Pagi baru saja merayapi bumi. Sinar matahari mulai memancar menerangi belahan Timur bumi. Napas kehidupan kembali bangkit setelah semalaman bagai mati dicekam kegelapan sang dewi malam. Pagi yang cerah itu kini terusik oleh derap langkah kuda yang dipacu bagai kesetanan.
Kuda hitam tegap berlari kencang menerjang apa saja yang menghalangi. Debu bergulung-gulung di belakangnya. Penunggangnya berpakaian kotor dan lusuh mendera kuda yang seolah-olah masih kurang cepat. Padahal, kuda tunggangannya itu telah mendengus- dengus hampir mati kelelahan. Tampak dari wajahnya yang lecek dan penuh debu, sebuah guratan panjang di pipinya. Guratan itu menandakan kalau dia adalah Parang Kati.
"Hiya..., hiya...!"
Parang Kati terus mendera kudanya menuju kota praja Kerajaan Parakan. Semalaman dia berpacu tanpa henti, dan tak mempedulikan keadaan dirinya yang kotor dan berbau. Apalagi terhadap kudanya yang hampir mati kelelahan didera terus menerus sepanjang malam hingga pagi ini.
"Buka pintu, cepat...!" teriak Parang Kati ketika di depannya terbentang pintu kokoh yang dijaga dua orang prajurit bersenjata lengkap.
Mengenali siapa yang datang, dua orang prajurit itu bergegas membuka pintu. Namun ketika pintu baru terbuka setengah, Parang Kati telah menerobos tanpa mengendorkan lari kudanya. Dua penjaga itu menjadi bingung melihat Parang Kati memasuki benteng kerajaan tidak seperti biasanya.
Tali kekang kuda tiba-tiba ditariknya, ketika telah tiba di depan pendopo utama istana Parakan. Seketika kuda berhenti seraya meringkik dan mengangkat kaki depannya. Parang Kati mencelat dan berputar dua kali di udara sebelum kakinya mencapai tanah.
Tanpa mempedulikan kudanya yang langsung tertunduk dengan mulut menganga, Parang Kati melangkah lebar memasuki pendopo utama. Seluruh tubuhnya yang masih kotor dan berbau tidak dihiraukannya lagi. Beberapa penjaga pintu pendopo menatapnya penuh keheranan. Tidak biasanya Parang Kati memasuki pendopo dalam keadaan seperti itu.
"Parang Kati...!" tiba-tiba sebuah bentakan keras menghentikan langkah Parang Kati.
Parang Kati segera berbalik.
Seketika itu juga dijatuhkan tubuhnya untuk berlutut. Di depannya kini berdiri seorang laki-laki tua dengan rambut seluruhnya berwarna putih. Kumisnya panjang dan putih pula.
Laki-laki bertubuh kurus tinggi
dan berwajah dingin itu mengenakan baju biru dari bahan sutra halus. Matanya tajam tanpa ekspresi menatap wajah Parang Kati yang tertunduk berlutut di depannya. Raut wajahnya begitu pucat seperti tak pernah teralirkan darah kehidupan lagi
"Bangun," kata laki-laki tua itu. Suaranya terdengar dingin.
"Maafkan hamba, Ki Sanggamayit. Hamba menghadap dalam keadaan kotor," kata Parang Kati setelah bangkit berdiri.
"Kenapa kau masuk pendopo dalam keadaan begini?" tanya laki-laki tua yang ternyata bernama Ki Sanggamayit. Suaranya masih dingin datar. Tak ada sedikit pun tekanan dan ekspresi sama sekali.
"Hamba terburu-buru, Ki Sanggamayit. Hamba semalaman berkuda dari Desa Ganggang," lapor Parang Kati.
"Hm..., kau ditugaskan untuk menarik upeti dari desa itu, dan dikawal sembilan prajurit pilihan. Tapi sekarang kembali hanya seorang diri. Apa yang terjadi?"
"Ceritanya panjang, Ki," sahut
Parang Kati. "Ceritakan."
Panjang lebar Parang Kati menceritakan kejadian di Desa Ganggang hingga tentang penghadangan yang dilakukan oleh Dewi Selaksa Mawar. Hanya dia sendiri yang mampu meloloskan diri.
Ki Sanggamayit masih diam tertegun meskipun Parang Kati telah selesai bercerita. Agak lama kesunyian menyelimuti mereka berdua. Terdengar desahan berat panjang dari hidung Ki Sanggamayit.
Kembali matanya tajam tanpa ekspresi memandang Parang Kati. Yang dipandang hanya tertunduk, takut untuk membalasnya.
"Apa kau tidak salah lihat?" tanya Ki Sanggamayit memecah keheningan.
"Maksud Ki Sanggamayit?" Parang
Kati malah balik bertanya.
"Bodoh! Siapa lagi kalau bukan
perempuan edan itu?" bentak Ki
Sanggamayit.
"Oh, tid..., tidak, Ki. Hamba tidak salah lihat. Bahkan Dewi Selaksa
Mawar menyebut-nyebut nama Kalasewu," agak gugup Parang Kati menjawab.
"Monyet buntung!" Ki Sanggamayit terlonjak, sampai melompat ke belakang satu tindak ketika mendengar nama Kalasewu disebut-sebut.
Parang Kati semakin heran melihat atasannya yang begitu terkejut mendengar ceritanya. Hidung Ki Sanggamayit kembang kempis seperti menahan marah. Wajah semakin terlihat pucat. Dua bola matanya berputar-putar memandang Parang Kati. Dia seolah-olah tidak percaya dengan ucapan laki-laki codet yang ada di depannya ini.
"Sebaiknya kau pulang sekarang.
Biar kusampaikan sendiri berita ini pada Gusti Prabu," kata Ki Sanggamayit setelah agak reda emosinya.
Parang Kati membungkukkan badannya sedikit, sambil mundur tiga langkah. Ketika membalik, segera kakinya diayun lebar-lebar. Ki Sanggamayit memandangi dengan tatapan dingin. Dia baru beranjak setelah Parang Kati tak terlihat lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
4. Pendekar Rajawali Sakti : Kitab Tapak Geni
ActionSerial ke 4. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.