BAGIAN 5

1.5K 64 0
                                    

Rangga tercenung menyaksikan rumah Kepala Desa Ganggang berantakan. Dua mayat laki-laki yang biasa menjaga rumah ini telah menggeletak menjadi mayat di  tangga pintu rumah yang hancur berantakan. Rangga terus menuju ke dalam melewati dua mayat itu. Matanya membelalak menyaksikan keadaan ruangan yang porak poranda seperti kapal pecah. Meja kursi pecah tak tentu arah. Darah berceceran di mana-mana.
"Ratih...," desis Rangga tiba-tiba  ketika teringat gadis cantik putri kepala desa.
"Ooohhh...," tiba-tiba terdengar suara rintihan memelas dari salah satu kamar.
Pendekar Rajawali Sakti itu bergegas melangkah menuju kamar itu. Kedua  bola matanya melebar bagai hendak loncat ke luar ketika melihat Ki  Jagabaya tergeletak di antara puing-puing dari barang-barang  yang hancur. Darah membanjiri sekitar tubuhnya. Dadanya terkoyak lebar seperti terkena sabetan senjata tajam. "Ki...!" seru Rangga langsung
menghampiri.
'Tolong..., tolong Ratih...," lirih dan terputus-putus suara Ki Jagabaya.
"Ratih! Di mana Ratih?" tanya Rangga  begitu khawatir akan keselamatan Ratih.
"Dia..., aaah...!"
"Ki..., Ki Jagabaya!" Rangga mengangkat kepala laki-laki tua itu. Didekatkan telinganya ke bibir Ki Jagabaya yang bergerak lemah.
"Katakan, Ki. Di mana Ratih?" desak Rangga.
"Di..., diculik...," makin lemah suara Ki Jagabaya.
"Siapa yang menculik?"
'Ti..., ah!"
"Ki...!" Rangga menggoyang-goyangkan tubuh Ki  Jagabaya yang terkulai Iemas.
Rangga memandang wajah laki-laki tua Kepala Desa Ganggang yang telah pucat Tubuhnya telah terasa dingin dan kaku. Pendekar Rajawali Sakti
meletakkan tubuh kepala desa yang
malang ini. Darah segar masih merembes dari dada yang terkoyak lebar.
Mata Pendekar Rajawali Sakti beredar ke sekeliling. Tidak ada keterangan yang berarti yang didapat di sini. Keadaannya sangat berantakan sekali. Pelan-pelan kakinya melangkah ke luar. Matanya kembali beredar ke sekeliling sambil terus melangkah menuju ke bagian belakang. Sesosok mayat wanita  tergeletak di lantai papan rumah ini. Lehernya hampir putus terbabat senjata tajam.
Rangga menggeram menyaksikan
kekejaman ini. Beberapa mayat masih ditemukan di sekitar rumah Ki Jagabaya ini. Semua dalam keadaan yang sangat menyedihkan. Bau anyir darah menyebar kemana-mana,  terbawa tiupan angin senja sejuk sepoi-sepoi.
"Oh, tolong...," terdengar suara rintihan lirih.
Rangga menoleh. Tampak seorang laki-laki tua tengah mengerang kesakitan dekat pojok rumah. Sebelah tangannya buntung, dan perut robek hingga ususnya terburai. Rangga bergegas menghampiri laki-laki tua itu. Dia jongkok, lalu mengangkat kepala orang itu yang masih bergerak lemah.
"Oh, tolong. Tolong selamatkan Nini Ratih," lirih suara laki-laki tua itu.
"Di mana Ratih?" tanya Rangga.
"Di..., diculik...."
"Siapa yang menculik?"
"Set..., Setan Arak."
Rangga tercengang ketika mendengar nama Setan Arak disebut. Dia ingin bertanya lagi, tapi laki-laki tua itu telah menghembuskan napasnya yang terakhir. Pelan-pelan diletakkan tubuh laki-laki tua itu, lalu bangkit berdiri sambil memandangi mayat yang masih baru itu.
Saat kaki Rangga melangkah ke
depan rumah kepala desa, Rangga melihat sebuah guci arak dari tanah liat tergeletak di lantai beranda rumah. Di dekatnya tampak sebuah meja kecil terguling. Rangga  menghampiri dan mengambil guci itu.
"Setan Arak, apa urusannya membantai keluarga Ki Jagabaya?" gumam Rangga pelan.
Pendekar Rajawali Sakti itu tiba-tiba tersentak ketika telinganya mendengar desiran angin. Segera dia melompat ke luar. Sekelebat matanya masih menangkap bayangan hijau melesat turun dari atas genteng. Pendekar Rajawali Sakti pun mengempos tenaga, lalu melompat tinggi melewati atap.
Dua kali dia berputar di udara, lalu hinggap kembali di tanah.
"Hm, siapa dia?" bisik Rangga bertanya dalam hati.
Matanya yang setajam mata Rajawali, cepat melihat bayangan hijau yang   masih berkelebat menembus lebatnya pepohonan. Walaupun sinar matahari senja itu sangat membantu bayangan hijau untuk cepat menyelinap, namun bagi Pendekar Rajawali Sakti hal itu tidaklah sulit untuk mengintainya.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga menjejak tanah seraya mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Seketika tubuhnya menjadi ringan bagai kapas. Dalam sekejap Pendekar Rajawali Sakti melesat cepat menembus lebatnya pepohonan di bagian belakang rumah Kepala Desa Ganggang ini. Gerakannya begitu ringan dan cepat seperti tidak menapak tanah lagi.
"Uh! Dia hanya berputar-putar saja!" dengus Rangga merasa telah tiga kali melewati jalan yang sama.
Pendekar Rajawali Sakti melenting tinggi, lalu hinggap di atas dahan pohon yang tinggi menjulang. Matanya nyalang memutari sekitarnya, dan tertumbuk pada  kelebatan bayangan hijau kembali yang bergerak ke sebelah barat Rangga terus mengamati ke mana saja bayangan itu bergerak. Ternyata
bayangan itu tidak lagi berputar ke arah yang sama, melainkan menuju ke arah Utara.
"Mau ke mana dia? Bukankah arah
itu menuju ke Bukit Batu Tiga?" Rangga bertanya-tanya dalam hati.
Segera saja Pendekar Rajawali Sakti itu mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' dan dibarengi dengan ilmu 'Sayup Angin'. Kini tubuhnya melayang ringan bagai selembar bulu halus. Seperti seekor burung, pendekar muda itu melenting dari satu ujung pohon ke ujung pohon lainnya. Namun demikian, matanya tidak lepas mengamati bayangan hijau yang berada cukup di depannya.
"Sampai di mana, aku akan mengikutinya! Penasaran juga, siapa sih dia?" otak Rangga terus berputar.
Sementara senja telah berganti malam. Situasi ini sangat menguntungkan bagi Pendekar Rajawali Sakti. Tubuhnya yang  melayang dari satu pucuk pohon ke pucuk pohon yang lain, sulit terlihat oleh mata manusia biasa. Seorang  tokoh sakti pun, mungkin hanya  dapat  melihat bayangannya saja yang berkelebatan. Suatu perpaduan ilmu kesaktian yang sangat sempurna.
Namun begitu, Rangga juga mengakui kelebihan ilmu meringankan tubuh yang dimiliki si bayangan hijau
itu. Meskipun Pendekar Rajawali Sakti telah memadukan dua ilmunya itu, tapi masih juga belum dapat mengejar bayangan tadi. Jaraknya memang semakin dekat saja, tapi memerlukan waktu yang cukup lama untuk dapat mengejar.
Pendekar Rajawali Sakti meluruk turun dari atas pohon ketika telah tiba di puncak Bukit Batu Tiga. Memang sesuai dengan namanya,  tepat di tengah-tengah puncak bukit  ini terdapat tiga buah batu yang bentuknya sama dengan posisi yang berjajar. Jika malam seperti ini, tiga batu itu bagai tiga raksasa yang selalu siap menjaga bukit ini. Bentuknya besar hitam, menjulang di antara pucuk-pucuk pepohonan.
Bola mata Pendekar Rajawali Sakti beredar ke sekeliling. Keadaan Bukit Batu Tiga ini telah gelap gulita. Kabut semakin tebal menyelimuti puncaknya, menambah pekat dan dingin di tempat itu.
"Ke mana dia? Mengapa menghilang di sini?" Rangga bertanya dalam hati.
Pelan-pelan kakinya terayun mendekati tiga batu besar yang menyerupai raksasa. Bola matanya terus mengamati keadaan sekitarnya. Suasana sunyi senyap menyelimuti  sekitar puncak ini. Terasa lengang dan nyaris tanpa suara. Hanya desir angin saja yang terdengar lembut  menerpa daun telinga. Binatang malam pun seperti enggan memperdengarkan suaranya.
Rangga berhenti tepat di depan batu yang berada di tengah dari tiga batu besar yang berbentuk sama berjajar. Sebentar diamatinya batu hitam besar yang ada di depannya, lalu kembali mengamati ke sekeliling. Keadaan masih tetap sunyi kecuali desah angin malam yang dingin.
Saat Pendekar Rajawali Sakti dalam keadaan bingung, mendadak berkelebat cahaya keperakan ke arahnya. Hanya sedikit saja dimiringkan tubuhnya, maka sinar itu hanya lewat di samping bahu, dan menancap di batu besar hitam pekat
"Uts!"
Belum sempat Rangga melirik benda yang tertancap itu, mendadak muncul kembali cahaya keperakan. Untunglah pendekar muda ini cepat menggeser kakinya ke kiri. Dengan gerakan tangkas, tangannya menangkap cahaya keperakan itu.
"Ruyung perak...," desis Rangga pelan. Belum juga bibirnya kering, kembali sinar meluncur deras. Kali ini Pendekar Rajawali Sakti harus bersalto menghindari serangan gelap yang mendadak itu. Matanya yang tajam dapat cepat mengetahui sumber senjata-senjata rahasia itu berasal. Segera kedua tapak kakinya dihentakkan ke batu.
Tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu bagaikan  sebatang  anak  panah  lepas dari busur, meluncur deras ke arah sinar-sinar  keperakan  itu  muncul. Masih dalam keadaan melayang, pendekar muda ini melontarkan pukulan jarak jauh.
Tiga sosok tubuh berlompatan dari
balik pohon besar yang hancur berantakan terkena pukulan jarak jauh dengan kekuatan tenaga dalam yang tinggi. Rangga berputar dua kali di udara sebelum kakinya menjejak tanah dengan manis. Tiga sosok tubuh itu juga mendarat dengan indah.
"Tidak percuma kau mendapat julukan Pendekar Rajawali Sakti," kata salah seorang yang berada di tengah dari tiga orang itu.
"Kaliankah yang berjuluk Tiga
Setan Neraka?" tanya Rangga.
'Tidak salah!"
Rangga mengamati orang yang berada di tengah. Pakaiannya serba hijau. Dan wajahnya..., persis seperti mayat! Dingin, pucat, dan kaku, tanpa garis kehidupan. Memang ketiga orang itu adalah, Sanggamayit, Iblis Mata Satu, dan Setan Jerangkong.
"Orang lain boleh gentar dengan julukan kalian. Tapi aku malah ingin
meminta nyawa kalian," terdengar dingin suara Rangga.
"He he he...," Iblis Mata Satu terkekeh. "Biarkan aku yang memberi pelajaran pada bocah sombong ini"
"Hati-hati," bisik Sanggamayit
Iblis Mata Satu menjawab dengan suara tawa terkekeh. Kakinya bergerak maju. Langkahnya baru terhenti setelah jaraknya  dengan  Pendekar Rajawali Sakti berkisar satu batang tombak.
"Majulah, serang aku!" dengus
Iblis Mata Satu.
"Hm, sebaiknya kalian bertiga maju semua," ejek Rangga.
"Tidak perlu! Salah seorang dari
kami pun kau belum tentu dapat menandingi," Iblis Mata Satu tidak kalah meremehkan.
"Jangan menyesal kalau kau mati lebih dulu."
"He he he..., mulutmu rasanya
perlu dibuat lebar lagi, bocah." Selesai berkata demikian, Iblis Mata Satu segera mendorong tangan kanannya  ke depan. Seberkas sinar merah meluncur deras dari telapak tangannya yang terbuka. Rangga hanya memiringkan tubuhnya sedikit ke kiri. Sinar itu hanya lewat begitu saja di sampingnya.
Belum lagi Rangga merobah posisinya, tangan kiri Iblis Mata Satu telah mendorong ke depan. Kilatan
sinar merah kembali meluncur deras. Rangga menarik tubuhnya ke kanan, namun dari arah kanan juga telah meluncur sinar merah.
Sadar kalau posisinya terjepit, Rangga  langsung melesat ke udara. Tanpa sungkan-sungkan lagi dikeluarkannya jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Bagai kilat tubuh Rangga meluncur ke arah Iblis Mata Satu.  Tangannya mengepak cepat dan kuat bagai sepasang sayap rajawali.
"Bangsat!" umpat Iblis Mata Satu tidak menyangka kalau lawannya mampu menghindar, dan bahkan dengan cepat membalas serangannya.
Iblis Mata Satu menarik kakinya mundur dua tindak menghindari kibasan tangan Pendekar Rajawali Sakti. Namun belum sempat bertindak, tangan kiri pendekar  muda itu telah berkelebat lagi menyapu ke arah dada. Iblis Mata Satu tidak ada pilihan lain, kecuali mengangkat tangannya menangkis kibasan tangan kiri Pendekar Rajawali Sakti.
Trak!
Dua tangan beradu keras sehingga menimbulkan suara bagai kayu patah. Iblis Mata Satu melompat mundur sambil meringis menahan sakit Tangannya seperti remuk saat berbenturan tadi. Sementara Rangga telah bersiap-siap hendak menyerang kembali. Kedua tangannya  terkembang  bergerak  cepat
menyerang lawan yang tengah merasakan sakit pada pergelangan tangannya.
Bet!
Sebatang ranting kering menghantam ujung jari tangan Rangga pada saat hampir mengenai dada Iblis Mata Satu. Cepat-cepat Rangga menarik tangannya. Kesempatan yang sedikit ini dimanfaatkan Iblis Mata Satu untuk mengirimkan tendangan mautnya. Untunglah pendekar satu ini cepat melompat mundur menghindari tendangan maut lawan.
"Curang!" dengus Rangga geram. "Dalam pertarungan tidak ada yang
jujur," sinis suara Iblis Mata Satu.
Pergelangan tangan kanannya tidak ada lagi terasa nyeri.
Rangga menggeram menatap dua orang yang tersenyum-senyum mengejek. Rangga tidak tahu, siapa di antara dua orang itu yang berlaku curang dengan melempar ranting pada saat Iblis Mata Satu hampir dapat dikalahkan.
"Maju kalian semua, keparat!" geram Rangga.
"He he he..., sudah kukatakan, melawan aku saja kau tidak bakalan mampu menandingi," ejek Iblis Mata Satu. Kata-katanya pelan dan teratur tapi sangat menusuk gendang telinga. Menyakitkan.
Berkerut geraham Rangga menahan marah. Dia benar-benar tidak menyukai cara bertarung Tiga Setan Neraka. Untungnya  mereka   membokong  hanya dengan ranting kering. Mungkin kalau pertarungan telah mencapai tingkat paling tinggi, bisa-bisa mereka menggunakan senjata rahasia untuk membokong. Rangga mendengus menyadari kecurangan dan kelicikan Tiga Setan Neraka yang menghalalkan segala cara.
"Hm, aku harus memperhatikan yang
lain juga," gumam Rangga dalam hati. "Mengapa diam saja bocah? Takut?"
ejek Iblis Mata Satu.
"Phuih!" Rangga menyemburkan ludahnya ke tanah.
Kembali Pendekar Rajawali Sakti
mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Dia yakin dengan jurus ini saja Iblis Mata Satu masih belum dapat menandingi. Memang,   cara bertarung Tiga Setan Neraka  tidak seperti tokoh-tokoh rimba persilatan lainnya. Oleh sebab itu, Rangga harus lebih waspada terhadap serangan gelap.
"Awas kepala!" teriak Rangga keras dan tiba-tiba.
"Uts!" Iblis Mata Satu merunduk ketika tangan kiri Rangga menyapu bagian kepalanya.
Tangan kiri Pendekar Rajawali Sakti  hanya lewat beberapa helai rambut di atas kepala lawan. Namun dengan cepat, tangan kanan Rangga bergerak menyodok ke arah ulu hati.
Gerakan yang hampir bersamaan itu membuat Iblis Mata Satu terkesiap. Tanpa memikir dua kali, dilentingkan tubuhnya ke belakang.
Kesempatan inilah yang ditunggu Rangga. Ketika tubuh iblis Mata Satu berada di udara, secepat kilat dia meloncat dengan dua tangan terkembang ke samping. Lalu dengan cepat tubuhnya meluruk dengan kaki bergerak cepat seperti baling-baling menuju ke arah lawan.
Sedikit lagi kaki Rangga mengenai sasaran, mendadak seberkas sinar keperakan mengancam kakinya. Rangga yang sejak tadi mengawasi dua orang yang berdiri menyaksikan, dengan cepat merubah posisi tubuhnya. Dan....
Tring!
Pendekar Rajawali Sakti menyentil senjata rahasia yang dilepaskan Sanggamayit untuk menyelamatkan Iblis Mata Satu. Senjata itu pun kini berbalik arah dengan cepat ke pemiliknya. Tentu saja Sanggamayit menjadi terkejut. Buru-buru dikerahkan tangannya menangkap senjata rahasianya sendiri.
Pada saat yang bersamaan, Rangga
berhasil menghantam Iblis Mata Satu dengan menggunakan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Iblis Mata Satu yang posisinya kurang menguntungkan, segera mengerahkan  seluruh kekuatan tenaga dalamnya untuk memapak serangan itu.
"Akh!" Iblis Mata Satu memekik tertahan. Seketika itu juga tubuhnya mencelat dan terhempas deras ke tanah. Dari mulutnya menyembur darah segar. Wajah Iblis Mata Satu meringis merasakan seluruh tubuhnya bagai remuk terhantam batu karang yang amat kokoh dan keras.
Sementara itu Pendekar Rajawali Sakti juga sempat terdorong dua langkah ke belakang. Sedikit dia terhuyung, namun dengan cepat kembali bersiap-siap menerima serangan. Beberapa saat ditunggu, tapi tak ada serangan yang datang dari pihak lawan. Matanya tajam menatap dua orang dari Tiga Setan Neraka yang masih berdiri di  tempatnya. Sedangkan Iblis Mata Satu telah dapat bangkit lagi. Dari sudut bibirnya masih mengucur darah segar.
"Mundur kau, Iblis Mata Satu," pelan suara Sanggamayit, tapi cukup jelas terdengar.
Iblis Mata Satu hanya mendengus. Dia melirik sebentar pada Pendekar Rajawali Sakti, lalu mundur mendekati dua saudara angkatnya. Dengan ujung lengan baju, disekanya darah yang merembes dari sudut bibirnya.
"Dia terlalu tangguh buatmu, jika kau lawan sendirian," kata Sanggamayit setengah berbisik.
"Ilmunya sungguh luar biasa.
Untung kugunakan aji 'Lapis Karang
Baja'," dengus Iblis Mata Satu.
"Kau terluka?" tanya Setan Jerangkong.
"Tidak. Hanya dadaku terasa sesak sedikit," jawab Iblis Mata Satu mengakui.
"Semadilah dahulu. Biar kugantikan," ujar Setan Jerangkong.
"Hati-hati," Iblis Mata Satu memperingatkan.
Setan Jerangkong hanya tersenyum
tipis. Kemudian dia melompat dan turun tepat sekitar lima langkah di depan Pendekar Rajawali Sakti. Setan Jerangkong yang telah menilai pertarungan sebelumnya, tidak mau gegabah. Sikapnya memang masih meremehkan, namun sinar matanya tajam menusuk menandakan kesungguhan.
"Sudah kukatakan, majulah kalian bertiga!" ejek Rangga.
"Jangan banyak bacot! Yeaahh" Setan Jerangkong yang kurus kering itu segera mengeluarkan jurus mautnya. Rangga hanya mengernyitkan alisnya sedikit melihat manusia yang lebih mirip tengkorak hidup ini menggerak- gerakkan tangannya yang kurus kering.
'Tahan seranganku'" teriak Setan
Jerangkong.

4. Pendekar Rajawali Sakti : Kitab Tapak GeniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang