Bab 18

31.3K 1.7K 30
                                    

Saat ini Jazira berada di dalam taksi yang membawanya menuju pesantren. Setelah kembali ke ibu kota karena liburan yang di berikan oleh pihak pesantren, kini saatnya ia kembali untuk menimba ilmu yang lebih banyak lagi. Jazira memilih naik taksi daripada merepotkan pihak pesantren yang harus menjemputnya di Bandara.

Jalanan tampak macet mungkin karena ini hari Senin, jadi banyak orang yang berlalu lalang sehingga menimbulkan kemacetan. Gadis bergamis hitam itu menatap ke luar jendela mobil, ia melihat seorang kakek yang sedang berjualan kerajinan tangan dari anyaman bambu.

"Pak di depan berhenti dulu ya sebentar."

"Loh kenapa Mbak? Ini kan masih jauh."

"Ada yang mau saya beli Pak."

"Oh baik."

Mobil yang di kendarai sopir itu berhenti tepat di depan si kakek penjual kerajinan tangan itu. Jazira segera turun dari taksi dan menghampiri kakek itu.

"Assalamu'alaikum Kek." Sapa halus gadis itu dengan senyuman yang terus mengembang.

"Wa 'alaikumsalam neng, ada yang bisa di bantu?" Ucap si Kakek yang usianya sekitar 70 tahunan.

Jazira terdiam menatap wajah yang sudah penuh keriput di hadapannya saat ini, kakek itu sudah tidak pantas berjualan seperti ini. Jazira terus bertanya-tanya di dalam hati. "Ke mana keluarga kakek ini?"

"Ini anyaman bambunya berapaan, Kek?"

"Harganya 15 ribu neng."

"Ini kakek yang bikin sendiri?"

"Iya neng ini kakek sendiri yang bikin, maklum kalau hasilnya jelek dan kurang rapi." Kakek itu tertawa kecil menunjukkan giginya yang sebagian telah hilang alias ompong.

"Masya Allah ini bagus banget loh Kek, aku aja suka banget sama anyaman ini." Jazira memilah-milah anyaman itu.

"Terima kasih atas pujiannya neng, kakek senang kalo ada orang yang bisa menghargai orang lain."

"Nama kakek siapa?"

"Umar."

"Rumah kakek dimana?"

"Kakek gak punya rumah neng."

Jazira terkejut bukan main mendengar pernyataan kakek Umar. "Terus kakek tinggal dimana? Kalo tidur dimana?" Mata Jazira berkaca-kaca melihat kakek Umar.

"Kadang kakek tidur di Masjid sekalian bersih-bersih, tapi kadang juga kakek tidur di emperan toko."

Kakek Umar masih tersenyum, ia tidak ingin menjadi lemah di hadapan manusia karena cukup Allah saja yang mengetahui betapa pedih penderitaannya selama ini. Hati siapa yang tidak tersentuh mendengar apa yang di ucapkan oleh seorang kakek tua penjual anyaman bambu ini?

Di usia yang seharusnya ia sudah fokus menikmati hidup dan memperbaiki diri, kakek Umar justru masih di sibukkan dengan urusan dunia untuk menyambung hidupnya. Lagi dan lagi, yang terbesit di pikiran gadis berkerudung panjang itu adalah, "Dimana keluarga kakek ini?"

"Maaf Kek, memangnya keluarga kakek ke mana?"

Kakek itu tertunduk, senyuman di wajahnya memudar. Ia terlihat tidak setegar beberapa menit yang lalu, ada luka yang terlihat jelas di kedua sorot matanya.

JAZIRA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang