Lahirnya manusia tak melulu kepada keberkahan atas bertambahnya keluarga. Lebih dari itu, ada kemungkinan paham yang bercabang yang menuntut sang bayi untuk terlupa akan sejatinya dirinya.
Siapakah sang jabang bayi itu ?
Adalah saripati tanah yang kemudian ter-anugrahi akan air hina yang jatuh pada ceruk paling sensitif bumi, menyelamlah lebih dalam agar pada akhirnya bersatu pada inti dari garbha itu sendiri.
Lalu, ingatlah.. bahwa segumpal darah yang mengaliri kepada sang daging yang sama sekali belum berdenyut. Maka terciptalah tulang belulang yang akan menyempurnakan daging yang senantiasa memperkokohnya.
Maka lengkaplah sang janin ketika usia masuk pada hitungan candra kaping papat. Ketika sang atma yang suci mulai ditiupkan kedalam diri sang jabang bayi.
Maka dari pada itu, orang-orang jawa tak luput bersyukur dengan sebuah tradisi ngapati, yang konon di usia inilah sang utusan menuliskan empat perkara yang akan menentukan bagaimana calon manusia itu akan menjalani hidupnya.
Kemudian, keluarga akan dibuat sibuk kembali ketika kandungan yang kian membesar yang menyentuh angka bulan yang ketujuh. Garbha wedana, tradisi adat hindu yang masih merekat erat di kehidupan suku jawa. Namun nama itu masih terlalu asing maka banyak orang yang menyebutnya sebagai Tingkeban atau lebih jelasnya mitoni.
Setiap upacara adat pasti memiliki tujuan tertentu, sama halnya dengan tradisi tersebut dimana keluarga memohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan sekaligus sambutan kepada empat saudara yang kelak akan terlahir bersama sang jabang bayi.
Maka hingga tibalah waktunya, dimana air ketuban yang terpecah memberikan tanda kepada sang ibunda, jika sang darah daging akan segera terlahir ke dunia. Tak perlu waktu lama sampai akhirnya sang takdir itu tertunai-kan bersama unsur-unsur lain yang keluar sebagai gawan-nya.
Dan jelas, segenap batih akan bahagia terutama sang rama dan ibunda yang kadang tak segan meneteskan air mata demi terwujudnya cita dalam anugerah sang buah hati.
Rasa bahagia yang teramat dalam tak membuat sang rama luput untuk segera membisikkan lantunan penyeru yang dilafalkan dalam bahasa yang berbeda di telinga tengen dan kiwa.
Pihak keluarga senantiasa menilik sang gawan untuk segera di semayamkan. Ari-ari yang berlumuran getih dalam persalinan tak membuat sang rama (terutama) untuk segan mengantarkan plasenta ke tempat dimana ia seharusnya.
Didepan griya, disamping pintu pada sisih kiwa ataukah mungkin sebaliknya. Beralaskan daun senthe yang dimasukkan ke dalam periuk tanah dan di tutup dengan tempurung kelapa. Tak lupa berbagai ubarampe pun turut dibubuhkan diatasnya sebagai pelengkap dimana ritual ini harus segera terlaksana.
Lalu kain mori dibungkuskannya kepada segala yang telah di persiapkan, menuju liang singgasana dimana sang ari-ari itu dikuburkan. Maka berikanlah pepadhang berupa sentir lenga klenthik selama selapan di dalam pagar bambu yang mengitari sang setra.
Namun, sebelum ritual selapanan ini dilakukan maka ketahuilah bahwa biasanya dalam hitungan saptawara pertama hingga kaping dua adalah kurun dimana sang tali puser ter-puput dari wujud kasar sang bayi. Maka terciptalah ritual puputan yang memiliki tujuan memohon keselamatan untuk buah hatinya kepada sang Maha Kuasa.
°°
Pecahnya Ketuban, keluarnya plasenta dari rahim yang sama seperti tempat sang calon bayi tercipta dan darah yang tumpah dalam persalinan turut mendera sang ibunda yang berkorban nyawa. Serta, tali pusar yang dahulu pernah menghubungkan plasenta dengan fetus, kini telah mengering siap untuk disimpan ataukah mungkin dikuburkan ?
KAMU SEDANG MEMBACA
Hargo Dalem
HorrorCeritanya horror banget.. ..serius Cerita ini fiksi, nggak boong. . Update setiap malam bulan purnama.