"You held the balance of the time
That only blindly I could read you
But I could read you
It's like you told me
Go forward slowly
It's not a race to the endWell you look like yourself
But you're somebody else
Only it ain't on the surface
Well you talk like yourself
No, I hear someone else though
Now you're making me nervous"*
Melalui earphone murahan ini, aku mendengarkan sebuah lagu yang terus terngiang-ngiang di telingaku semenjak aku memulai aktivitas hari ini. Entah sudah berapa puluh kali. Setengah jam berlari non-stop di lapangan dekat rumahku ini belum membuatku lelah. Justru aku menjadi semakin semangat berlari. Aku bersemangat walaupun lagu yang kuputar sungguh, apa kata yang tepat, pilu? Lesu? Biarlah, yang penting aku bersemangat mengeluarkan racun-racun dalam tubuhku yang diakibatkan oleh perempuan gila itu.
Bukan bermaksud menyalahkannya atau bagaimana--baiklah, dia memang patut disalahkan--tapi aku jadi berani mengonsumsi minuman keras dan mengisap rokok karenanya. Karena dia aku jadi mempertaruhkan kesehatan dan cita-citaku sebagai atlet lari. Karena dia...
Dia membuatku mencoba hal-hal baru yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Bahkan menginginkannya saja aku tidak. Tapi demi dia, aku melakukan itu semua. Tanpa dia memintanya...
Mungkin ambisiku untuk terlihat keren di matanya telah merabunkan mataku sendiri. Aku rela menjadi minus demi terlihat plus olehnya. Tapi faktanya, dia hanya mempermainkanku.
Aku berlari dan terus berlari, hingga tak terasa 45 menit telah terlewati. Akhirnya aku berhenti, bukan karena aku ingin berhenti tapi oleh sebab kondisiku yang sudah tidak memungkinkan lagi. Aku membungkukkan badan dan menekankan telapak tanganku pada lutut. Deru nafasku yang tersengal-sengal dan bertalu tanpa jeda mengiringi sekujur tubuhku yang telah bermandikan keringat. Jika sebelum-sebelumnya aku mampu berlari satu hingga satu setengah jam, maka kuakui kali ini aku melemah. Kepalaku terasa berat dan pandanganku mulai gelap, dan sebelum aku pingsan dengan pose mengenaskan di pinggir lapangan ini, aku sudah terlebih dulu membaringkan tubuhku di atas rumput gersang di dalamnya.
Aku terlelap. Begitu tenang, begitu damai. Hingga kemudian aku..
Memimpikan dia. Si perempuan gila. Aku gila.
Hahahahahahahahahah. Kenapa dia suka sekali tertawa? Menertawaiku. Bagaimanapun, aku ikut tertawa melihatnya tertawa. Aku tahu ketika aku sedang tertawa mataku akan menyipit membentuk garis lintang, dan tawanya akan semakin menjadi-jadi karena itu. Tapi..
Kini dia malah marah. Matanya melotot, dan tawaku memudar.
Tiba-tiba aku merasakan air membasahi wajahku. Apakah aku sedang memimpikan hujan? Hujannya terasa aneh dan, panjang. Tidak putus-putus. Apa aku bermimpi menangis?
Ternyata aku tidak lagi bermimpi. Kini di atasku telah berdiri tegak seorang perempuan gila yang telah mengaku menyayangi milikku sebagaimana itu miliknya sendiri. Bibirku terlalu kelu untuk bercerita tentang itu. Hatiku terlampau sakit mengingatnya..
KAMU SEDANG MEMBACA
P u t i ( h )
RomanceAku pernah menyayangi seseorang. Seseorang yang bukan anggota keluargaku. Seseorang yang pernah hadir mengisi dan mengusik hari-hariku dengan sapaan, senyuman, candaan, kebahagiaan hingga makian, siksaan, kepedihan, dan penyesalan. Seseorang yang se...