Sepasang mata yang perlahan terbuka, aku bisa merasakan kehangatan yang menyentuh uliran pangsa.
Gelap ?
Masih malam kah ? Ataukah memang mataku tidak bisa terbuka ? Tidak, sebab tatkala pandanganku menajam, aku bisa melihat begitu bulatnya purnama di atas sana.
Aku mengerjapkan mata, mencoba mengenali tempat ini. Sebuah paseban yang berkarpetkan warna merah. Entahlah.. Aku lebih memilih menyebutnya sebagai sebuah punden karena ketika raga ini terduduk aku melihatnya dengan jelas bagaimana dupa yang masih menyala tertanam didepanku.
Tempat ini gelap, namun entah kenapa aku bisa melihat seisi selasar yang menganga ini. Dua songsong emas bertingkat tiga menjadi garda pembuka, ada pembatas yang terbuat dari kayu melintang dengan warna biru dan aku juga melihat bagaimana setiap bentangnya terdapat ukiran emas bermotifkan sulur maja.
Menuju lebih dalam pada bagian inti, aku disambut dengan sepasang gorden putih bersih yang ternyata menjaga sepasang pajeng mas seperti yang pernah kubaca dalam serat Kakawin Bhāratayuddha. Payung emas yang digunakan pada jaman kerajaan dahulu sebagai simbol strata. Orang-orang jawa percaya bahwa payung Agem Dalem itu konon menjadi simbol strata dimana pemiliknya berhak di sembah (dihormati) tak terbatas ruang dan waktu.
Belum selesai aku berdecak kagum, pandangan mengekor pada sajian selanjutnya dimana pada dinding terdalamnya tergambar tiga buah gunungan, sebuah yang terpajang pada bagian madya seperti yang bisa ku temui dalam pementasan wayang kulit, yang didalamnya terdapat gambar-gambar yang melambangkan kayon, yaitu segala kehidupan yang terdapat pada jagad pramuditha.
Indah.
Aku sadar bahwa tempat ini bukanlah tempat biasa, ada kisah besar yang pernah terjadi disini.
°°
Sudahlah, seharusnya aku memikirkan bagaimana aku bisa terbangun di tempat seperti ini, lantas kemana sajakah aku sedari tadi.
Pikiran ini bercabang, aku harus menemukan jalan keluar. Tapi aku juga tak mengerti sebenarnya aku sedang ada di mana. Aku mulai berdiri berbalik arah dari sumber ketakjuban itu.
Hawa hangat yang menyelimuti semakin menjadi, pikiran yang belum terbiasa dengan sensasi ini menghasilkan rengsa yang bergelayut di sekujur tubuh.
Efeknya kepalaku pening dan seolah ingatan ku ter-raup kedalam hawa yang tak ketahui sebabnya.
Jantung berdetak tak semestinya, badan yang telah berjejak seolah kehilangan kuasa. Tersungkur.
Ada sesuatu yang sepertinya kurang. Ingatan pun menajam. Mata ini terpejam, kilatan demi kilatan saling bermunculan. Dan aku, biarkan bagaimana raga ini untuk menyesuaikannya.
°°
Flashback ON.
Aku melihatnya.
Raga itu, menggeliat memberontak dari sepasang hasta yang berbulu lebat. Kedua lengannya terus mencoba melawan melepaskan dua tangan lainnya yang mencengkram lehernya.
"Jangan pernah sekali-kali kau mencampuri urusan kami." suara menggelegar menghembuskan gema.
Ada bulu roma yang perlahan menegang. Ada ketakutan yang perlahan memancar.
Ketakutan, adalah bayang-bayang akan sesuatu yang belum terjadi, kegelisahan akan persepsi pikiran pada narasinya sendiri. Rasa dimana kegelisahan menyambut pertahanan dasar tiap insan akan segala sesuatu yang akan di dapatkannya, segala sesuatu yang tidak bisa ia lakukan dan segala sesuatu..
KAMU SEDANG MEMBACA
Hargo Dalem
HorrorCeritanya horror banget.. ..serius Cerita ini fiksi, nggak boong. . Update setiap malam bulan purnama.