5. BAYANGAN MASA LALU

2.4K 84 1
                                    

Kesunyian malam menjadi saksi betapa hati ini merindukan dia yang dulu. Dimana hanya ada aku di hatinya. Masa dimana keromantisan menghiasi hari-hari bahagiaku dengannya.

Mataku enggan terpejam. Membayangkan esok akan bertemu lagi dengan mereka, Nina dan Mas Yoga.

Kubolak-balikkan tubuh ke kanan dan ke kiri, berharap bisa mendatangkan rasa kantuk yang seakan ogah menghampiri. Tapi sia-sia.

Kupeluk guling dan menghadapkan wajah pada tembok bercat biru langit. Mataku mengedip-ngedip. Dan mulailah terbayang kenangan sebelum hari pernikahanku.

Waktu itu hari Minggu. Mas Yoga berkata akan mengajak ke tempat saudaranya sebelum ke rumah untuk melamarku.

Meski curiga secepat dan semudah itukah mendapatkan persetujuan darinya. Aku tetap masuk ke mobilnya. Duduk di kursi depan samping kemudi.

Mas Yoga masuk dan duduk di belakang kemudi, kemudian menyalakan mesin. Tak lama benda beroda empat itupun melaju dengan kecepatan sedang. Melewati jalanan kota Malang yang sedikit ramai di akhir pekan. Terus ke arah selatan. Belok kanan di Gadang dan belok kiri menuju arah Kebun Agung, lalu berbelok ke arah kanan. Setelah itu aku tak tahu kemana mobil akan berhenti.

Sekitar kurang lebih setengah jam, mulai terlihat jarang pemukiman. Sawah-sawah terbentang luas. Pohon-pohon rindang menghiasi tepi jalan. Akhirnya, kendaraan yang kunaiki pun berhenti pada sebuah rumah berdinding bambu. Halamannya cukup luas. Sisi kanan dan kiri rumah terdapat tanaman cabai dan ubi rambat. Beberapa pohon mangga yang mulai berbunga turut menghiasi halaman depan rumah tersebut.

"Eh, udah dateng. Mari masuk, Mas! Sudah saya siapkan."

Seorang wanita berusia sekitar tujuh puluh tahun keluar dari balik pintu. Kebaya kutubaru bermotif bunga sepatu dan jarik sidomukti yang warnanya sudah sedikit kuyu membalut tubuh keriputnya. Rambut hitamnya disanggul, sedang pipi kirinya nampak sedikit membengkak oleh susur, tembakau khusus untuk menginang.

Dalam kebingungan, ku ikuti langkah Mas Yoga yang menggamit lenganku. Masuk dan duduk pada kursi rotan kuno yang tersusun rapi di ruang tamu.

Perempuan itu mempersilahkan masuk dan duduk.

Aku bingung, kupandangi Mas Yoga yang tengah sibuk dengan smartphonenya. Sementara nenek itu menyuruhku mengikutinya masuk ke dalam bilik.

"Maksudnya apa ini, Mas? Ini rumah siapa?" tanyaku curiga.

"Ikuti saja. Tak usah banyak tanya," ucapan Mas Yoga sedikit memaksa.

Aku bangkit dan berjalan mengikuti perempuan itu. Masuk ke dalam bilik kecil dengan kelambu bermotif bunga mawar.

"Lepaskan pakaianmu!" perempuan itu berkata.

"Ma'af ya, Nek. Ini maksudnya apa? Saya bingung. Mas Yoga bilang mau mengajak saya ke rumah saudaranya. Kenapa justru saya dibawa kemari?"

"Kamu sedang hamil kan? Kalian punya anak yang masih bayi dan sakit-sakitan kan?"

"Hah ... tidak. Kenapa berkata begitu? Mas Yoga bilang mau bertanggungjawab atas perbuatannya. Kenapa jadi begini?" sanggahku sedikit bingung.

"Nek, tolong jangan gugurkan bayi saya. Saya tidak mau menambah dosa saya, Nek. Biar saya ganti biayanya, asal anak ini tidak digugurkan. Saya tidak mau menambah dosa saya, Nek. Saya mohon!" aku memohon.

"Apa maksudmu?" perempuan itu tampak heran.

"Nek, saya tahu saya salah. Tapi saya tidak mau menggugurkan bayi ini. Saya ingin mempertahankannya. Saya tidak ingin dosa saya bertambah dengan menjadi pembunuh darah daging saya sendiri. Tolonglah, Nek. Saya mohon."

Madu yang Tak ManisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang