam kuali; tiga kali searah jarum jam. Setelah mengelap tangan, ia membesarkan panas api, dimasukkannya sebuah mata kadal ke dalam kuali. Sambil menutup hidung Jaehwan menuangkan delapan siung bawang putih yang sudah dihaluskan.

Jisung terkikik, “Memangnya kau vampire?”

Jaehwan sudah hendak mendongak dari kuali, tapi segera berhenti. Perhatiannya kembali fokus pada ramuan. “Aku cuma tidak suka baunya. Daripada mengomentariku, gosok raspberry-nya.”

Meski tindakan Jaehwan yang tidak mau melihatnya masih membuat dahi Jisung berkerut, ia memutuskan diam. Tanpa berkomentar apapun, diraihnya piring kecil berisi sembilan buah raspberry.

Jisung celingukan mencari bulu Hippogriff yang kemarin ia cabut langsung dari sumbernya. Sebuah tindakan menantang nyawa, tapi Jisung perlu berhemat! Pengeluarannya bulan ini terlalu mencekik jiwa raga. Lagipula kalau ada yang gratis untuk apa ia memesan ke toko di Diagon Alley, bukan?

“Nih,” sodor Jaehwan, mengangsurkan bulu Hippogriff, masih tidak mau melihat Jisung.

Sambil menggosok raspberry ke sepanjang bulu Hippogriff, Jisung manyun. “Aku bukan medusa, melihatku tidak akan membuatmu jadi batu,” ujarnya geram.

“Iya, tapi aku nanti mengatakan hal yang tidak-tidak.”

Jisung mendengus, “memangnya selama ini kau tidak begitu?”

Kepala Jaehwan terangkat. “Ck!” Ia mendelik, “bukan itu. Astaga, kenapa kamu cantik sekali. Sial!” Jaehwan langsung membuang muka.

Kalimat itu sukses membuat Jisung membeku di tempat, rahangnya terbuka. Raspberry bergulir dari tangannya. Mata Jisung mengejap beberapa kali. Ia memandangi Jaehwan, lalu menyadari ada beberapa tetesan air di ujung rambut Slytherin itu. “Kau, um, apa kau kena siram ramuan sepupumu juga?”

Sebelah alis Jaehwan terjungkit, “juga? Kamu ... kena juga?”

“Bu—“ Jisung menerawang.

Lalu seolah tidak cukup, waktu itu aku bilang, ‘Sungwoon, kenapa bibirmu kissable sekali?’ Argh! Aku bilang suka padanya saja sudah tidak masuk akal, kenapa juga waktu lihat bibirnya langsung bilang begitu. Kenapa, Jisung? Kenapa? Mulutku tidak ada remnya! Dasar gagak sialan! Kenapa dia harus menyiramku dengan ramuan tidak jelas begitu sih.

"Mau taruh dimana mukaku? Apalagi aku bilang ke Sungwoon, ‘kau bakalan cocok banget berada di bawahku. Pasti desahannya gila-gilaan.’ Aaaaa! Aku yang bisa gila, citraku hancur berantakan.”

Seiring kilas balik sesi curhat Taehyun yang mendadak terngiang, Jisung menggigit bagian dalam mulutnya, “yeah, juga.”

Accio: Grá 🍀 [Kim Jaehwan x Yoon Jisung]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang