Tubuh yang semakin hari semakin kurus itu terlihat begitu damai di pembaringannya. Wajah pucat pasi itu terlihat tanpa beban terpejam di atas kasurnya. Dengan ritme napas yang teratur dadanya bergerak naik turun dengan perlahan.
Kini tak ada lagi rasa sakit itu. Tubuh itu benar benar tampak begitu kelelahan. Pejamnya masih erat meski saat ini ada sosok lain dalam kamarnya.
Sosok itu begitu intens memperhatikan tubuh remaja 15 tahun yang terbaring di atas kasur kamarnya. Gerakan dadanya yang mengalun teratur membangkitkan senyuman di wajah sosok pemuda itu. Akan tetapi, senyum itu sarat akan kebencian.
Gatra, nama pemuda 15 tahun yang tengah lelap tertidur itu. David masih terus memperhatikan tubuh itu.
"Terlihat lemah dan tidak berguna sedikitpun. Bukankah lebih baik mati saja?" itu suara hati David.
"Hidupmu terlalu menyusahkan, bukan?" gumam David yang kini sudah terduduk di sisi ranjang tempat Gatra terbaring.
Tangannya bergerak ke sisi lain, meraih sebuah bantal yang semula berada di sisi kepala Gatra. Pemuda itu tak terusik sedikitpun, meski David membuat pergerakan di sampingnya.
Senyum menakutkan itu kembali menghias wajah seorang David. Dengan penuh kebencian tangannya bergerak membawa bantal itu menutup penuh wajah Gatra.
Sontak aksi brutal David yang menutup wajah Gatra dengan kuat membuat pemilik tubuh kurus itu memberontak. Dengan kedua tangannya, Gatra mencekal kuat kedua lengan tangan David yang kuat menekan bantal itu.
Meski tak sempat melihatnya, Gatra tahu sang pelaku adalah David. Napasnya tersengal-sengal. Dada yang beberapa detik sebelumnya terlihat teratur sekarang terlihat tak beraturan. Kakinya bergerak gelisah tak tentu arah. Menendang udara yang enggan masuk ke dalam paru-parunya. Bantal itu menghalanginya.
Tangan kurus Gatra terus mencekal lengan tangan David. Tapi itu percuma. Tubuh yang memang sudah rusak bagaimana bisa melawan sosok David yang notabenenya lebih kuat dari dirinya? Perlahan genggaman eratnya mengendur. Pasokan udaranya sudah benar-benar habis. Meski tahu, David tak peduli. Kebenciannya begitu besar.
Saat kedua tangan Gatra terkulai lemas lepas dari lengan tangannya, David mengangkat bantal itu dan membuangnya asal. Lagi-lagi sebuah senyuman terbit dari wajah berahang keras itu. Meski sosok yang ia benci itu sudah tak berdaya dihadapannya, rasanya belum cukup bagi David.
"Ini belum seberapa dari apa yang gue rasain sekarang, Gatra."
"Lo tenang aja, gue nggak akan bunuh lo. Karena gue lebih suka lihat lo menderita daripada tenang di alam kubur lo," senyum itu mengembang kembali.
David memutar tubuhnya bangkit dari duduk dan meninggalkan sosok tak berdaya itu begitu saja. Entah masih sadar atau sudah pingsan. Sekali lagi David tak berpeduli, yang terpenting dia puas untuk malam ini.
YOU ARE READING
Same (End)
Teen FictionIni tentang remaja lelaki bernama Gatra, seorang penderita leukemia limfoblastik akut. Dia hanya tinggal berdua dengan sang ibu. Sampai suatu hari ada sebuah fakta yang terungkap, dan fakta itulah yang membuat Gatra dibenci seseorang. Great cover by...