8. KEHILANGAN

3K 119 1
                                    


Suasana rumah masih sepi saat aku tiba. Setelah membuka pintu aku duduk pada sofa. Tas travel dan handbag kuletakkan sembarangan.

Kusandarkan kepala pada sandaran kursi ruang tamu dan menutupi wajah dengan kedua telapak tangan.

Semoga ini adalah keputusan yang tepat juga jalan yang terbaik untukku.

Ibu keluar dari dapur begitu mendengar suara pintu terbuka.

Kubuka telapak tangan, ibu sudah berdiri di depan.

Tak kuasa lagi aku membendung air mata. Memeluk perut yang sedikit membuncit itu dengan erat, kemudian menangis sekeras-kerasnya. Teringat akan penghinaan Mas Yoga pada wanita yang telah melahirkanku itu. Sungguh sakit sekali hati ini.

Dibelainya kepalaku yang tertutup jilbab segiempat berwarna putih. "Kenapa? Apa yang terjadi? Katakan pada Ibu!"

Suara ibu begitu lembut, dia tak pernah bicara kasar pada menantunya. Bagaimana bisa hinaan tersebut menimpanya? Yang lebih menyakitkan tuduhan itu berasal dari mulut pria yang sangat ia sayangi.

Padahal, jika bukan karena beliau aku tidak akan mematuhi apapun yang menjadi keputusan suamiku itu. Kubenamkan wajah pada tubuh yang bau keringatnya selalu kurindukan itu semakin dalam.

"Menangislah, menangislah jika itu bisa membuatmu lega. Jangan ditahan!"

Ucapan ibu semakin membuat sesak tenggorokanku.

***

Setelah terjaga dari tidur siang, tubuhku yang semula lemas kembali segar.

Jernihnya air sumur yang masuk ke kulit melalui pori-pori tak lantas mampu menjernihkan pikiran. Masih terngiang hinaan semalam.

Amat jelas, nada suara pongah itu pun begitu melekat dalam ingatanku.

Selera makan menghilang, segelas teh hangat yang disiapkan ibu hanya kuminum seteguk. Manis gulanya terasa seperti sekam di lidahku.

Begitu juga dengan sepotong roti goreng yang tersaji di atas meja makan. Mencuilnya sedikit, mencoba memasukkannya ke dalam mulut. Tenggorokanku sakit. Sulit menelan. Kemudian meletakkan kembali sisa roti pada tempatnya semula.

Berjalan ku ke ruang televisi. Menyalakan tabung datar tersebut. Menggonta ganti channel yang aku sendiri tak tahu hendak menonton acara apa.

Bosan, semuanya terasa begitu menyebalkan.

Melempar remote control ke atas sofa. Kurebahkan tubuh, memandang langit-langit ruang tengah.

Salam seorang laki-laki terdengar dari pintu depan. Buru-buru aku berlari masuk kamar, mengambil jilbab instant. Lalu keluar untuk membuka pintu.

Seorang pria muncul dari balik pintu. Dia tersenyum, manis sekali. Wajah tampannya begitu teduh. Aura positif terpancar dari balik netra indahnya yang berwarna cokelat. Kutundukkan pandangan.

"Masuk, Mas! Biar kupanggilkan Ibu."

Aku berusaha menghindar dari pertemuan dengan Mas Ibrahim. Dia tidak tahu menahu masalahku. Tidak mungkin pula aku cerita padanya. Biarlah ibu yang menjelaskan.

Kupersilahkan lelaki itu duduk, kemudian kutinggalkan menuju kebun belakang rumah.

Ibu tengah memetik cabai yang mulai kemerahan. Kudekati wanita berdaster batik itu. Dan berbisik di telinga mengenai kehadiran lelaki yang telah difitnah menjadi selingkuhanku itu.

Dia sengaja mengundang Mas Ibrahim untuk makan bersama. Kebiasaan lama yang telah menjadi adat bagi kami jauh sebelum aku menikah.

Namun, kini harus kuhindari pertemuan dengannya. Menjauhi fitnah yang akan semakin menguatkan tuduhan Mas Yoga.

Hati ini teriris, terluka, karena tak bisa bertemu dengan sosok kakak yang telah lama tak jumpa. Benar, fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan. Penghinaan tak beralasan mampu merendahkan derajat seseorang. Mencemari citra dan nama baik yang terjaga.

Kutolak perintah ibu membuatkan minuman untuk Mas Ibrahim.

Rasa heran membuatnya bertanya, "Kenapa? Kamu ada masalah sama Ibrahim?" Ibu menggenggam lenganku yang terbungkus babydoll lengan panjang warna abu-abu bermotif Mickey Mouse.

Aku hanya mengangguk tanpa memberikan alasan.

Wanita berjilbab instant itu curiga bahwa Mas Ibrahima ada kaitannya dengan masalah yang tengah menimpaku.

Manik matanya menelisik, mencari tahu kebenaran lewat bola mataku. Aku menekur, memandangi tanaman sawi yang baru berusia dua minggu.

"Sampaikan saja sama Mas Ibrahim bahwa aku pasti akan menemuinya bila keadaan sudah membaik. Semua ini demi kebaikan kita semua, Bu."

Aku menggangguk, dengan tatapan memohon penuh harap. Ibu pun membalas dengan mengedipkan matanya dan mengangguk perlahan. Digenggamnya telapak tanganku. Kemudian berlalu meninggalkan aku dan baskom yang baru sepertiga terisi cabai.

Punggung itu berjalan menjauh dan menghilang di balik pintu.

Kupetik cabai yang kemerahan pada beberapa batang pohon yang buahnya digemari orang Indonesia tersebut. Lalu memetik tanaman bayam di pojok pekarangan.

Kumbang yang hinggap pada bunga kemangi menari-nari, terbang dari satu kelopak menuju kelopak yang lain. Menghisap sari, dan berlalu pergi.

Tersisa putik yang berubah menjadi buah berwarna pekat kemudian tumbuh menjadi bibit baru yang siap ditanam.

Semua pasti ada manfaatnya. Allah memberi yang manusia butuh, bukan yang mereka ingin.

Pun ulat yang bermetamorfosis menjadi kupu-kupu. Bentuk yang menggelikan dan dianggap sebagai hama, merubah diri menjadi kepompong dan lahir dengan tampilan baru yang cantik. Terbang kesana kemari mengepakkan sayapnya yang indah. Yang semula merasa geli menjadi pengagum.

Atau mutiara yang terbentuk dari butiran-butiran pasir yang tak sengaja masuk dalam tubuh kerang. Rasa sakit dirubah menjadi mutiara yang indah. Menjadi perhiasan yang berharga.

Semua butuh proses, dan aku baru memulainya.

Berlari-lari kecil ibu menghampiri. Mengatakan bahwa Mas Ibrahim telah pulang. Dan berpamitan pergi ke Kalimantan. Dia menitip salam untukku.

Debaran di hati ini muncul kembali. Ada rasa tidak ikhlas membiarkan dia pergi.

"Sebenarnya apa yang terjadi? Apa benar ada kaitannya dengan Ibrahim?"

Perkataan itu membuat mataku membelalak.

"Aku difitnah berselingkuh dengan Mas Ibrahim, Bu," kembali tertunduk, tak kuasa melihat ekspresi ibu.

"Dia menuduhmu berzina?" Nada suara ibu mulai naik.

Aku mengangguk.

"Kalau begitu kita tunggu kedatangan Yoga kemari. Dia pasti datang untuk menjelaskan semua ini. Ibu akan undang Ustadz Jumadi. Biar beliau yang menjelaskan pada Yoga," emosi mulai menyerang ibu.

Diraihnya baskom berisi cabai dan bayam dari tanganku.

"Tunggu dulu!" Ibu berkata sembari memegang lenganku yang hendak meninggalkannya menuju rumah.

"Apa Yoga pernah kasar padamu?"

Kuhentikan langkah, dan menoleh ibu.

Lidahku kelu. Ragu menjawab pertanyaan yang pasti akan membuatnya khawatir.

"Jadi benar Yoga sudah kasar padamu? Sini, Ibu periksa apa ada bekas lukanya." Tubuhku dibolak-balikkan. Aku pasrah mengikuti gerakan tangannya pada tubuhku.

"Tidak, Bu. Lapor polisi pun akan percuma. Tak ada bekas luka. Jika divisum pasti hasilnya nihil."

Ibu menatapku nanar. Rasa sedih, iba, kecewa, sayang juga marah bercampur menjadi satu dari sorot matanya yang teduh.

"Yana salat Ashar dulu ya, Bu!"

Perempuan itu mengangguk dan tersenyum.

***

Madu yang Tak ManisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang