Firasat

11.9K 194 91
                                    

"Serius ?"

"Yoi.. kamu pengen manjat ?"

"Ane belum pernah manjat."

"Tenang, kan ada aku.."

"Emangnya itu gunung apa ?"

"Lawu.."

Dialog itu yang hadir ketika aku dan kelompokku mengawali petualangan kisah ini. Kami berlima disini. Aku, Raka, Shinta, Senja dan Galang. Sekumpulan mahasiswa yang ingin merasakan sensasi kaki yang terpijak diatas awan, pepohonan yang rindang, rumput-rumput yang segar, serta hawa dingin yang luar biasa menusuk tulang.

Pendakian pertama untuk ku dan ketiga temanku, namun untuk seorang Galang yang tempat tinggalnya tak jauh dari lereng gunung itu, seolah mendaki gunung Lawu sudah jadi kemahirannya. Namun begitu bodohnya dia, karena gunung tetaplah gunung yang selalu menyimpan seribu misteri didalamnya.

Kabut tebal yang menutup mata, lolongan yang memekik telinga, dan desiran udara yang menyentuh indra, serta hawa dingin yang menembus raga. Aku selalu merinding jika harus menceritakannya, mengingat kenangan terburuk yang pernah aku alami tentang tragedi itu. Kecelakaan yang bahkan aku pun tak tau bagaimana aku menceritakannya.

Seorang didepan ku masih menanti aku membuka mulut, aku tahu dia butuh akan informasi ini tapi aku tak mengerti bagaimana cara mengungkapkannya. Gemetar, ragaku seakan mati, sebab jiwaku seolah masih terbelenggu pada kejadian itu yang membuat jasadku tenggelam lebih dalam pada kesedihan.

"Mas.. Mas.. ?", wanita cantik di depanku itu tak henti-hentinya mencoba membawaku untuk kembali sadar.

Pandangan ku beralih pada wajah cantik yang berseragam cokelat itu. Bintang di dadanya menyadarkan fokus ku untuk kembali ke dunia nyata.

"Jadi, bisakah anda ceritakan bagaimana kronologi dari kejadian itu."

Akhirnya aku mulai membuka mulut, kata demi kata perlahan keluar. Getaran ini, peluh ini masih saja menyambangi tubuhku. Namun, sebisa mungkin aku mulai bercerita.

•••

Yogyakarta, 12 juni 2019

Pada sebuah kios berukuran 6×8 meter di sulap penyewa untuk di jadikan warung makan adalah ide brilian, meski harga sewa bukan terbilang murah namun terbayar akan tempat strategisnya, karena diapit dua universitas besar, Universitas Gajah Mada (UGM) dan Unversitas Negeri Yogyakarta (UNY).

Warmindo Selaraku, adalah tempat makan yang sekaligus tempat nongkrong para mahasiswa guna mencairkan pikiran yang begitu penuh akan tugas ataupun omelan dosen. Namun tak sedikit pula yang berleha-leha merayakan jam-jam makan sekaligus mengisi waktunya yang kurang kerjaan.

Dua belas meja yang yang dibagi menjadi empat baris. Dan setiap mejanya di dampingi dengan dua bangku panjang. Empat kipas angin berputar diantara sudut-sudut kios yang berwarnakan kuning muda.

Sedangkan aku terduduk di meja kedua dari baris paling kanan. Ditemani satu gelas es kopi.

"Gila, killer banget itu dosen." sesosok pria yang membawa piring duduk di samping ku.

"Apaan Lang, ngapain ente marah-marah." aku sedikit meliriknya, sekedar melihat lauk apa yang dimakannya.

"Itu tuh, pak Felix nggak bilang-bilang kalau mau kuis." jawabnya sembari mengunyah nasi goreng.

"Yaelah sob, kayak gak tau aja gimana sadisnya dia. Makanya kalau itu dosen mau ngajar baca tuh buku, gak cuma buat bawaan doang." jariku mengetuk sebuah aplikasi di semartpon ku.

Hargo DalemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang