1. Beri Ruang.

115 10 12
                                    


Pekanbaru.
Jumat, 27 sep 2019.

Pagi suram, pukul sepuluh tepat.

“Yara, kunci di lo, kan?”

Baru saja hendak menjawab, suara benturan menambah kehebohan.
Rambut yang tadinya sudah hampir terikat rapi harus rela terburai lagi karna tangan yang reflek jatuh memegang lutut.

“Anjir, lutut gue!”

Disusul suara kursi bergeser, Yara pegangi lutut kirinya, lalu melompat gak karuan saking sakitnya. Kalau boleh jujur ini sudah kesekian kalinya terjadi, dan memar di lutut bukanlah hal baru, Ceroboh banget, heran?

Fyi, Jam masuk kerja itu pukul sembilan, dan sekarang sudah pukul sepuluh lewat dua belas tapi Yara masih di dalam kamar. Belum on the way, belum selesai prepare.

Meja bedebah!”

Tuh kan, keceplosan.

“Yara, kita semua gak bisa masuk ini, Lo kenapa deh?”

Oke, lutut sakit karna terbentur bawah meja, hape memanas di telinga, suara melengking dari rekan kerja dan waktu yang terus berjalan.

Yara sih inginnya teriak, tapi takut di marahi tetangga. Galak dia. Ingat betul tempo hari Yara gak sengaja teriak karna syok lihat tikus yang besarnya ngalahin kucing bunting. Si pirang penghuni kamar dari rumah sebelah  ngelabrak paling depan, mengaku tidur siangnya terganggu buat dia tergerak untuk murka gak tanggung-tanggung. Sepele banget, perasaan?

Tapi, ya, gitu. Heboh sekampung.

Biasalah itu si Taehyung, tetangga Yara dari jaman orok. Yara sudah biasa adu bacot sama dia👌

“Otw nih otw, sabar.” katanya begitu, lantas bergegas pakai sepatu putih kesayangan.

Yara biarkan rambutnya ter-urai, segera di ambilnya tas bahu kuning yang tergantung di belakang pintu. Terakhir, dia matikan sambungan telepon dan seketika telinganya menjadi damai.

Sorry, Sir!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang