2

956 123 23
                                    

Aku suka memperhatikan kedua lesung pipitnya saat dia tertawa lepas. Sekalipun dia sudah sering menampilkan itu. Kalau aku sudah menunjukkan ketertarikanku itu dengan tatapan penuh hasrat--yang biasa orang-orang sebut dengan istilah mupeng/nepsong/engas(?)--biasanya dia hanya akan menghentikan tawanya lalu melanjutkan ke topik pembicaraan kami yang lain.

Tapi sekali waktu, pernah dia dengan raut wajahnya yang menggemaskan, menekankan masing-masing ujung telunjuknya ke pipinya--sebagai reaksi atas sikap mupeng/nepsong/engas-ku itu--lalu dia putar sejenak dan dia tempelkan di pipiku yang tidak memiliki lesung pipit sama sekali itu.

"Untuk apa?" tanyaku, saat pertama kali dia perlakukan seperti itu. Kedua telunjuknya masih menekan pipiku semakin kencang.

"Supaya lo kebagian dan nggak sirik sama pipi gue." jawabnya santai.

Aggh. Tidak tahan, kukecup bibirnya secepat kilat. Cup.

Dia sontak memundurkan badannya. Tampak kaget, namun berusaha menetralkan diri. Menatapku yang masih menatapnya penuh hasrat--sekaligus harap--dia mengangkat daguku dengan jari jempol dan telunjuknya. Memiringkannya ke kiri dan ke kanan seolah aku adalah benda yang hendak dia beli. Quality check?

Aku termangu menunggu. Kira-kira apa yang akan dia lakukan?

Apapun itu, aku rela dia berbuat apa saja padaku!

"Ck. Belum waktunya." Hanya itu yang terlontar dari bibir manis dan penuhnya. Aku kecewa.

Dia berdiri lalu membuka pakaiannya di hadapanku. Menyisakan bra dan celana dalamnya yang senada; nude pink.

Tentu aku tidak menyia-nyiakan pemandangan tersebut. Dan aku pun tahu kalau dia tahu betapa aku menyukai pemandangan itu; bentuk tubuhnya. Dia memang senang menyiksaku.

"Cantik nggak?" tanyanya sembari melihat pantulan dirinya di cermin. Bergaya layaknya seorang model majalah dewasa. Aku semakin tidak tahan. Dan dia teramat sadar dengan kelemahanku itu.

"Sempurna." jawabku tak berkedip.

Dia mencubit sesuatu di perutnya yang kurasa bukan apa-apa--maksudku bukan lemak--tapi berlagak seolah-olah perutnya berlemak. Dia mengeluh mengatakan betapa gendut dirinya. Betapa menyesal dia. Berikrar bahwa dia tidak akan memakan burger lagi--yang padahal terakhir dia makan dua hari lalu.

Seketika aku ingin memaki.

Tetapi tidak, karena aku sayang. Jadi aku hanya bilang, "Lo ga gendut, lo langsing, lo cantik, lo menarik, lo seksi. Lo sempurna. Titik. Ga ada koma." Tatapanku masih sama; mupeng/nepsong/engas.

Dia tersenyum kepadaku. Sungguh manis. Lebih daripada gula yang dikerumuni semut-semut. Dan aku ingin mengerumuninya seorang diri.

"Pinjem baju lo, ya?" pintanya kemudian, membuyarkan lamunanku.

"Ambil aja."

Dia lalu berjalan ke arah lemariku. Mencari-cari pakaianku entah yang model apa. Beberapa menit kemudian dia mendapatkan apa yang dia mau.

"Mau ke mana?" Aku bertanya sebab dia memilih pakaian yang cukup rapi.

"Ke mana aja asal bukan di sini." Dia menjawab sambil mengenakan pakaianku tersebut.

Mendengar itu aku pun berdiri menuju lemariku dan membalas. "Ikuuuut."

"Eum.. jangan deh..." ucapnya pelan, dan terkesan manja.

Aku menghentikan aktivitasku dan menoleh ke arahnya. "Kenapa?"

Dia menatap ke lantai sambil memainkan ujung rambutnya, "Eum.. gue bosan ngeliat muka lo mulu."

Sialan. Bukan hanya sekali dia datang kepadaku hanya untuk mencampakkanku seperti ini. Aku kesal dengan tabiatnya.

"Bodoamat. Gue juga mau keluar." Akhirnya aku menjawab ketus. Tiba-tiba aku ingin keluar walau tanpa dirinya.

Kalau biasanya aku pura-pura bersikap tak acuh--stay cool--jika dia mulai memperlakukanku seperti barusan, maka sekarang aku menunjukkan bahwa aku merajuk.

"Ngapain?"

"Ngapain aja lah."

"Eh, serius ini. Ngapain?"

"Ketemu Tessa." Aku baru ingat kalau aku juga punya proyek yang harus kukerjakan bersama temanku itu. Jadi alasan ini bukan bualan semata sebenarnya. Lagipula, peduli apa dia jika aku berbohong atau tidak.

"Di mana?"

"Di rumahnya."

"Ngapain?"

"Garap video."

"Video apa?" Kenapa dia? Tiba-tiba tertarik dengan aktivitas yang akan kukerjakan.

"Vlog buat channel YouTube dia."

"Lo bantu ngapain emang?"

"Ga tau. Gue jadi narsum yang jelas."

"Bahas tentang apa?"

"Entahlah, apa aja, terserah dia. Mau bahas tentang kodok kek, perubahan iklim kek, aborsi, harga skin care, Wiranto kek, apalah itu, gue ga tau. Dan juga, itu bukan urusan lo." jawabku dengan nada tinggi.

Dia memandangku dengan takjub. Entahlah, setidaknya aku menangkapnya begitu. Padahal aku sedang marah tapi dia malah tersenyum. Menggelengkan kepala sambil mengambil tasnya dari gantungan di dinding kamarku. Seketika aku jadi menyesal sudah berkata kasar.

"Maaf." kataku, melihat punggungnya yang bergerak menjauh. "Maaf.."

Dia membalikkan badan lalu berjalan kembali kepadaku yang sedang terduduk di atas tempat tidur. Menatapku sejenak, dia lalu menunduk mengecup pipiku--menyisakan sebuah bunyi yang menggoda--dan berkata,

"Nggak perlu. Gue senang dan bangga dengan elo." ucapnya masih menunduk, mencubit pelan kedua pipiku--memperlakukanku seolah-olah aku anak kecil yang butuh disemangati.

"Kenapa?" Ayolah. Kuharap dia tidak jadi pergi. Kuharap dia tinggal di sini bersamaku, atau pergi ke tempat Tessa bersamaku. Menemaniku.

Dia mengedipkan sebelah matanya, "Akhirnya lo punya teman selain gue." Dia lalu berjalan meninggalkanku dengan senyumannya yang mengembang. Meninggalkanku yang terdiam atas ucapannya barusan.

Fakta bahwa aku selalu bersamanya akhir-akhir ini, menyentak tembok kesadaranku dengan cara yang menyedihkan.

Aku menyedihkan; terus-terusan mengekor di belakangnya menuntut pembalasan.

Sebelum menutup pintu kamarku, dia menitip pesan untuk papaku:

"Bilangin sama om Dhanu gue ga bisa nemenin dia main ping pong malam ini.

Atau besok, lusa, seterusnya."

Belum sempat aku mengucapkan sesuatu, dia sudah benar-benar lenyap dari pandanganku. Dari kamarku. Aku penasaran dengan maksud perkataannya, tapi entah mengapa kakiku terlalu lelah untuk mengejarnya--bahkan menggeserkannya saja aku keberatan.

Apakah ini artinya dia tidak ingin berteman lagi denganku? Apa dia sudah bosan berteman denganku?

Atau sebenarnya dia juga merajuk--sama sepertiku?

Rasanya aku ingin dia kembali menjadi menyebalkan seperti dulu.

Tidak. Karena sekarang dia jauh lebih menyebalkan.

P u t i ( h )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang