4. KERAGUAN

2.1K 85 1
                                    

Tiga hari aku menemani, merawat dan menjaga ibu. Kondisinya berangsur membaik, seiring dengan suasana hatiku yang mulai sedikit bersemangat.

"Mbak ... ada telepon." Amira berlari-lari kecil dari ruang tengah mendatangiku di dapur yang tengah menggoreng tempe. Diserahkannya smartphone milikku.

Hari Minggu, Amira lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah saja. Membantu pekerjaan rumah serta mengurus kebun di belakang, yang ditanami beberapa jenis sayuran seperti kangkung, bayam, sawi hijau, cabai dan kacang panjang sebagai pagar pembatas dengan pekarangan tetangga.

"Dari siapa?" tanyaku. Kuambil gawai dari tangan Amira.

"Mas Yoga kayaknya, Mbak."

Amira pun berlalu meninggalkanku menuju ruang televisi.

Kuseret tombol gagang telepon berwarna hijau di layar gawai. Lalu menempelkan benda pipih itu di pipi kiri.

"Assalamu'alaikum, Mas."

"Wa'alaikummussalam. Gimana kabar Ibu, Yan? Udah baikan?"

Ini menantu apaan sih? Mertua sakit bukannya ditengokin malah cuma telepon. Itupun setelah tiga hari keberadaanku di rumah ibu. Heran.

"Alhamdulillah udah, Mas. Mas sendiri sehat kan?"

Kupermanis nada suara meski rasa geram menyelimuti hati.

"Iya, Mas sehat. Kamu mau dijemput kapan?"

Ealah, cuma tanya kapan pulang to. Bukannya mau jenguk.

"Besok aja nggak pa-pa kan, Mas? Yana masih kangen sama Ibu."

Aku berbohong, menutupi keinginan yang sesungguhnya, yakni supaya tidak melihat kemesraannya dengan Nina sampai rumah Nina selesai.

"Ya sudah. Besok pagi Mas jemput. Mau nitip apa?"

Nah lo, besok itu rumah Nina masih belum selesai. Dan masih ada empat hari lagi di rumah yang terasa seperti neraka bagiku.

"Nggak usah deh, Mas. Yana lagi nggak pingin apa-apa."

Lagi-lagi aku berbohong. Padahal seharusnya dia tahu, hanya satu keinginanku 'kamu pisah sama Nina.'

"Serius?"

Ya serius lah. Aku tu eneg tahu sama kamu.

"Beneran, Mas. Mas ijinin Yana nginep di rumah Ibu beberapa hari aja, Yana udah seneng banget."

Mulai jengah, sedikit kutekan suara.

Mas Yoga berkata akan menjemputku siang nanti.

Kuklik tombol gagang telepon berwarna merah setelah nada telepon di seberang sana mati. Menaruh ponsel di atas meja dapur. Kutoleh tempe di atas penggorengan.

"Astaghfirullahal'adzim. Jadi gosong tempeku. Gara-gara dongkol sama suami," gumamku.

Buru-buru kumatikan kompor.

"Bau gosong apa ini, Mbak?" Amira menghampiri.

"Tempe. Aku lupa, pas terima telepon dari Mas Yoga tadi kompor tak kumatikan. Nasib deh, makan tempe gosong kita hari ini. Hahaha ...." aku tertawa menghibur diri.

"Hahaha ... kok bisa sih, Mbak? Kebelet kangen ini kayaknya. Hahaha ...." Amira meledek.

"Yeyyyy ... enak aja. Udah sana, cepat siapin piring. Kita makan di meja depan televisi aja," ucapku.

Tanpa babibu lagi, Amira menuruti perintahku. Aku berlalu menuju kamar untuk mengganti daster panjang yang sudah terkena cipatran minyak goreng dan bumbu tumis kangkung. Samar-samar dari ruang tengah kudengar gelak tawa Amira yang demikian membahana di dapur. Kugeleng-gelengkan kepalaku.

Ibu yang mendengar keributan kami ikut keluar dari kamarnya.

Kukatakan yang sebenarnya terjadi. Kembali dia menasihati tentang kuwalatnya istri yang memendam perasaan jengkel kepada suami. Dan benar, aku menerima akibatnya, meski hati merasa tak ada yang salah dengan perasaan sebal tersebut.

Kupeluk mesra tubuh gemuk ibu, bermanja-manja agar tidak terkena omelannya dikarenakan masakanku yang gagal.

Wanita itu mengeluh akan bau tubuhku yang dipenuhi oleh aroma bawang dan minyak. Menyuruhku untuk lekas berganti pakaian, agar bersih kembali.

Kulepaskan pelukan. Dan berlalu menuju kamar. Membuka lemari, memilih daster hitam panjang berbahan rayon dan jilbab instant berbahan jersey. Segera mengganti baju. Lalu keluar untuk makan bersama Amira dan ibu.

Amira dan ibu tengah berbisik-bisik saat aku membuka kelambu kamar.

"Ada apa, sih? Bisik-bisik gitu. Nggak enak tahu dilihatnya," tanyaku.

"Ini lho Mbak, kita berasa makan rending padang rasa tempe, ya kan, Bu? Hahaha ...." Amira tergelak.

"Udah-udah. Nggak baik menghina rejeki. Udah kita nikmati saja apa yang ada ini," ucap ibu.

Aku mengambil posisi duduk samping kanan ibu. Sedang Amira duduk di sisi kiri wanita di sisiku. Kami makan tanpa menonton televisi meski posisinya ada di depan meja. Ibu mengajarkan agar fokus pada makanan saat makan, sehingga otak tidak tertuju pada hal lain selain menikmati rejeki.

***

Madu yang Tak ManisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang