6

734 95 20
                                    

Hari ini melelahkan. Bukan karena aku harus berlari mengitari taman sekitar sekolah sebanyak lima kali untuk memenuhi prasyarat ujian praktik olahraga. Itu sudah jadi rutinitasku sekalipun tidak ada mata pelajaran tersebut. Aku lelah sebab aku mesti menghadapi sikap Mia yang tidak jelas. Paginya kami berinteraksi seperti biasa saat jam istirahat pertama--kami berbeda kelas, ngomong-ngomong. Lalu menjelang siang istirahat kedua tiba-tiba dia uring-uringan padaku. Kuajak makan siang bersama, dia malah meneriakiku di depan teman-teman sekelasnya.

"Jangan ngekorin gue mulu yaelah!!" bentaknya padaku saat itu dengan raut wajahnya yang, berbeda. Masih terekam jelas di kepalaku hingga kini. Meninggalkan perih yang kekal.

Aku tidak mengerti kesalahan apa yang telah kuperbuat padanya. Dan apa? Mengekorinya? Tidak ingatkah dia bahwa selama ini dirinya lah yang selalu mengikutiku ke mana pun aku pergi? Sampai aku terbiasa dengan keberadaannya, sampai aku nyaman menjadi salah satu orang terdekatnya di sekolah, sampai aku...

memiliki perasaan yang tidak patut kepadanya.

Mendapat perlakuan seperti itu, aku lekas pergi dari kelasnya tanpa meresponnya lebih lanjut. Aku terlalu malu. Dia telah mempermalukanku. Padahal bisa saja dia menolakku dengan halus tanpa bentakan. Bahkan teman-temannya yang sedang mengerubunginya di kelas itu hanya menatapku datar. Seolah apa yang telah dia teriakkan padaku adalah hal yang wajar.

Sekembalinya di kelas, aku memutuskan untuk tidak makan siang.

*

Sebelum pulang ke rumah, aku buru-buru mengganti pakaian sekolahku di ruang ganti / toilet sekolah, lantai III paling pojok. Ada tiga toilet di lantai III ini, tapi aku memilih yang pojok karena jarang ada orang mau ke sana. Angker katanya. Tapi aku tidak begitu percaya dengan hal-hal mistis. Toh, aku memilihnya justru karena sepi dan tidak perlu mengantre. Dan aman.

Aman dari orang-orang yang akan membrondongiku dengan berbagai macam pertanyaan:

"Kok ga masuk kelas terakhir tadi, Put?"
"Ke mana lu, Put?
"Eh, mulut lu kok bauk rokok yah?"

Urgh.

Makanya aku tidak mau masuk ke toilet di samping kelas. Dengan rekam jejakku sebagai siswi yang rajin dan pintar, teman-temanku pasti akan kebingungan mendapatiku tidak ada di dalam kelas saat mata pelajaran terakhir tadi. Aku tidak memberitahu siapapun di kelas itu. Bahkan Zeti, teman sebangkuku. Aku hanya mengiriminya SMS pada detik terakhir pembelajaran agar meletakkan tasku di lantai dekat toilet pojok--selagiku masih di gudang. Awalnya dia balik SMS menanyakan keberadaanku dan menolak melakukan hal yang kuminta karena takut. Tapi setelah kuiming-imingi donut kesukaannya, dia pun tidak lagi bertanya dan mengiyakan.

Dasar manusia jaman sekarang, manusia pamrih! Tapi aku pun menyadari bahwa aku sendiri sebagai pihak yang menyogok, tidak lebih baik dari temanku itu. Apa mau dikata.

Sebelumnya, saat bel berdentang usai istirahat kedua tadi, saat itulah aku keluar kelas. Bukan untuk makan. Terlalu telat dan aku sudah tidak lapar akibat moodku yang kacau berantakan diusik Mia. Sengaja menuju kelas Amjad, teman lelakiku yang beda kelas. Menunggunya sebentar di depan pintu.

Saat batang hidungnya tampak, saat itulah aku langsung mendekatinya. Kubisikkan padanya kalau aku butuh rokok. Amjad kaget. Tapi dia lekas menetralkan rautnya. Lalu tersenyum dan mengajakku ke tempat sepi: gudang yang terletak di atas--di mana kami perlu menaiki sedikit tangga untuk masuk ke dalamnya.

Amjad adalah teman baikku. Tidak bisa dikatakan teman dekat pula, hanya teman baik. Hubunganku dengan dia agak aneh. Kami sudah mengenal satu sama lain sejak SMP, satu kelas terus dari kelas satu hingga kelas tiga. Meskipun intensitas hubungan kami dapat dikatakan tidak begitu intens, namun karena beberapa hal--mulanya kerja kelompok bareng lalu sama-sama mengikuti klub lari ketika kelas dua--aku menjadi tertarik padanya. Begitu pula dia. Dia yang suka memperhatikanku tanpa banyak bicara. Aku nyaman ketika bersamanya. Walau begitu tidak pernah ada kata cinta di antara kami. Barangkali ketertarikan kami hanya berputar dalam konteks kekaguman dan rasa hormat. Ya, aku mengagumi dan menghormatinya. Dia cowok yang baik, perhatian, keren, dan paradoks. Makanya aku berani meminta rokok padanya.

Dan aku tahu, untuk hal ini dia tidak akan iseng bertanya alasannya. Malah dia hanya menawarkan, "Mau gue temenin?" Aku menggeleng dan menyuruhnya kembali ke kelas. Kujelaskan padanya bahwa aku sedang ingin sendiri, dan ingin coba merokok. Dan gudang ini--yang sudah lama tidak berpenghuni--sepertinya cocok menjadi tempat persembunyianku, sebagaimana tempat persembunyiannya selama ini. Akhirnya dia meninggalkanku bersama sebungkus rokok berisi empat batang miliknya, sambil berkata, "Jangan sampai ketahuan."

Ya, jangan sampai ketahuan. Itulah mengapa aku menuju toilet ini usai dari gudang dan bel tanda waktu sekolah berakhir berdentang. Usai aku menghabisi rokok temanku itu sambil melamunkan kekosongan. Tampak tas ranselku tergeletak dengan posisi yang kurang elok, di mana aku yakin Zeti hanya melemparkannya dari jarak empat meter dari lorong sana karena ketakutan. Tapi tidak masalah. Besok aku akan menepati janjiku padanya.

Setelah pakaianku telah berganti dengan setelan olahraga tadi pagi, aku langsung berkumur-kumur di depan wastafel. Bau rokok masih belum hilang waktu aku membuang napasku di tapak tangan. "Sial!" reflekku mengumpat. Aku takut ketahuan Papa saat pulang ke rumah nanti. Kebiasaan kami berpelukan setiap berpisah dan bertemu kembali, membuatku waswas hari ini. Termenung beberapa lama di depan kaca wastafel, aku pun mendapatkan ilham. Ya, aku hanya perlu membeli permen mint di koperasi.

Bodoh. Begitu saja aku sampai harus berpikir keras.

Tidak terasa sudah setengah jam lebih berlalu sejak jam sekolah berakhir. Aku langsung mengenakan ranselku dan bergegas keluar. Aku tidak punya alasan pada Papaku untuk telat pulang hari ini.

Melangkahkan kakiku keluar toilet, alangkah kagetnya aku tiba-tiba melihat perempuan itu sejauh empat langkah di depanku. Jantungku serasa mau copot.

Mia juga berhenti dan menatapku lekat. Aku yang mulanya agak terlena, segera tersadar oleh sikapnya tadi siang. Aku jadi enggan balik menatapnya, hendak melewatinya saja di lorong sempit ini tanpa membuang sepatah kata. Hendak menunjukkan kemarahanku dengan cara yang elegan. Biar dia tahu diri.

Tapi kehendakku itu ternyata tidak mampu kulaksanakan. Sebab saat aku berjalan dan sudah berdiri tepat di sampingnya--berdempetan di lorong sempit sialan ini--tanpa rasa bersalah dia tiba-tiba menarik lenganku, membawaku kembali ke dalam ruangan toilet pojok tadi.

Tanpa menutup pintu, dia langsung mendorong kasar tubuhku ke dinding. Baru sedetik aku membuka mulut untuk meracau akibat rasa nyeri pada punggungku, saat itu pula dia membungkamnya dengan bibirnya. Sembari belakang kepalaku dia tekan--semakin mengikis jarak di antara kami.

Bibirnya yang ranum rakus menjamahi bibirku yang pasif--bingung harus merespon seperti apa. Yang kutahu mataku sudah tertutup, terlalu takut melihat kenyataan di depan. Otakku seketika tak berfungsi sebagaimana mestinya, dan tubuhku membeku. Membuat Mia tambah gencar memasuki rongga mulutku dengan lidahnya yang mengajak ribut punyaku. Tanpa berusaha melawan, aku pun perlahan menikmati kericuhan kecil itu.

Ruang toilet pojok di lantai III ini pada akhirnya menjadi saksi bisu abadi atas tindakan tak senonoh perempuan itu padaku. Dan awal mula dari segalanya.

Baru aku sadari arti kata angker dalam hal ini.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 03, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

P u t i ( h )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang