Musim menuai hampir tiba. Sawah menguning terhampar sedap dipandang mata. Anak-anak bertelanjang dada berlarian sambil menjeritjerit mengusir burung-burung pengganggu padi mereka. Kegembiraan yang seharusnya datang manakala musim menuai padi hampir tiba. Seharusnya dunia yang ceria tergambar jelas saat itu. Tapi hanya manusia-manusia serakah dan tamak saja yang membuat dunia ini jadi murung bersimbah darah dan air mata.
Keceriaan anak-anak itu tidak dapat dirasakan oleh orang tua mereka. Para petani yang lelah sehabis mengolah sawah ladang, hanya bisa duduk lesu di dangau. Wajah mereka murung dengan tatapan sayu, memandangi sawah yang terhampar luas. Suasana yang amat kontras ini tidak luput dari perhatian seorang pemuda yang sejak tadi duduk di atas batu.
Pemuda itu berpakaian rompi dengan pedang tersampir di punggung. Matanya memandang ke arah anak-anak yang ceria, lalu beralih ke arah petani yang duduk di dangau-dangau dengan wajah lesu tanpa gairah. Beberapa di antaranya duduk berkelompok membicarakan sesuatu. Pemuda yang masih duduk di batu besar itu, ternyata adalah Rangga. Rambutnya yang panjang seperti berkibar-kibar dipermainkan angin. Perhatiannya terus ke arah dangau-dangau, sementara air sungai yang mengalir di bawahnya terus saja beriak seperti tak peduli dengan suasana sekitarnya.
"Seharusnya mereka gembira karena sebentar lagi akan memetik hasil jerih payah mereka. Tapi, mengapa mereka seperti tidak gembira?" Rangga bergumam lirih.
Mata Pendekar Rajawali Sakti kini beralih memandangj wanita-wanita yang tengah mencuci di sungai, tidak jauh dari tempatnya. Wajah mereka juga tidak menggambarkan kegembiraan sama sekali. Tidak ada canda tawa sebagaimana layaknya. Bibir Rangga tersenyum ketika mendengar dua gadis berceloteh sambil melirik ke arahnya.
"Ratih, tampan juga ya?"
"Siapa?" tanya wanita muda berambut panjang yang ternyata bernama Ratih.
"Itu tuh, yang duduk di batu." Ratih menoleh ke arah Pendekar
Rajawali Sakti. Pada saat yang sama, Rangga atau Pendekar Rajawali Sakti tengah menatap ke arahnya. Sesaat mata mereka bertemu. Cepat-cepat Ratih memalingkan wajahnya.
"Lho, kok wajahmu jadi merah?"
"Sudah, ah. Tidak usah bicara itu lagi, Komala."
"Naksir ya?" desak Komala menggoda.
Ratih hanya tersenyum tersipu. Dari sudut matanya, dilirik Rangga yang masih tetap memandangnya. Mendadak seluruh darahnya seperti membeku. Jantungnya berdebar lebih keras dari semula.
"Ah, dia memang tampan seperti seorang pangeran. Tapi..., apa iya sih, seorang pangeran mau pakai baju seperti itu?" Ratih berbisik dalam hati. Beberapa kali tatapannya tertuju pada Rangga lewat sudut ekor matanya.
Tanpa disadari, rupanya Komala memperhatikan sejak tadi. Dia hanya tersenyum melihat Ratih yang salah tingkah. Ratih memang gadis paling cantik di antara gadis-gadis lain di Desa Ganggang ini. Apalagi dia anak seorang kepala desa. Jelasnya, Ratih bagaikan sekuntum bunga mekar di antara bunga-bunga yang telah layu.
"Pulang, yuk. Lihatlah, matahari telah tinggi," ajak Ratih.
Matanya sempat melirik ke arah Rangga duduk. Namun hatinya mendadak terkesiap ketika matanya tidak lagi melihat Rangga di sana. Komala segera bergegas menyusul Ratih yang sudah berada di tepi sungai.
"Ratih..., Ratih, tunggu!" panggil Komala.
"Ada apa, sih?" tanya Ratih seraya berhenti melangkah.
"Dia tidak ada lagi."
"Siapa?" Ratih pura-pura. Tapi matanya segera menatap ke arah tempat duduk Rangga tadi.
"Ah!"
Dua gadis itu jadi melongo karena Rangga seperti lenyap ditelan sungai. Mata Ratih beredar berkeliling, tapi tidak ada tanda-tanda sama sekali kalau Rangga bersembunyi. Setelah yakin tidak ada, segera dia berbalik dan melangkah pergi. Komala mengikutinya dari belakang dengan langkah dipercepat.
Langkah mereka telah sampai di sebuah jalan desa yang menuju ke rumah. Mereka benar-benar mempercepat langkahnya bagai habis melihat setan saja. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulut mereka. Semuanya bisu. Tapi tiba-tiba saja langkah mereka berhenti ketika mencapai tikungan jalan. Di sana, Rangga tengah berdiri membelakangi.
"Ratih...," Komala mengkeret ketakutan berlindung di belakang Ratih.
Ratih memandang punggung Rangga yang berdiri membelakanginya. Pelan-pelan pemuda ini berbalik. Rangga kelihatannya sedikit terkejut ketika melihat ada dua gadis berdiri di belakangnya.
"Oh, maaf. Apakah aku menghalangi jalan kalian?" lembut dan sopan suara Rangga terdengar.
"Kalau merasa, silakan minggir,"
agak ketus suara Ratih menyahut.
Rangga hanya tersenyum saja. Dia melangkah mendekat dan berhenti sekitar tiga langkah di depan Ratih. Dalam hati, dikagumi juga kecantikan gadis ini Ratih sedikit risih dipandangi seperti itu. Dibenahi kainnya yang menutupi bagian bahu dan dadanya. Namun kain itu tidak bisa menyembunyikan kulit putihnya di bagian leher dan wajahnya.
"Aku baru datang ke desa ini.
Kalau adik-adik tidak keberatan, boleh minta tolong?" masih terdengar lembut suara Rangga.
Ratih menoleh ke arah Komala.
"Apa nama desa ini?" tanya
Rangga.
"Desa Ganggang," sahut Komala
yangberangsur-angsur hilang rasa takutnyasetelah mendengar suara Rangga yang lembut dan sopan.
"Maaf, kami harus segera pulang," celetuk Ratih.
Buru-buru ditarik tangan Komala, dan melangkah pergi. Rangga tidak mencegah, hanya dipandangi saja dua gadis itu yang telah berlalu. Matanya menatap lekat pada punggung Ratih yang sedikit terbuka.
"Hm...," Rangga menggumam tidak jelas.
Senja baru saja merayap turun ketika sepuluh ekor kuda berderap kencang membelah jalan yang berdebu. Kuda paling depan ditunggangi oleh seorang laki-laki dengan wajah penuh berewok dengan luka gores memanjang di pipi kanan. Pakaian yang dikenakan sangat indah dan mewah. Di belakangnya, sembilan penunggang kuda berpakaian seragam mengikutinya.
Beberapa penduduk yang berada di jalan segera menepi seraya membungkuk ketika kuda-kuda itu lewat di depannya. Mereka terus berpacu cepat meninggalkan debu-debu yang berterbangan di belakangnya. Jelas kalau mereka tengah menuju ke rumah Kepala Desa Ganggang. Rumah itu berada di tengah-tengah desa, dan yang terbesar di antara rumah-rumah lainnya.
Laki-laki codet berewokan yang berada paling depan, segera melompat turun dari kudanya ketika tiba di depan rumah Kepala Desa Ganggang. Lompatannya cukup indah dan ringan, menandakan ilmu peringan tubuhnya cukup tinggi.
"Ki Jagabaya...!" laki-laki codet itu berteriak menggelegar.
Bergegas seorang tua berambut dan berkumis putih keluar dari rumah besar itu bersamaan dengan turunnya kesembilan orang dari kuda masing- masing. Orang tua itu terbungkuk- bungkuk menghampiri para penunggang kuda yang telah berdiri angkuh bertolak pinggang.
"Oh, Tuan Parang Kati. Hamba tidak mengira tuan akan datang begini cepat," parau suara laki-laki tua yang ternyata bernama Ki Jagabaya. Dialah Kepala Desa Ganggang.
Laki-laki codet berewokan yang tinggi lagi angker itu hanya mendengus saja. Langkahnya berat mendekari Ki Jagabaya. Matanya lantas melirik ke sekitarnya. Segera saja beberapa penduduk menutup pintu dan jendela rumah mereka. Dalam sekejap saja keadaan desa menjadi sepi lengang.
"Baginda Prabu Salya memerintahkan agar desa ini segera membayar upeti sekarang juga!" bentak laki-laki codet berewokan yang bernama Parang Kati ini.
"Ah...," Ki Jagabaya ternganga mendengarnya. "Mana mungkin, Tuan. Mereka belum lagi panen, sedangkan...."
"Aku tidak peduli! Baginda Prabu Salya menghendaki sekarang juga kau mengumpulkan upeti!" Parang Kati memotong cepat dengan suaranya yang berat menggelegar.
"Tapi...."
"Mau coba-coba membangkang heh?!" bentak Parang Kati. "Hih!"
Tanpa memandang siapa yang dihadapinya, Parang Kati melayangkan tangannya.
Plak!
Ki Jagabaya memekik tertahan. Tubuh tua yang kurus renta itu sempoyongan, langsung ambruk dengan darah menetes dari sudut bibirnya.
Baru saja Ki Jagabaya akan bangkit, Parang Kati telah menendangnya. Kembali tubuh tua renta itu terjungkal terguling-guling sejauh dua batang tombak. Betapa kerasnya tendangan Parang Kati, membuat Ki Jagabaya menjadi sesak napas. Matanya berkunang-kunang dengan kepala pening seperti berputar.
"Ayah...!" tiba-tiba terdengar suara jeritan keras.
Ratih berlari kencang menghambur ke arah ayahnya yang menggeletak di tanah. Darah semakin deras mengucur dari sudut bibirnya. Gadis itu segera membantu ayahnya duduk. Dengan ujung baju, disekanya darah dari mulut ayahnya.
"Kejam!" Ratih mendengus geram. Matanya tajam menatap Parang Kati.
Melihat ada gadis cantik di depannya, Parang Kati tertegun dengan jakun turun naik. Lidahnya menjulur menjilati bibirnya sendiri yang tebal. "He he he..., ternyata si tua bangka menyimpan mutiara yang mempesona," Parang Kati terkekeh
seraya menelan ludahnya.
"Huh! Perampok! Kenapa tidak kau bunuh saja kami sekalian?" geram Ratih. Matanya semakin lebar membelalak tajam.
"Ah, rupanya kelinci cantik ini bisa galak juga," goda Parang Kati sambil terus terkekeh.
Sembilan orang yang berdiri di belakang Parang Kati pun ikut tertawa- tawa melihat pemandangan yang justru tidak lucu itu. Mata mereka jelalatan penuh nafsu memandangi wajah cantik Ratih yang memasang wajah garang. Di mata mereka semua, wajah garang Ratih malah semakin cantik menggairahkan. Ditertawakan semacam itu, Ratih semakin mengkelap marah.
"Ratih, jangan...," cegah Ki
Jagabaya ketika putrinya bangkit.
"Huh! Mereka harus diberi pelajaran, Ayah!" dengus Ratih tidak dapat mengendalikan amarahnya.
"Ratih...!"
Gadis itu tidak lagi mempedulikan panggilan ayahnya. Dia telah melangkah mendekati Parang Kati. Tangannya meraih bagian bawah kain dan disingsingkannya. Parang Kati dan kesembilan orang lainnya sempat menahan napas ketika betis putih indah tersingkap. Dan betapa terbelalaknya mata mereka ketika melihat celana pangsi hitam melekat membungkus kaki yang indah itu.
Ratih membelitkan kainnya di pinggang. Selanjutnya tangannya bergerak ke atas menggulung rambutnya yang panjang. Pandangannya tajam kepada Parang Kati yang telah menganiaya ayahnya. Darah gadis cantik ini mendidih bergolak, sehingga tidak peduli lagi siapa yang dihadapinya. Padahal mereka adalah para punggawa Kerajaan Parakan.
Sret, cring!
Tiba-tiba saja Ratih mengeluarkan dua bilah pisau belati dari balik lipatan bajunya. Dua berkas sinar keperakan memantul dari mata belati yang terjilat cahaya matahari senja. Parang Kati terlonjak mundur dua langkah. Bukannya takut, tapi kaget juga melihat gadis cantik di depannya telah siap mengancam dengan dua bilah belati.
"Ratih, jangan. Hentikan, Nak," Ki Jagabaya tertatih-tatih mencoba menenangkan luapan emosi putrinya.
"Tidak, Ayah. Mereka bukan lagi
manusia, tapi binatang! Mereka tidak pantas lagi hidup di dunia!" sahut Ratih tanpa menoleh.
Ki Jagabaya tahu benar akan sifat anaknya yang keras hati itu. Dia tidak mungkin lagi menghalanginya. Laki-laki tua renta itu hanya bisa berdiri diliputi perasaan cemas. Rasa cemas itu beralasan karena Parang Kati adalah orang kepercayaan Baginda Prabu Salya. Tentunya tingkat kepandaiannya perlu diperhitungkan pula.
Meskipun Ratih hanya seorang gadis desa, tapi sejak berusia lima tahun telah dididik berbagai ilmu olah kanuragan dan ilmu kesaktian oleh pamannya. Memang kebetulan sekali, pamannya adalah guru besar padepokan di Gunung Lawu.
"Tinggalkan desa ini, atau kalian semua mati seperti binatang!" ancam Ratih tidak main-main.
"He he he...," Parang Kati hanya terkekeh. Sikapnya menganggap enteng gadis cantik ini
"Phuih!" Ratih menyemburkan ludahnya penuh kebencian.
Semburan ludah yang disertai pengerahan tenaga dalam, meluncur deras menghantam wajah Parang Kati.
Sangat keras dan pedas, sampai-sampai Parang Kati terdongak. Seketika wajahnya memerah menahan geram.
"Setan! Kurobek mulutmu!" geram
Parang Kati.
Dengan ujung baju, diseka ludah yang mampir di wajahnya. Dengan suatu dengusan berang, ditarik ikat pinggangnya yang ternyata sebuah pecut.
Seluruh batang pecut sepanjang satu depa itu, dipenuhi duri-duri halus yang tajam. Pada ujungnya, terdapat rambut-rambut halus yang terkuncir bagai buntut kuda.
Ctar!
KAMU SEDANG MEMBACA
4. Pendekar Rajawali Sakti : Kitab Tapak Geni
ActionSerial ke 4. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.