9. LI'AN

3.6K 153 11
                                    

Mas Yoga datang, langkah tegapnya membuat detak jantungku berdetak tak beraturan. Terbayang malam dimana sisi lain dari dirinya menumbuhkan pilar-pilar kebencianku terhadapnya.

Wajah manisnya tak lagi membuatku tersipu. Debaran di dada berubah menjadi kilatan api murka dan ingin segera mengakhiri semua yang berhubungan dengan dirinya.

Aura tenang dan bisa berubah sewaktu-waktu itu mendesirkan aliran darahku yang kian memuncak menjadi emosi.

Terduduk dia di sofa ruang tamu bersama dengan ibu, bapak, aku dan Ustadz Jumadi. Memasang wajah tanpa dosa. Dimana, dimana otot kekar dan sorot mata berambisi menghabisiku sebelumnya? Demikian lihai ia mengatur mimik mukanya. Menyembunyikan dirinya yang lain.

"Jadi begini, Pak, Bu." Mas Yoga mulai bicara. "Mengenai Ariyana. Dia telah meminta cerai dari saya."

Darahku berdesir. Meremas gamis yang melekat pada paha. Ibu dan bapak saling pandang.

"Apakah benar begitu, Mbak Yana?" Ustadz Jumadi bertanya.

Aku mengangguk seiring dengan kobaran kebencian pada pria di ujung sofa.

"Begini, Nak Yoga. Mengenai cerai, apakah tidak sebaiknya dibicarakan dulu secara baik-baik. Sejatinya tiap masalah dalam rumah tangga itu dapat diselesaikan. Karena yang namanya orang berumah tangga, pasti tak luput dari yang namanya permasalahan. Tentunya kata cerai itu sangat dilarang," Ustadz Jumadi mencoba menjelaskan.

"Saya tak pernah berniat menceraikannya, Pak. Yana sendiri yang ingin berpisah dari saya." Mas Yoga kembali berkata.

"Bagaimana Mbak Ariyana, apakah benar Mbak Ariyana yang meminta cerai dari suami?" tanya Ustadz Jumadi. Dielus-elusnya rambut yang sedikit memanjang pada dagunya.

"Benar, Pak. Saya meminta cerai sebab saya merasa sudah tidak sanggup lagi membina rumah tangga dengan dia," jawabku.

"Boleh kami tahu alasan Mbak Ariyana meminta cerai? Sebab dalam Islam wanita tidak boleh meminta cerai tanpa alasan yang syar'i. Wanita yang meminta cerai pada suaminya tanpa alasan syar'i tidak akan mencium bau surga." Ustadz Jumadi memalingkan wajahnya ke arahku.

"Karna ... karna sudah tidak ada kecocokan di antara kami, Ustadz. Juga karna ...." aku ragu hendak melanjutkan kalimat yang telah berada di tenggorokan.

"Katakan saja, Mbak! Kita coba cari solusinya sama-sama," terang Ustadz Jumadi.

"Karna dia telah kasar terhadap saya juga telah menuduh saya berzina dengan pria lain."

"Astaghfirullah hal 'adhim," Ustadz Jumadi beristighfar. Lalu berkata, "Begini Mas Yoga. Perihal menuduh istri berbuat zina dengan pria lain. Apakah benar Mas Yoga melihat dengan mata kepala sendiri istri Anda telah berzina dengan pria lain? Apakan Anda mempunyai saksi atas perzinahan tersebut?"

Mas Yoga terlihat bingung. Kedua telapak tangannya saling bertautan. Mimik mukanya belingsatan.

"Li'an," Ustadz Jumadi melanjutkan. Memperbaiki posisi duduknya dan berkata, "Li'an dari segi bahasa berarti laknat. Dalam artian seorang suami telah menuduh istrinya berselingkuh atau berzina dan menafikan nasab atau mengingkari keturunan dengan pria lain. Maka suami tersebut harus membawa empat orang saksi yang benar-benar melihat perzinahan yang dilakukan oleh istrinya tersebut. Kemudian bersumpah di hadapan hakim dan orang banyak dengan nama Allah bahwa istrinya telah berzina dengan lelaki lain, dan melaknat dirinya jika ia berkata bohong.

Istri bersumpah atas nama Allah bahwa dia tidak melakukan zina seperti yang dituduhkan oleh suaminya apabila istri menampik qazaf atau tuduhan zina tersebut. Dan bersedia dilaknat jika ternyata apa yang diucapkannya adalah bohong.

Madu yang Tak ManisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang