1

1.7K 155 28
                                    

Aku pernah menyayangi seseorang. Seseorang yang bukan anggota keluargaku. Seseorang yang pernah hadir mengisi dan mengusik hari-hariku dengan sapaan, senyuman, candaan, kebahagiaan hingga makian, siksaan, kepedihan, dan penyesalan. Seseorang yang senang menjungkirbalikkan hatiku hingga aku kacau balau. Seseorang yang bisa kusebut, kacau pula--oleh sebab hal-hal yang tidak dapat kuyakini dengan pasti. Bagaimanapun aku tetap menyayanginya. Bahkan mungkin, mencintainya.

Waktu itu aku sudah menyadarinya. Pun dia. Yang tidak menolak ataupun menerima perasaanku dengan gamblang. Dia adalah definisi sejati dari warna abu-abu kesukaanku. Kombinasi hitam dan putih. Dia bagaikan kontradiksi berjalan yang jalannya pincang atau melenggak-lenggok tanpa arah dan tujuan. Bukan hanya terkait perasaan tapi dalam begitu banyak hal. Begitupun aku. Kami sama meskipun nyatanya tidak juga.

Awalnya aku membencinya. Ralat, aku sangat benci padanya. Perempuan gila yang suka berbuat seenak jidatnya--seenak udelnya. Perempuan kejam yang rutin membuli orang-orang sekitarnya, yang tidak peduli dengan perasaan mereka. Termasuk aku.

Ya. Aku adalah salah satu obyek buliannya. Dan aku membencinya karena itu.

Aku membencinya karena ketidakmengertian diriku atas dirinya. Aku membencinya karena ketidakpahamanku atas tindakannya. Aku membencinya karena ketidakpekaanku atas egonya. Dan aku membencinya karena beberapa bulan semenjak aku membencinya, aku justru terlibat hubungan beracun dengannya. Hubungan yang biasa terjalin di antara dua manusia yang entah sangat saling membutuhkan, atau justru menghancurkan.

Aku membenci kami. Terutama dia.

Dan kebencianku itu tentu saja menjadi landasan serta konsekuensi mutlak dari kecintaanku yang gila padanya; si perempuan gila.

*

"Hoi, leh kenalan???" ajaknya suatu waktu seiring dengan tepukan keras di pundakku.

Astaga. Aku membatin kaget lalu menoleh. Berdiri di depanku seorang perempuan manis sebaya denganku. Masih sedikit kaget aku pun menyodorkan tanganku untuk dia jabat. "Puti."

"Hah, serius lo? Semacam, warna gitu??" Dia bertanya dengan raut yang dibuat-buat.

Aku mencoba tersenyum mengklarifikasi, "Puti tanpa huruf h."

Dia hanya ber-O-ria mengabaikan jabat tanganku. Kalau kuperhatikan, dia tampak baik-baik saja. Sampai opiniku berubah ketika dia tiba-tiba menyelidikiku dari atas ke bawah dengan sorot mata yang kurang ajar. Sontak aku pun menurunkan tanganku yang mulai berkeringat, mengelapnya ke bagian samping rokku.

"Lo siapa?" tanyaku kemudian. Sebenarnya aku malas menanyakan balik, mengingat dia yang tidak merespon tanganku. Tapi karena dia masih berdiri di sini, berhadapan denganku, aku pun mau tidak mau mencoba bersikap sebaik mungkin. Meski semestinya dia dapat menangkap raut kesal di wajahku. Lagipula, hari yang baik harus diakhiri dengan baik.

"Nama lo jelek amat. Hah." ujarnya tergelak. "Untungnya muka lo mayanlah." Bukannya menjawab dia malah menghina nama pemberian orang tuaku dengan lengkungan bibirnya yang sinis. Aku pun spontan menjauhinya.

Aku tidak suka meladeni orang yang tidak sopan. Faktanya, baru kali ini aku bertemu dengan orang yang tidak sopan seperti dia. Yang kukenal saja, tidak. Jadi, daripada aku tersulut emosi maka kuhindari saja dirinya. Tidak penting.

Baru tiga langkah seketika aku merasakan dorongan di balik punggungku. Hampir aku terjatuh. Asu, aku mengumpat pelan. Nyaris tidak terdengar.

Tapi ternyata dia mendengar.

"Asu, asu. Siapa yang asu?" tanyanya mengintimidasiku. Aku masih belum menjawab.

"Gue maksud lo?" Dia menunjuk ke dadanya dan terkesan tidak sabar mendengar suaraku.

Aku menggigit bibir bawahku dan menatapnya dengan seksama. Menilai apakah dia sedang berkelakar atau serius. Dia lalu menengadahkan kedua telapak tangannya sambil membuka mulut, seolah berkata, Helloow. Sepertinya pertanyaan yang diajukannya tadi serius.

"Kalau iya, kenapa?" Akhirnya aku menantangnya. Dia kira hanya dia yang bisa menindasku. "Lagian lo siapa sih, daritadi sibuk gangguin gue mulu?" Tambah-tambah, aku mencoba membela diriku. Tidak tahan juga aku diperlakukan seperti ini. Pertama kali seumur hidupku.

Dia hanya diam menatapku. Kerutan di dahinya membuatku muak. Seakan-akan aku makhluk aneh di antara kami berdua. Padahal dia lah yang aneh.

Tidak ada orang di sini selain aku dan manusia aneh satu ini. Orang-orang sudah beranjak pulang. Dan aku pun juga seharusnya sudah tiba di rumah kalau saja manusia aneh yang belum kuketahui namanya ini tidak menahanku sedari tadi.

Aku bingung harus melakukan apa lagi. Kini dia yang bungkam dengan pernyataanku. Tapi entah bagaimana, matanya yang sekarang terasa menusukku begitu dalam. Sehingga aku menjadi takut hanya untuk membalas tatapannya. Di sini sepi dan aku perlu berhati-hati. Karena aku tidak mau perempuan gila ini melakukan sesuatu yang tidak mampu kuprediksi. Akhirnya aku pun lari.

Sialnya, dia juga berlari mengikuti.

Asu.

P u t i ( h )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang