Tentang Aku dan Rama

168 2 0
                                    


Pada awalnya, aku dan Rama hanya teman kuliah biasa saja, tidak ada perasaan apapun baik aku ke Rama atau Rama ke aku. Selama kuliah bahkan aku sempat mempunyai seorang pacar, ya, pacar, yang cuma bertahan 5 bulan saja. Setelah itu hampir 3 tahun aku memutuskan untuk menjomblo. Jomblo kan tidak dosa ya? Setidaknya ke-jomblo-an ku cukup sukses membuat aku fokus pada kuliah dan skripsi. Meskipun yang lain bilang kuliah tidak punya pacar itu hampa, tidak berwarna. Bodo amat orang mau bilang apa. Aku juga tidak peduli meski banyak cowok yang berusaha mendekatiku. Karena biarpun cuma mahasiswa biasa, aku tidak jelek-jelek amat. Dan yang jelas aku sangat menikmati kebebasanku sebagai jomblowati selama 3 tahun ini.

Dan menjadi jomblo membuatku sukses menjadi mahasiswa yang baik. Tidak pernah ada ceritanya aku galau mikirin pacar, sedih karena berantem, bolos kuliah karena mau pacaran, atau minum racun karena putus cinta. Tidak ada sedikitpun waktuku terbuang untuk urusan asmara. Jadi, aku menyambut skripsi dengan bahagia. Ya, bahagia.

Sebagai tradisi turun temurun, setiap selesai skripsi selalu ada ujian skripsi, ya iyalah. Dan aku seorang diri mengurusi segala tetek bengek persyaratan untuk mengikuti ujian. Aku itu dari awal kuliah tidak mengerti sama sekali tentang proses-proses administrative di kampus, apalagi hafal sama Pak ini, Pak itu, Bu ini, Bu itu. Beda sekali dengan anak-anak aktivis-aktivis itu. Jadilah hari ini aku lumayan bengong waktu harus mengatur jadwal sama Pak Bram, aduh, Pak Bram yang mana ya? Dan di tengah kebodohanku seorang Rama menghampiriku. Terima kasih Tuhan karena mengirimkan oase yang sejuk ini.

"Kenapa Sas?" Aku pura-pura kaget.

"Eh Rama. Ini nih, mau cari Pak Bram, mau tanya jadwal ujianku."

"Wah, sama dong, bareng aja."

"A-apa? bareng?"

"Iya, kenapa? Ada yang salah?"

"Hehehe..."

Fiuuuhhhh, untung aja ada Rama yang tidak sengaja tanya, tapi tidak sengajanya itu udah teramat sangat menyelamatkan masa depan skripsiku. Jadilah hari itu aku seharian menguntit Rama kemana-mana, padahal sebelumnya juga aku cuma bisa menikmati kerennya Rama dari kegiatan-kegiatan kampus yang aku ikuti, itu juga Rama tidak peduli aku ada atau tidak. Padahal, aku dan Rama adalah teman sekelas! Ya, begitulah kalau setiap selesai kuliah langsung pulang dan tidur di rumah. Aku jadi tidak pernah update siapa-siapa saja teman sekelasku, apalagi dosen-dosennya. Aku cuma tahu dosen yang mengajar di kelasku, selebihnya? Jangan harap aku kenal.

"Jadwal kita bareng nih Sas, jadi kita ngurusinnya bareng-bareng aja ya."

Aku agak gelagapan waktu Rama yang tadinya sibuk baca-baca jadwal yang disodorkan Pak Bram tiba-tiba menoleh padaku yang lagi mengagumi pose seriusnya.

"Eh...iya...apa tadi?"

"Kamu ngelamun ya? Konsen dong, masa depan kamu nih."

"Iya deh sori, hehehe..."

"Kamu nih..."

Rama beranjak dari kursinya sambil menyentuh poniku. Deg! Ya ampun, pasti Rama tidak menyadari deh, kalau gerakan kecilnya tadi membuat jantungku ajeb-ajeb. Bukannya apa-apa, tapi Rama yang selama ini orang asing tiba-tiba saja menyentuh poniku. Hal simple, tapi lumayan membuat aku salah tingkah. Saking salah tingkahnya aku sampai lupa kalau Rama sudah keluar. Langsung saja aku kuntit dia lagi. Masih banyak yang harus diurus sih.

"Habis ini konfirmasi ke dosen penguji dulu. Jadi kamu ketemu penguji kamu, aku ketemu pengujiku. Tar ketemu lagi di sini ya."

Tar ketemu lagi di sini?

Berarti nanti ketemu lagi? Asik.

Aku senyum kecil sambil menunduk. Aku pikir Rama langsung pergi, ternyata...

"Kenapa senyum-senyum sendiri?" Sial! Jadi dia masih di depanku. Aduh, ketahuan deh.

"Ah nggak papa. Aneh aja."

"Aneh kenapa?"

"Aneh. Dulu kita kan nggak pernah ngobrol, apalagi sibuk bareng kayak gini. Pake janjian lagi. Bener-bener aneh tau."

Tiba-tiba Rama mendekatkan wajahnya dan berbisik di telingaku.

"Makanya jangan jadi mahasiswi biasa aja Sas..."

Darahku berdesir. Aku terpaku, bahkan sampai Rama menghilang, masuk ke ruang dosen. Apa maksud Rama tadi ya? Ah, udahlah, keburu dosennya pulang kalau aku tidak cepat-cepat menyatroni itu dosen.

"Jadi mbak Sasa ini ujiannya tanggal 20 ya?"

"Iya Bu."

Bu Eva tampak membaca jadwal yang aku sodorkan padanya. Sudah seperti mau mengajukan permintaan kredit rumah aja deh. Harus rapi, harus sopan. Dan Bu Eva yang terkenal agak killer itu sukses membuat aku bercucuran keringat dingin, sedangkan Rama justru kelihatan asyik sekali ngobrol dengan dosennya. Kontras sekali.

"Ibu bisa jam 8 pagi. Gimana? Mau nggak?"

"Jam 8 pagi ya Bu...umm..."

Jam 8 pagi, bisa bangun pagi nggak ya???? Batinku.

"Gimana mbak?"

"Eh, iya-iya Bu. Jam 8 pagi."

Pertemuanku singkat saja dengan Bu Eva, buat apa juga lama-lama, pertama, Bu Eva itu seorang wanita, kedua, Bu Eva jelas tidak ganteng, jadi buat apa lama-lama menghadap Bu Eva? Aku keluar duluan dan menunggu Rama di depan ruang dosen. Lumayan lama, sepertinya Rama menikmati setiap obrolannya dengan Pak Sam. Ya begitulah kalau mahasiswa berprestasi bertemu dosen yang 'nyambung' dengan dia, jadi membuat Rama tidak menyadari aku sudah mulai berubah jadi patung. Setengah jam dia baru keluar.

"Sori Sas, lama ya?"

"Ah nggak kok. Habis ini ngapain lagi? Ngurus apa lagi?"

"Nggak ada."

"Nggak ada?"

"Nggak ada."

"Kok kamu minta ketemu di sini lagi? Kan bisa langsung pulang?"

"Nggak papa. Pengen ngobrol sama kamu aja."

"Kamu tuh beneran aneh. Kita kan bukan temen deket. Temen biasa juga bukan, jadi mau ngobrolin apa? Nggak ada yang nyambung kan?"

"Makanya disambungin. Kan habis ini kita masih ngurus segala macem urusan sampe kelar wisuda nanti Sas. Kalau kita nggak deket mana bisa nyaman kemana-mana berdua?"

"Iya ya..."

Aneh memang, dua orang dari dunia yang berbeda sekarang sedang berusaha saling dekat. Tapi memang harus begitu juga sih, namanya juga sedang mengurusi hal penting berdua, benar kata Rama, mana bisa nyaman kalau tidak saling dekat. Hari ini sebelum berpisah, Rama meminta nomor ponselku, dan sebaliknya, dia juga memberiku nomornya. Dan kami janjian ketemu di tempat ini lagi keesokan harinya.

Sweet PopcornWhere stories live. Discover now