Bab 17

31.1K 1.7K 39
                                    

Sekitar satu minggu lagi Jazira akan kembali ke pesantren karena masa liburannya telah selesai. Gadis yang saat ini duduk di bangku kelas dua belas itu semakin hari semakin membawa hal positif untuk orang-orang di sekitarnya. Terutama Sinta, mereka berdua banyak menghabiskan waktu mereka dengan mengikuti kajian di ibu kota.

Jika dulu mereka lebih senang menjadikan Mall sebagai tempat nongkrong, beda halnya dengan sekarang. Saat ini mereka sedang mengikuti sebuah kajian di masjid kebanggaan kota Jakarta, yaitu Masjid Istiqlal. Kajian ini juga banyak di hadiri oleh remaja seusia mereka.

"Ra gue gak percaya diri ada di sini, coba tuh lo liat mereka. Jilbabnya panjang-panjang banget, pasti ilmu Agamanya udah tinggi deh." Bisik Sinta sambil terus membandingkan dirinya dengan jamaah lain.

"Astagfirullah Ta, kamu jangan punya pikiran macam-macam deh. Tinggi rendahnya ilmu agama seseorang itu, cukup Allah aja yang menilai, di sini kita sama-sama belajar kan?"

"Iya sih."

Kedua gadis remaja itu kembali fokus dengan tausiah yang di sampaikan oleh Ustazah muda bernama Nurul Alvia lulusan dari salah satu Universitas di Kairo.

"Teman-teman yang di rahmati Allah, tema kajian kita pada hari ini adalah persahabatan. Saya mengambil tema persahabatan ini karena saya ingin teman-teman sekalian memiliki seorang sahabat yang mampu membawa perubahan baik. Bukan sahabat yang hanya sekadar mengajak kalian kepada kebahagiaan sesaat dan kemaksiatan."

Jazira dan Sinta sama-sama fokus dengan materi yang di sampaikan oleh Ustazah itu. Sampai akhirnya kajian tersebut selesai sekitar pukul sebelas.

"Ra, makasih banget ya udah mau jadi sahabat gue yang paling baik di dunia ini."

"Tumben kamu dramatis gitu?" Tanya Jazira sambil tersenyum.

"Ngeledek banget sih lo?"

"Siapa yang ngeledek? Aku kan nanya."

"Eh Btw minggu besok lo jadi balik ke pesantren?"

"Insya Allah, jadi."

Jazira tersenyum karena ia ingin segera kembali ke tempatnya menuntut ilmu. Namun Sinta tampak murung saat tau sahabatnya akan kembali pergi. Kedua gadis yang sedang duduk di pelataran Masjid untuk menunggu waktu Zuhur itu mulai diam satu sama lain.

"Ta? Kamu kenapa jadi murung gitu?"

Sinta tidak menjawab. Ia melamun.

"Sinta."

Tanpa menjawab pertanyaan Jazira, Sinta langsung memeluknya erat. Ia menangis dalam pelukan Jazira.

"Astagfirullah, Sinta kamu kenapa? Aku ada salah ngomong ya tadi? Aku minta maaf Ta, aku gak ada maksud nyinggung perasaan kamu apalagi sampe bikin nangis begini."

"Lo gak salah apa-apa kok." Jawab Sinta dengan suara pelan.

"Terus kenapa kamu nangis?"

"Gue sedih Ra. Kalo lo balik ke pesantren lagi nanti siapa yang ajarin gue ngaji? Siapa yang bakal gue jadiin tempat buat setor doa-doa yang gue hafal?”

"Ada Allah Ta, aku yakin setelah aku balik ke pesantren pasti akan ada orang yang jauh lebih baik dari aku buat jadi pembimbing kamu."

Jazira jadi teringat bagaimana dulu saat ia buta akan ilmu agama, ia dapat merasakan yang Sinta rasakan saat ini, butuh bimbingan dan arahan dari orang-orang terdekatnya. Akan ada banyak hal yang dapat menggoyahkan iman seseorang jika ia tidak memiliki tameng yang mampu memberikan semangat kepadanya.

Jika Aisyah adalah tameng untuk Jazira, semangatnya saat mengejar kebaikan di jalan Allah, maka saat ini ialah yang menjadi tameng untuk Sinta. Cara Allah memang indah, terkadang Dia yang Maha Kuasa mempertemukan kita dengan orang-orang yang mampu membawa ke jalan kebaikan dengan skenario dan cara berbeda-beda, namun tetap memiliki ending yang begitu indah.

Setelah seharian menghabiskan waktu bersama, akhirnya Jazira dan Sinta pulang ke rumah masing-masing. Karena besok hari Senin dan Sinta mulai aktif sekolah, jadi Jazira tidak ingin dia kelelahan karena seharian berkeliling bersamanya.

"Assalamu'alaikum." Ucap gadis itu dari ambang pintu.

"Wa 'alaikumsalam." Jawab kedua orang tuanya.

Jazira menyalami punggung tangan Rifan dan Kharisa bergantian.

"Eh anak Bunda udah pulang? Gimana kajiannya hari ini? Lancar?"

"Alhamdulillah lancar Bun, tadi aku sama Sinta sempet drama gitu. Katanya Sinta sedih aku mau balik ke pesantren lagi."

Kedua orang tua Jazira terkekeh mendengar cerita anak semata wayang mereka dengan ekspresi polos.

"Wajar kalo memang Sinta sedih, kan kalian udah deket banget dari masuk SMP. Dan kalian sama-sama anak tunggal kan? Jadi pasti akan ada rasa kehilangan kalo salah satu ada yang pergi." Gumam Rifan.

"Iya Ayah bener. Yaudah deh, aku ke kamar dulu ya mau mandi dan siap-siap sholat Magrib."

Keduanya mengiyakan apa yang di katakan anak remaja mereka. Sesampainya di kamar yang terletak di lantai dua, Jazira tidak langsung mandi, ia justru membuka sebuah album foto dimana pada album itu terdapat foto-foto orang yang ia sayangi. Jazira mengambil fotonya bersama Sinta yang dulu mereka abadikan saat lulus SMP, rasanya berat sekali harus kembali meninggalkan Sinta.

"Sinta semoga kamu selalu dalam lindungan Allah, Ta. Aku bersyukur sekarang kamu udah mau berjilbab dan mulai berhijrah."

Jazira meneteskan air mata bahagia, ia tidak menyangka kalau sekarang ia bisa berguna untuk orang lain dan bisa membawa pengaruh yang positif juga, terutama untuk orang-orang di sekelilingnya.

Memang benar yang pernah di katakan seseorang kalau persahabatan itu layaknya akar, tidak terlihat namun sangat berguna. Layaknya matahari yang selalu bersinar tanpa di pinta, juga seperti sepasang sayap yang apabila satunya patah maka yang satunya tidak bisa berfungsi.

Jazira ingin selalu menjadi sahabat yang bisa saling melengkapi dengan Sinta. Menjadi sahabat yang juga mampu menuntun satu sama lain menuju jalan kebaikan, dan akan di persatukan kembali surga-Nya.

***















Sebagian Bab sudah di hapus.
Novel JAZIRA sudah bisa di pesan via Shopee @jaksamedia.

Oh ya, jangan lupa mampir dan baca Spin-off cerita ini yang berjudul LEMBAR KISAH!

Jazakumullahu khairan...

✨🌥

JAZIRA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang